Mengenal Gorontalo dengan Sepiring Ayam Bakar Iloni

Betapa mengerikan hidup tanpa makanan-makanan yang enak.” Soe Hok-gie.

Sebagai orang Jawa, pengalaman lidah saya atas gastronomi Nusantara begitu sedikit. Saya harus melampaui usia 39 tahun dulu baru bisa mengenal dan mengicip coto makassar di kota aslinya! Sungguh kasihan. Tidak tanggung-tanggung. Dalam lawatan (cailah, lawatan!) perdana ke Sulawesi Selatan, saya mendatangi Festival Ensiklopedia Pangan Olahan Sulselbar di Ford Rotterdam! Ya, namanya juga festival makanan, jelas saya makan! Ada olahan pisang barongko yang mirip dengan carang gesing di Jawa, bau peapi jepa yang bikin tambah nasi terus, dan kapurung yang membuat saya menyebut nama Tuhan yang jarang disebutkan.

Pengalaman perkenalan itu membuat saya penasaran dengan olahan pangan Sulawesi lainnya. Jadi, ketika Ifah mengajak untuk datang ke acara Timur Jauh, Memasak Makanan Khas Gorontalo bersama Tukang Masak Partikelir, kolaborasi antara Kebun Buku dan Bhumi Bhuvana, saya langsung jawab, “MAU!”

Ihwal proyek kolaborasi ini berawal dari kedatangan Bhuki dan seorang teman, Byan, ke Kebun Buku untuk mengicip menu makanan baru yang disajikan oleh Tukang Masak Partikelir, proyek personal Adit, yang kemudian dibantu Wanda. Adit, yang enggan disebut koki pernah menetap di Gorontalo, dan Ifah adalah pemuda asli Gorontalo yang sedang menjalani studi di Yogyakarta, menjadi musabab masakan Gorontalo yang dipilih. Adit memasak, Ifah bercerita. Sementara Bhumi Bhuvana layak dijadikan tempat karena Bhuki, si pemilik, kerap menjamu teman-temannya di meja makan. Selain tim Kebun Buku dan Bhumi Bhuvana, acara ini juga mengundang beberapa teman ikut serta. Tak banyak, tapi cukup untuk membuat hangat.

Sore itu datang dengan sederhana. Daun pintu Bhumi Bhuvana terbuka satu. Saya bersama Adit dan Wanda, disambut Mey, pengelola toko kelontong ramah lingkungan yang terletak di Jalan Gerilya, Yogyakarta.

“Mbak Bhuki masih di Jakarta,” jawab Mey ketika saya tanya keberadaan pemilik Bhumi Bhuvana.

Menyusul Adit dan Wanda, saya masuk ke bangunan mungil itu. Lantai bawah difungsikan sebagai toko dengan rak-rak kayu dengan meja makan di bagian tengah sebagai tempat berkumpul, dan bagian atas sebagai tempat tinggal. Mengelilingi meja makan, Adit dan Wanda, langsung menyiapkan segala keperluan, sementara saya duduk santai di salah satu sudut. Tak lama Ariel dan Ifah datang.

Menu makan kali ini adalah binthe biluhuta, ba’alobinthe dan ayam bakar iloni, gohu lo putungo, serta popaco sebagai sajian penutup. Kalau di antara kalian yang kesulitan membaca nama-nama masakan tadi, tenang, saya pun harus mengeja untuk menuliskannya.

Mari kita bahas satu demi satu agar tak semakin bingung.

Yang pertama adalah binthe biluhuta. Coba eja, Teman-teman.

Bin-the bi-lu-hu-ta.

Masih susah?

Baik.

Mari kita sebut saja masakan ini dengan sebutan milu siram.

Hihihi.

Adalah semacam sup jagung. Beda dari kebanyakan sup jagung kental dari Barat yang lebih menyerupai krim, milu siram layaknya sup kuah bening. Satu mangkuk milu siram berisi suwiran ikan cakalang asap, udang, kelapa parut, daun kemangi, dan kuah sup bening berisi pipilan jagung. Terdengar segar, ya. Juga unik. Semacam urap yang dituang kuah segar, lalu dibubuhi perasan jeruk nipis untuk melangkapi rasa pedas kuahnya. Urap bukan sembarang urap karena ada rasa asap dari ikan cakalang, yang memang banyak terdapat di Gorontalo.

Menyicip milu siram, saya teringat ketika pertama kali mengenal kapurung. Meski lebih ringan karena tanpa papeda, rasa asin, asam, pedas, dan tentu segar—rasa-rasa yang begitu saya suka—pada milu siram membuat lidah terasa bahagia. Alamak!

Sore semakin gelap. Beberapa teman sudah datang. Menu selanjutnya yang disajikan Tukang Masak Partikelir adalah ayam bakar iloni. Adit menjelaskan, menu ini semacam masakan dengan bumbu kare, yang diolah menggunakan daun pandan seperti masakan Gorontalo lainnya. Yang membuat ayam bakar iloni berbeda adalah bumbunya tidak melalui proses tumis. Ayam dan bumbu langsung di-ungkep dengan santan tanpa minyak. Lepas beberapa lama, ayam diangkat untuk dibakar lalu dikembalikan ke ungkep-an.

“Dimasak sampai antara kelapa dan minyak berpisah, seperti rendang,” ucap Adit menutup cerita tentang proses pembuatan ayam bakar iloni. Saya membayangkan proses yang lama itu.

Ifah berkata, bahwa makanan pokok Gorontalo adalah nasi jagung yang disebut ba’alobinthe. Bukan tanpa sebab. Keadaan geografi membuat jagung tumbuh subur di Gorontalo, menjadikannya sebagai daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Hampir semua makanan atau masakan Gorontalo adalah olahan jagung. Ada milu siram, nasi jagung, bubur sada atau bubur jagung, dan beberapa kue olahan jagung lainnya.

“Dari makanan pembuka sampai penutup, pasti ada jagungnya,” ucap Ifah.

Namun, Repelita membuat Indonesia bergantung pada nasi, menghilangkan lokalitas yang memang tumbuh dengan sendirinya tanpa dibuat-buat, menyamarkan jagung.

“Anak-anak muda merasa, bubur sada itu makanan kampungan,” Ifah terus bercerita.

“Makanan orang miskin,” Adit menyahut.

“Sama seperti di Jawa, orang Gunung Kidul itu miskin karena makan nasi tiwul, katanya,” saya menyambung obrolan, “padahal, bukan perkara enggak mampu beli beras, tapi jagung dan singkong tumbuh subur di sana.”

Saya jadi teringat obrolan santai antara kami—saya, Ika, dan Reynold— bersama Kang Dudu, seorang petani lereng Gunung Gede katika berkunjung ke ladangnya pada waktu lampau. Konon, jagung asli Indonesia itu, yang dibawa oleh bangsa Cina ke Nusantara, bukan jagung kuning manis seperti yang kita kenal sekarang. Melainkan jagung berwarna kuning pucat dan ungu; jagung pulut. Teksturnya pun tak sekenyal jagung kuning. “Enggak laku dijual, itu, mah, Neng,” ucap Kang Dudu. Kemungkinannya, bibit itu kemudian menyesuaikan karakter tanah, air, dan iklim, menjadikan jagung tadi tumbuh menjadi jenis yang berbeda. Opsi lain, antara jagung manis dengan pulut adalah jenis yang berbeda. Atau lainnya, jagung kuning nan manis adalah hasil rekayasa genetika agar orang Indonesia banyak yang diabetes! Seperti kita yang dipaksa memakan nasi.

