34°C pukul satu siang di Yogya. Matahari berada di titik zenith Pulau Jawa. Luar biasa panasnya. Sepiring nasi ayam geprek telah tandas. Menyisakan seperempat gelas es jeruk. Warung makan beratap seng membuat siang semakin panas. Saya berpikir untuk memesan minuman dingin kembali. Di antara kebingunan hendak memesan es teh atau es jeruk, sebuah pesan singkat masuk. Sebuah foto buku Mandara dan Sagara, dua novel saya yang pada 30 September lalu baru saja diluncurkan, muncul di layar ponsel. Pada foto, tampak dua anak baru lahir itu ditemani rangkaian bunga mawar merah di dalam pot gelas kaca berisi air, dipajang di kaki patung Ganesha dengan kain poleng menyelimuti kakinya.
“Kemarin di Candi Prambanan, aku menengok Shiva dan Ganesha,” kata-kata dalam pesan.
Kalimat itu menyambung pesan yang datang pada pagi hari berupa sebuah foto dupa, “Dupamu dan dupaku aku gabungkan hari ini. Satu di pagi hari sudah menyala. Tujuh dan sebelas untuk nanti sore dan malam; untuk pitulungan dan kawelasan. Dalam beberapa hari ini lumayan berat. Cuaca juga tiba-tiba berubah rencana.”
Pesan kemudian beruntun dengan lainnya, sebuah foto seorang penari. Saya belum pernah melihat dia menari. Tanpa membalas pesan, saya menanggapinya dengan memesan tiket travel menuju Salatiga. Sungguh impulsif, karena sebenarnya saya tidak bisa datang. Pekerjaan menyebabkan saya belum bisa meninggalkan Yogyakarta. Sementara hari ini, 2 Oktober 2024, teman-teman Komunitas Soramata memperingati Hari Batik Nasional dengan mengadakan pameran batik di Orlen Heritage, sebuah bar dan rumah makan di Salatiga. Seturut rencana, Mandara dan Sagara akan menyusup dipamerkan, sebagai kelanjutkan dari peluncurannya pada 30 September lalu. Mengobati kegagalan rencana awal untuk juga mengadakan peluncuran Mandara dan Sagara di Salatiga yang dijadwalkan pada 1 Oktober 2024 sesuai rencana kerja penerbitan yang telah saya buat.
Tentang Soramata, saya ceritakan nanti.
Masih di warung yang sama, di Jalan Kaliurang 10km. Di aplikasi pemesanan tiket, saya kesal karena mendapati jatah 14 kursi travel menuju Salatiga sudah habis. Enggak mungkin, gumam saya dalam hati. Saya biasa memesan travel Yogyakarta-Salatiga dan kejadian ini tidak pernah terjadi. Setidaknya satu kursi tersedia. Saya melirik arloji di tangan. Waktu menunjukkan pukul setengah dua. Saya berencana memesan travel pada jam tiga sore agar bisa hadir pada pameran yang dibuka pukul enam sore. Jarak 80km antara Yogyakarta menuju Salatiga biasa ditempuh dalam dua jam dengan menggunakan travel. Tanpa pikir panjang, dan batal memesan minuman kembali, saya memutuskan untuk bergegas menuju Seturan, lokasi pool travel. Motor kesayangan saya lajukan cukup kencang demi mengejar waktu, karena saya harus pulang ke rumah di pusat kota terlebih dahulu lalu kembali ke Seturan sebelum jam tiga sore. Untungnya, saya berhasil mendapatkan satu tiket menuju Salatiga dan dua setengah jam perjalanan yang biasa saya lakukan terasa lebih lama dari biasanya.
Pada petang, Salatiga menyambut saya dengan hujan. Begitu rindu suasana ini. Dingin dan tenang. Dua hal yang akhir-akhir ini sulit saya dapatkan. Sebentar saja saya menunggu hujan mereda lalu memesan ojek daring menuju Orlen. Andre, adalah orang pertama yang saya lihat ketika saya tiba. Tentu ia terkejut. Karena ini memang kejutan. Ia berdiri menyambut saya dengan pelukan, “Katanya enggak bisa datang?”
“Memangnya cuma Permata Puspa saja yang bisa bikin kejutan?” saya menjawab santai, melanjutkan, “Mbak Titi mana?”
“Di dalam,” jawab Andre.
Saya menengok ke ruangan samping yang dimaksud Andre, sebuah ruangan gelap yang dipenuhi aroma dupa. Di dalamnya, didapati seorang penari yang sedang siap-siap menari, sedang duduk dengan rokok terselip di antara jemari. Tak langsung menghampiri, saya cukup berdiri, memerhatikan dia dari gawangan pintu. Dan cukup terkejut ia, ketika menyadari kehadiran saya tiba-tiba tanpa kabar. Saya hampiri ia, mencium pipi kanan dan kiri sembari mengucap kalimat yang tadi diucapkan kepada Andre, “Memangnya hanya Permata Puspa saja yang bisa bikin kejutan?”
Namanya Titi Permata Puspa. Saya biasa menyapa dengan sebuatan Mbak Titi. Perkenalan saya dengannya berawal ketika saya diajak oleh Mas Danto untuk menemaninya ke Salatiga, pada Mei 2021. Saya menumpang beberapa malam di rumah Mbak Titi. Lepas beberapa malam itu, kami tidak berhubungan sampai akhirnya saya kembali ke Salatiga untuk mengikuti acara Benang Merah Kepada Tanah di Tepikota Coffee pada November 2023. Dari situ, kami kerap berkomunikasi. Pesan pertamanya, ia memberikan testimoni tentang produk sampo Maniksaka, jenama perawatan tubuh milik saya.
“Enak banget jatuhnya di rambut dan kulit,” tulisnya.
Perbincangan kami berkelanjutan tentang banyak hal. Tentang batik yang ia geluti dunianya, juga tentang Sagara, novel kedua yang sedang saya tulis, tentang lautan yang tidak saya kenal.
“Loh, Sagara lak lautan, to?” tanyanya pada suatu pesan.
“Iya. Tapi aku enggak pernah beririsan dengan laut, Mbak,” saya membalas.
“Terus, belum ketemu Sagara?” tanyanya lagi.
“Sudah ketemu setengah. Tugasku cari setengah lagi,” saya menjawab, “ini kayak nyari diri sendiri, sih. Selama ini kita gampang banget lihat dari perspektif atas; gunung, tapi lupa caranya lihat ke dalam lautan.”
“Lautan di tubuh kita 0,4% dari sekitar 80% kandungan air tubuh. Jagat alit versus jagat ageng berkebalikan rasionya. Salinitas di laut perberat airnya sekitar 3,5%.”
“Aku merasa enggak punya arti ketika berada di atas kapal selama 30 jam dari Surabaya menuju Makassar. Aku enggak bisa berenang. Aku pasti mati kalau kapal itu tenggelam. Laut, menurutku rahim ibu. Sementara kita enggak tahu rasanya ketika dikandung ibu selama sembilan bulan itu.”
“Aku koreksi, ya. Belum tentu mati kalau punya koneksi baik dengan penyu dan lumba-lumba. Mereka ada di sekitar manusia yang peka.”
Pada waktu yang berbeda, ia mengetik pesan, “Barangkali novelmu nanti bisa kucanting lalu diwarnai dengan pewarna alam.”
Maret 2024 saya kembali ke Salatiga untuk menyerahkan dua naskah Mandara dan Sagara kepada Mbak Titi. Saya sepakat, bersama Atha, ia menjadi ilustrator sampul buku Mandara dan Sagara. Sejak saat itu, saya hampir setiap bulan ke Salatiga. Ada saja kegiatan yang mengharuskan saya berkunjung ke kota yang berada di kaki Gunung Merbabu itu. Dibuka oleh Sagara tadi, beruntut dengan permintaan Mbak Titi kepada saya untuk ambil bagian dalam Waste to Energy Project sebagai perancang bangunan pabrik pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar minyak, lalu Maniksaka yang juga meminta ikut meletakkan jangkarnya. Keberadaan saya di Salatiga kemudian tidak hanya di permukaan saja. Tiga pondasi kehidupan sudah tertancap di Salatiga yang membuat saya merasa, hidup ini semakin berkelindan di kota kecil nan sejuk ini. Terlebih ketika Mbak Titi secara khusus membuatkan saya sesaji canting dan hasil panen pekarangan rumah pada suatu acara di Orlen Heritage dan saya diminta untuk menyalakan dupa.
“Aku pikir kamu ada acara nyanting bareng di sini lalu menyisipkan Mandara dan Sagara,” ucap saya kala siang itu.
“Enggak. Ini dibuat khusus untuk Mandara dan Sagara,” jawabnya dengen suara pelan namun tajam.
Saya merasa, jarak yang membentang sepanjang 80km itu lamat-lamat terlipat dan mendekat. Dari kaki Merapi, kemudian melekat pada sejuknya lereng Merbabu. Saya juga merasa menjadi lebih dekat dengan teman-teman Soramata, komunitas yang didirikan oleh Mbak Titi. Wajar, ketika saya membuat rencana kerja penerbitan Mandara Sagara, Salatiga harus menjadi kota lahir dua anak yang telah dikandung, untuk mendampingi Yogyakarta. Namun sayang, semesta berkehendak lain.
Tentang Soramata, Mbak Titi bercerita, basora dalam bahasa Halmahera punya arti bersinar. Sebuah batu mulia yang berada di dalam perut bumi. Tidak mudah untuk mendapatkannya. Ia perlu kekuatan untuk menggali tanah; ia perlu ketelitian agar tak salah pilih. Ia tahu, mengambil batu itu tak mungkin sendiri. Maka dengan ketelitiannya, ia memilih raga-raga kuat yang mau bersamanya untuk masuk ke lapisan tanah terdalam, mengangkat batu itu. Tak berhenti di situ, raga itu juga harus sepadan dengan jiwa yang kuat, karena layaknya batu mulia harus diasah dengan sesuatu yang juga keras agar ia bisa memancarkan sinarnya, menjadi permata.
Ceritanya berkelanjutan dengan keluh kesah. Soramata adalah sebuah perjuangan melawan kanker yang dideritanya. Mendirikan Komunitas Soramata merupakan upaya untuk menumbuhkan sinar harapan jiwa di antara raga yang barangkali sedang tak sempurna. Saya mafhum, sehelai daun bermata kecil adalah lambang yang paling tepat untuk menggambarkan Soramata.
Saya jadi teringat ucapan sahabat saya, Mbak Rika. Andai saja saya tidak punya alergi kulit, barangkali Maniksaka tidak akan pernah hadir. Saya tidak akan berjuang untuk tubuh saya yang tidak sempurna ini, yang menghitam lepas rasa gatal dan panas mendera kulit. Harapannya adalah, bercak hitam besar di paha kiri saya akan hilang seturut dengan perjuangan saya membesarkan Maniksaka. Juga dengan Soramata yang semakin bersinar sehingga mampu membunuh akar kanker di tubuh Mbak Titi.
Bahwa kelemahan bisa menjadi kekuatan jika kita bisa mengasahnya. Bahwa terang hanya bisa dilihat dalam kegelapan.
Kembali kepada Sagara, yang kini telah saya lengkapi setengah bagiannya. Sama seperti Maniksaka dan Soramata, saya tidak akan menulis jika saya mampu meluapkan segala pikiran melalui ucapan.
“Alon-alon le ngomong ben ora gagap,” begitu Mbak Rika selalu mengingatkan.
Saya tidak tahu, siapa darah leluhur yang mengalir di tubuh sehingga saya punya kemampuan menulis. Saya kuliah teknik. Otak kiri lebih perkasa dibanding kanan. Dengan menulis, saya berusaha untuk hati selaras dengan kepala. Dengan menulis, saya merasa tenang. Dan saya cukup berbangga, dua novel telah saya terbitkan pada 30 September 2024 lalu.
Dan malam 2 Oktober 2024 itu terasa begitu menyenangkan bagi saya. Sejenak lari dari ruwetnya pekerjaan. Bisa merasakan udara sejuk di antara kemaraunya Yogyakarta yang berhasil membuat gatal di tiap lekukan tubuh. Semalam saja saya singgah. Saya dipersilakan tidur di kamarnya karena Mbak Titi bermalam di hotel. Dan itu cukup. Pada pagi saya pamit.
“Mbak Titi, aku pamit, ya,” tulis saya dalam pesan ketika kembali besada di dalam travel, perjalanan pulang menuju Yogyakarta.
“Matur nuwun, ya, Wid. Piye nek kowe tak-rekrut jadi Soramata?” balasnya.
“Mau, dengan satu pertanyaan, kenapa Mbak Titi bikin Soramata?” saya membalas pesan.