Tidak Ada Kegagalan Atas Nama Perjalanan

Jalanan yang dulu berlubang, kini tampak mulus. Ladang tomat dan cabai kini berganti kacang panjang dan kubis karena musim. Puncak Gunung Gede dan Pangrango sepenuhnya tertutup kabut. Menyisakan jajaran cemara gunung di balik samar kabut. Sarongge, jam dua siang.

“Enak, ya, refreshing habis deadline,” seru Ika dari atas Hujan, motor Vega kesayangannya.

“Iya,” jawab saya singkat yang duduk menumpang di belakang.

Omong-omong soal deadline, saya sudah lupa bagaimana rasanya dikejar deadline. Maklum, pengangguran. Apalagi sedang pandemi seperti ini. Boro-boro deadline, proyek saja tidak ada.

Ku menangis.

Sebenarnya enggak pengangguran banget sih. Alkhamdulilah, saya beberapa kali dipercaya oleh Telusuri.id untuk membuat tulisan dari hasil wawancara. Semalam, saya baru saja merampungkan satu tugas tulisan tentang pakaian dari kulit kayu. Nah, anggap saja itu deadline, ya. Kebetulan, berbarengan dengan Ika menyelesaikan deadline yang sesungguhnya. Horelluya!

Ku tak jadi menangis.

Baiklah. Saya lanjutkan ceritanya, ya.

Ini kali kedua saya mengunjungi Sarongge. Pada kunjungan sebelumnya, saya hanya sampai di rumah pohon. Kali ini, saya dan Ika akan menuju ki hujan, pohon endemis Gede Pangrango yang berada di batas akhir area adopsi Hutan Sarongge. Kata Ika, untuk sampai ke ki hujan, hanya memerlukan waktu setengah jam trekking dari rumah pohon. Setengah tidak percaya. Mengingat cerita Ika yang beberapa waktu sebelumnya melakukan trekking dan tidak berhasil mencapai ki hujan. Ini perkara hutan semakin melebat dan daya ingat yang mengering. Sementara saya adalah tipikal trekker (((TREKKER))) yang tidak bisa lihat pengkolan sedikit. Pasti ngiyup alias mandek alias istirahat.

Di sepanjang jalan mortar Dusun Sarongge, saya dan Ika mengingat-ingat kembali kejadian yang kami alami pada kunjungan sebelumnya di beberapa lokasi.

“Ini jalan kesukaan Nyai,” ucap Ika ketika kami melewati jalanan menanjak dan kemudian menurun, seperti sedang menyusuri perbukitan. Tempat yang sama, ketika saya berjalan dengan membentangkan payung pada kunjungan sebelumnya. Sarongge yang, kala itu panas sekali. Namun tidak untuk kali ini. Terik matahari kalah dengan samar kabut.

Syedap!

Motor terus melaju di atas jalan mortar dengan ladang sayur di kanan dan kiri. Saya bernapas panjang, senang rasanya bisa kembali melakukan perjalanan dan akan memasuki hutan lagi, lepas setahun dipaksa tidur karena pandemi.

Di batas akhir jalan mortar, Hujan berhenti. Ika mengunci roda dan kami pun mulai berjalan. Langkah kami bermula pada jalan setapak tanah yang naik dan terus menaik. Maklum, lereng gunung. Meski nyaman, tapi jalanannya naik terus. Turun kalau pulang nanti. Jika menemukan area landai, kami berhenti sejenak untuk mengantur napas yang tersengal dan membiarkan degub jantung kembali normal, lalu kembali naik.

Pemandangan yang kami sapu dengan kedua mata pun didominasi oleh ladang sayur. Sempat juga melewati permukiman warga, dan sepertinya itu yang terakhir. Permukiman itupun tak padat. Beberapa petak ladang sayur juga terselip di antaranya. Sementara jurang sungai dan lebat hutan di sisi kanan.

Pada satu sisi tanah yang agak luas, saya yang berjalan di depan, memutuskan untuk berhenti agak lama. Saya membuka termos berisi kopi lalu menuang ke dalam gelas. Sementara Ika memilih untuk melumat bekal gula jawa sebagai penambah kalori.