Sungguh tak adil jika menempatkan padi atau beras atau nasi sebagai standar utama dalam pangan. Jangankan bicara sampai Indonesia Timur, tak semua Jawa bisa ditanami padi. Gunung Kidul tadi, misalnya. Bagaimana bisa tanam padi di atas tanah kars keras? Wong, untuk menemukan air saja harus melalui proses panjang pengeboran sampai menemukan sungai di dasar gua. Makanya, nih, ya, Pak Jokowi, jangan dilanjutken program Orde Baru itu. Kalau di Gorontalo tumbuh subur jagung, biarkan orang makan jagung. Kalau di Papua dorang makan papeda, bantu jaga itu hutan sagu agar seng kalah dengan sawit dan berhektrar-hektar padi lalu mengimpor petani jawa. Kalau perlu, bikin keramat itu hutan. Panggil jin-jin penjaga hutan, pohon, batu yang sigap merasuki pelaku deforisasi!

Kembali ke meja makan yang semakin riuh. Selain bersama nasi jagung, ayam bakar iloni juga disantap bersama gohu lo putungo, urap jantung pisang dan ikan cakalang asap. Tak heran ketika Adit berkata bahwa makanan-makanan ini disantap pada hari raya karena lepas sebulan puasa, lidah layak dimanja dengan rasa yang penuh antara asin, pedas, gurih, dan kaya rempah. Amboi!

 

Bagi saya, segala yang tak terduga kerap datang atas nama Sulawesi. Wallace menuliskan satu kitab tebal tentang keanekaragaman hayati pulau itu dan saya membacanya secara terperangah. Sementara di gastronomi, Sulawesi bukan daerah penghasil rempah tapi dipenuhi masakan kaya rempah. Sebut saja coto makassar dan ayam bakar iloni, dua olahan yang pernah saya coba. Sejauh yang saya ingat, ayam bakar iloni menggunakan jahe, kemiri, daun jeruk, dan serai sebagai bumbu utama. Sementara coto makassar berisi setidaknya 40 jenis rempah yang, tolong jangan suruh saya sebutkan satu per satu. Musabab keajaiban itu terjadi, baik Gorontalo maupun Makassar, merupakan kota pelabuhan yang selalu disinggahi kapal-kapal besar, terutama dari tanah Gujarat, Persia, bahkan Tiongkok, lepas melakukan kegiatan jual-beli di Maluku, surga rempah. Ada yang pergi, sebagian menetap, termasuk rempah. Laut sebagai jalan raya perdagangan pada zamana dulu dan pelabuhan sebagai halaman muka, membuat akulturasi budaya antara penduduk lokal dengan pendatang; antara kerajaan tuan rumah dengan tamu, terjadi. Dampaknya, budaya pesisir bersifat beragam. Tak hanya gastronomi, juga tentang agama dan adat istiadat. Khusus di kampung halamannya, Ifah bercerita, kuliner Gorontalo cukup dipengaruhi oleh masakan-masakan Arab dengan banyak rempah kering, menemani nasi jagung.

“Menjajah tidak selalu dengan kekerasan. Bisa melalui perkawinan,” ucap Adit.

Saya jadi teringat seorang teman berkata, Indonesia tak benar-benar punya makanan asli. Padi dibawa oleh bangsa Indocina dan singkong oleh Portugis. Semua sudah mengalami akulturtasi. Ia memberi kemungkinan, barangkali, hanya rawon yang merupakan makanan asli Indonesia karena tertulis di Prasasti Taji dengan sebutan rarawwan.

Namun saya tak peduli jika Indonesia benar-benar tidak punya makanan asli. Saya sudah bahagia bisa merasakan tiga masakan Sulawesi, selain coto makassar dan kapurung. Mendengar cerita tentang daerah lain yang tak saya kenal sebelumnya, tentang nenek moyang dan segala arusnya hingga ke anak cucu, di meja makan kecil kayu sederhana. Itu sudah!

Syahdan, selamat Idulfitri, Teman-teman. Tolong oper itu nasi jagung!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *