Melepas Welirang untuk Arjuno

Kredit foto oleh Sandi

Sumber Brantas tumpah ruah. Para pendaki mengisi ruang-ruang. Di pinggir jalan, di warung, di kamp pangkal. Ini akhir pekan dan hari menjelang siang. Dua jam mengulur dari rencana semula, menimbulkan keraguan di kepala, akankah pendakian dua gunung adik-beradik bisa berjalan sesuai kehendak?

Rencana yang Sempurna

Pendakian ini dibuat tanpa banyak waktu. Senin, 31 Juli 2023, saya dan Roro saling berkirim pesan. Ia mengajak saya mendaki Gunung Arjuno – Welirang bersama empat orang temannya—Wisnu, Sandi, Mukrom, Ari­—pada akhir pekan. Sempat ragu, dengan pertimbangan waktu yang begitu mendadak. Di usia menjelang 40 tahun begini, saya membuat batas, tak bisa sembarangan mendaki. read more

Catatan Panjang Bus Malam

Di dalam bus, saya seperti berada di Mars. Asing dan sedih, yang disertai aroma kulit imitasi atau entah apa yang tidak saya suka. Membikin mual, meskipun saya belum memasukinya.

***

Ini adalah catatan yang panjang, seperti perjalanan 12 jam yang saya rasai lebih panjang dari seharusnya. Semoga kalian sudi membaca.

Sebulan sudah saya berada di Pacet dan pada akhirnya merindukan Yogya. Pada rumah di pinggir Kali Code itu; pada kamar sempit nan memanjang; pada ikan-ikan beserta tanaman di sudut hijau; pada Benji, gitarlele kesayangan. read more

Tidak Ada Kegagalan Atas Nama Perjalanan

Jalanan yang dulu berlubang, kini tampak mulus. Ladang tomat dan cabai kini berganti kacang panjang dan kubis karena musim. Puncak Gunung Gede dan Pangrango sepenuhnya tertutup kabut. Menyisakan jajaran cemara gunung di balik samar kabut. Sarongge, jam dua siang.

“Enak, ya, refreshing habis deadline,” seru Ika dari atas Hujan, motor Vega kesayangannya.

“Iya,” jawab saya singkat yang duduk menumpang di belakang.

Omong-omong soal deadline, saya sudah lupa bagaimana rasanya dikejar deadline. Maklum, pengangguran. Apalagi sedang pandemi seperti ini. Boro-boro deadline, proyek saja tidak ada. read more

Nostalgia Warung Mang Idi

Hujan belum juga reda. Rintiknya membasahi pakaian dan sepatu. Dingin udara pegunungan di antara kelok-kelok Jalan Raya Pos Cianjur menembus pelan ke kulit. Saya dan Ika memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lepas berhenti cukup lama, berteduh dari hujan yang tiba-tiba datang menderas. Kalau saja bukan karena ingin mengulang kenangan, saya pasti enggan melakukannya. Sementara puncak Gede dan Pangrango tertutup kabut.

“Warungnya yang mana sih?” tanya saya ke Ika ketika kami sampai ke area parkir Kebun Raya Cibodas. read more

Akar dan Ranting

Jam dua dini hari. Sejak mematikan lampu kamar jam sepuluh malam, saya masih saja terjaga. Nyeri tak tertahankan terasa pada kaki kanan. Saya sadar, butuh bantuan kali ini. Dari kamar lantai atas, saya menelepon Ika yang berada di kamar bawah. Tersambung, tapi tak terangkat. Saya mengaduh dan air mata mulai menetes. Namun beberapa saat, telepon saya berdering. Dari Ika.

“Punya obat anti nyeri enggak?” ucap saya tersedu-sedu, “kakinya sakit banget.”

Cerita bermula dari satu hari sebelumnya. read more

Mimpi Bermula di Tunggilis

Kopi. Barangkali hanya ialah yang ingin saya pelajari. Bagaimana ia akan berbuah hijau lalu menguning lalu memerah dan matang. Ada cita-cita sederhana; tentang sebuah rumah kecil di tengah hutan kopi dengan pohon-pohon tinggi lain, yang ingin saya miliki, kelak.

Di Tunggilis, cita-cita itu bermula.

Taksi online yang kami tumpangi berbelok ke kiri dari Jalan Raya Puncak, menyusuri jalanan kampung nan sempit. Di beberapa sudut, warga yang sedang duduk-duduk di pinggiran jalan, terpaksa harus lebih menepi untuk mempersilakan mobil yang kami-saya, Ika, dan Mas Rey-tumpangi, bisa lewat. Tak terbayangkan oleh saya andai saja berhadapan dengan mobil lain dari arah yang berlawanan. read more

Rumah Pohon, Saksi Bisu Hutan Sarongge Melebat

Sarongge yang terik. Kami-saya, Ika, dan Mas Rey-melompat naik ke mobil bak terbuka, menumpang sampai ke pondok karyawan kebun stroberi, tujuan akhir mobil. Di hadapan kami, hamparan cokelat tanah ladang yang ditanami hijau, kuning, merah sayur dan buah. Jauh di sana, membentang Gunung Geulis, yang morfologinya seperti seorang perempuan tertidur. Sementara sudut lain, Gunung Gede dengan gelayut awan menutupi puncaknya.

Jalanan yang kami lalui berupa jalan mortar yang tidak rata. Bergelombang dan mengelupas. Wajar. Tiap hari, jalanan yang memiliki kontur itu dilalui mobil bak terbuka, mengangkut penuh hasil ladang. Di atas bak terbuka mobil tumpangan, kami duduk bergelinjang dengan pemandangan yang amatlah amboi. read more

Malioboro di Sebuah Selasa Wage

Di sebuah sore, kala waktu matahari masih bersinar emas, saya berjalan menyusuri sebuah jalan kecil kampung yang menghubungkan Jalan Mataram dan Malioboro bernama Sosrokusuman. Pada jalanan kecil itu berjajar bangunan yang berfungsi sebagai penginapan, kios kaus dan souvenir khas Yogyakarta, dan warung makan di sisi utara dan dinding tinggi yang dilukis beragam gambar di sisi selatan.

Di sore itu, saya hendak mengikuti sebuah pesta rakyat sederhana yang diselenggarakan tiap Selasa pada pasaran wage. read more

Restu Ibu di Halimun Salak

Kala pagi di Sukabumi. Suara senda gurau samar terdengar dari kaca mobil yang sedikit terbuka. Saya keluar dari mobil setelah tiga jam tidur. Arthur, Roro, Aliza, Pras, Ferry, Ros, Andri, dan Naufal, seorang pemandu, bercengkerama di sudut halaman rumput Villa Abah, Sukabumi.

Saya berjalan ringan menghampiri sudut halaman itu yang kemudian disambut Roro dengan memperkanalkan Daffa, adiknya, kepada saya. Udara sejuk, tidak panas juga tidak dingin. Pemandangan indah terbentang di ujung lazuardi. read more

Ada Keberanian di Pangrango

Berjalanlah tanpa banyak risau, niscaya tanpa disadari, kakimu telah melangkah jauh, hingga akhirnya tiba pada tempat yang kau tuju.

***

Ini adalah perjalanan dengan tim terbanyak pertama saya. 12 orang! Yang saya kenal hanya Roro, selebihnya tidak. Terlebih, saya merasa tidak nyaman berada di tengah kelompok besar.

Lalu, mengapa harus takut memulai sesuatu baru?

Seseorang berkata, naiklah gunung bersama teman-teman dekat, yang sudah saling mengenal. Namun, teman-teman dekat saya jarang yang suka naik gunung. Kebanyakan mereka sudah menjadi orang tua dengan anak-anak yang menggemaskan. Giliran ada yang suka naik gunung, kami tinggal di beda kota. Susah memang, kalau usia sudah di ambang pertengahan tiga puluhan, belum nikah, dan punya hobby naik gunung. Jadi, ketika Roro menawari mendaki bersama teman-temannya, saya langsung bilang, “MAU!” read more