Mengenal Gorontalo dengan Sepiring Ayam Bakar Iloni

Betapa mengerikan hidup tanpa makanan-makanan yang enak.” Soe Hok-gie.

Sebagai orang Jawa, pengalaman lidah saya atas gastronomi Nusantara begitu sedikit. Saya harus melampaui usia 39 tahun dulu baru bisa mengenal dan mengicip coto makassar di kota aslinya! Sungguh kasihan. Tidak tanggung-tanggung. Dalam lawatan (cailah, lawatan!) perdana ke Sulawesi Selatan, saya mendatangi Festival Ensiklopedia Pangan Olahan Sulselbar di Ford Rotterdam! Ya, namanya juga festival makanan, jelas saya makan! Ada olahan pisang barongko yang mirip dengan carang gesing di Jawa, bau peapi jepa yang bikin tambah nasi terus, dan kapurung yang membuat saya menyebut nama Tuhan yang jarang disebutkan. read more

Hilangnya Makna Perjalanan Kini

“dan di situlah aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda dalam hidupku, saat paling aneh, saat di mana aku tidak tahu siapa aku sebenarnya–jauh dari rumah, kelelahan, di sebuah penginapan murah yang belum pernah kulihat sebelumnya,”

Sepenggal peristiwa yang dialami Sal Paradise di buku On The Road mengingatkan saya pada perjalanan solo ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, 2012 silam. Memandang kosong dinding ivori penuh bercak karat bekas hujan sebuah penginapan di Kota Ende, lepas perjalanan darat menakutkan dari Moni, menahan tangis di tenggorokan, karena akhirnya keluar dari suatu ancaman. Musababnya, seorang kenalan pada pendakian Kelimutu, yang mengantarkan saya di perjalanan itu, sempat merayu untuk sejenak berhenti di pinggir jalan yang sepi. Pun berusaha menyentuh salah satu bagian tubuh. Saya berusaha keras menahan kantuk yang luar biasa agar tetap awas terhadap ancaman itu. Maka, ketika akhirnya tiba di penginapan, rasa lega hadir. Saya selamat, meski lalu merasa sedih karena berada terpisah oleh banyak pulau dari rumah. Sendirian. read more

Tenggelam di Ketinggian

Pada Lawu saya kembali. Gunung pertama yang didaki lepas satu setengah tahun pandemi menghantam Bumi. Di antara waktu mengulur jarak dengannya, Lawu malahan seolah menarik saya untuk memilihnya, yang entah untuk apa.

Rabu pagi itu, pukul 9, Dusun Ceto, Karanganyar, cukup cerah. Matahari sedang bungah dalam peraduannya di ufuk timur. Saya duduk di warung Basecamp Lawu Barokah dengan secangkir kopi panas di atas meja. Gunung Merapi, Merbabu, dan Ungaran tampak di kejauhan, menari-nari di atas awan. Menjadikan kopi saset kali ini terasa lebih nikmat dari biasanya. read more