“Di sini cabainya bisa bagus,” ucap Ika dengan nada yang seolah mengeluh dengan harga cabai yang sedang meroket. Musim hujan begini, banyak petani yang enggan menanam cabai karena tanaman tersebut sangat sensitif terhadap curah hujan tinggi.

Ika yang juga berjualan sayur-mayur untuk beberapa klien di Jakarta, bercerita tentang keengganannya saat ini menjual cabai karena harga yang bergerak harian dengan nominal yang menjulang tinggi.

“Harga cengek bisa sampai Rp120.000 per kilogram.

Saya tertawa. Teringat cerita seorang teman yang membeli cabai rawit Rp2.000 dapat empat butir. Jadi, satu butir cabai itu harganya Rp500. Luar biasa, ya, Pemirsa!

 

Lepas bercengkrama, kami melanjutkan perjalanan. Kopi dalam gelas pun sudah habis. Selangkah demi selangkah kami terus menyusuri ladang sayur. Beberapa motor petani tergeletak di pinggir jalan setapak yang hanya selebar satu meter itu. Udara sejuk menemani kami. Sementara kabut menyelimuti hutan di ujung pandangan.

“Itu plang-nya!” seru saya seraya menunjuk papan nama Taman Nasional Gede-Pangrango yang roboh.

Melewati plang, kami memasuki Hutan Sarongge yang dipenuhi tumbuhan-tumbuhan hutan yang tinggi dengan ilalang yang semakin lebat.

“Itu pakis hutan,” seru Ika sembari menunjuk dan terus berjalan.

Tak butuh waktu lama untuk kami sampai ke area rumah pohon. Kami mendapati beberapa bangunan bambu yang roboh.

“Wah, kejatuhan pohon,” seru Ika seraya menunjuk sebuah batang pohon yang patah dan menimpa bangunan dapur.

“Ini tempat kita duduk-duduk dulu ‘kan, ya?” tanya saya.

“Iya,” jawab Ika.

Kami terus memasuki area rumah pohon. Melihat satu persatu dari jauh bangunan-bangunan yang tersisa tanpa berani memasuki dan menginjaknya. Usia memang tak pernah bohong.

Di sebuah sudut terang, di samping sebuah pohon tumbang, kami kembali istirahat. Saya membuka termos kopi dan menuangnya ke gelas. Bekal roti lapis yang kami bawa juga disantap untuk menambah energi.

“Nyai, tolong fotoin Juf dari sini,” ucap saya kepada Ika seraya mengulurkan handphone lalu mengarahkan posisi pengambilan foto.

Saya berjalan menuju pohon tumbang, lalu menaiki, dan memeluknya. Ya, saya suka sekali memeluk pohon. Makhluk hidup itu seperti mengeluarkan kesejukan dari pori-pori kulitnya. Melonggarkan segala kekusutan nadi sehingga kita dapat bernapas lega. Memeluk pohon adalah cara saya untuk mengekspresikan rasa yang entah apa itu.

Lepas berfoto, saya kembali ke posisi semula; duduk di bawah sebuah pohon. Saya menengadah ke atas, mengarahkan pandangan ke pucuk-pucuk pohon. Ah, bahagianya bisa kembali memasuki hutan, gumam saya dalam hati. Ada rasa yang entah apa menenteramkan hati. Bahkan kaki saya yang bengkak belum sepenuhnya pulih, tak terasa sakitnya. Saya merasa baik-baik saja. Tanah hutan yang terpijak itu seolah menyembuhkan.

Ya, alam adalah obat yang sempurna.

Kami juga bercakap. Ika menceritakan tentang pengalamannya terjebak badai ketika berada di Hutan Sarongge. Tiba-tiba saja angin berembus kencang menggoyangkan segala sesuatunya. Meski tanpa hujan, peristiwa alam itu terasa begitu mencekam. Di hutan, antara hidup dan mati manusia bagai satu langkah kaki yang pendek.

Lima belas menit berlalu, kami kembali berjalan menuju ki hujan. Langit meredup. Saya ragu, apakah kami bisa tiba di lokasi ki hujan dan kembali turun gunung sebelum sore. Saya juga ragu tentang waktu tempuh yang dikatakan Ika sebelumnya. Namun, saya abaikan rasa ragu yang menggelayut itu.

Kaki kami terus melangkah, menyusuri setapak demi setapak tanah lembut Hutan Sarongge. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk kami tiba di Shelter. Seturut yang dituturkan Ika, tempat ini biasa digunakan oleh polisi hutan untuk beristirahat dan menyalakan api unggun. Terbukti dengan bekas kayu-kayu bakar di dalam bangunan seperti pendopo yang terbuat dari besi tersebut.

Kami kembali beristirahat. Membuka kembali bekal makanan yang dibawa sembari lagi-lagi berbincang.

“Itu pohon eucalyptus,” ucap Ika sembari menunjuk jajaran pohon di hadapan kami.

“Wah, obat corona dong,” celetuk saya menyambung obrolan.

“Apanya yang diambil?” tanya Ika.

“Enggak tahu,” jawab saya singkat yang lalu disambut tawa kami berdua.

Area di sini lebih terbuka dari yang sebelumnya. Matahari samar-samar menerobos ranting-ranting. Tampak langit semu putih yang lebih luas dari lainnya. Pohon-pohon berdiri tinggi berjajar berjauhan. Sementara pohon lainnya menuju remaja. Saya memandang langit semu putih itu. Berharap tampak elang jawa muncul seperti waktu lalu. Sayang, ia sungkan untuk datang kali ini.

Saya melihat arloji di tangan. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Sudah sedikit terlambat untuk melanjutkan perjalanan tanpa tahu waktu yang pasti untuk sampai. Tak lama berselang, terdengar suara azan.

“Masih jauh?” tanya saya kepada Ika tentang lokasi ki hujan.

“Lumayan,” jawab Ika singkat.

“Sudah asar,” balas saya.

“Iya, takut kesorean turunnya,” ucap Ika.

Memang, jika ingin melakukan trekking itu sebaiknya dari pagi. Bukan seperti kami yang berangkat dari rumah jam dua siang! Apalagi cuma bawa kopi dan roti lapis. Tidak cukup untuk saya yang kalau sarapan harus nasi. Ya, minimal bubur ayam lah.

Namun tak mengapa. Saya tak pernah menyesal melakukan perjalanan. Apalagi bisa kembali ke hutan, tempat yang, entah mengapa, saya dapat merasakan kenyamanan yang aneh.

Tak lama berselang, kami kemudian berkemas untuk kembali turun tanpa sampai pada ki hujan. Kembali menyusuri hutan yang sebelumnya untuk kembali menuju ladang sayur. Di sebuah sudut ladang yang agak luas, lagi-lagi, saya memutuskan untuk kembali beristirahat.

“Sayang, kopinya belum habis,” celetuk saya kepada Ika.

“’Kan bisa di teras rumah,” sahut Ika.

Ya elah, ngopi di teras rumah mah besok pagi juga bisa,” jawab saya ketus.

Alhasil, kami duduk dan membuka kembali termos kopi untuk dihabiskan. Saya sempat menyapa seorang yang lewat, meminta izin untuk berisitirahat. Saya tidak tahu, apakah orang yang saya sapa itu pemiliki ladang atau bukan. Tak apa, yang penting izin.

Bagi saya, tidak ada kata gagal dalam sebuah perjalanan. Apapun itu. Setiap kaki yang melangkah, setiap napas yang tersengal, selalu ada cerita. Saya tidak pernah merasa gagal ketika melakukan suatu perjalanan meski tak sampai tujuan. Karena lepas jeda, akan ada makna yang tersirat.

Alam tidak akan membiarkan setiap perjalanan itu datang dan pergi begitu saja. Apalagi jika perjalanan itu dituliskan. Ia akan abadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *