Menyematkan Sagara di Wukir Mahendra Giri

Matahari Terbit di Hargo DumilahKe Lawu saya kembali. Untuk tiga kali. 12°C pada delapan pagi. Kamp pangkal Cemoro Kandang tampak sepi. Hanya ada saya dan tante yang biasa saya sapa dengan Mbak Nik, juga Angga dan Putra, dua pemandu. Sementara pintu rimba dijaga oleh Mas Budi, lelaki tinggi gagah berwajah sangar tapi baik hati.

“Kenapa ndak tidur di sini semalam?” tanyanya.

“Bulik saya takut kucing, Mas,” jawab saya sekenanya.

Ndak ada kucing di sini,” jawab Mas Budi, melanjutkan “adanya kucing besar di atas kalau ketemu.”

“Wah, jangan sampai ketemu, dong,” jawab saya disambut tawa kami semua.

Pendakian Lawu kali ini begitu personal. Meskipun pengalaman tiap pendakian sama-sama menarik. Bagi saya, setiap gunung punya memori tersendiri, punya makna yang berbeda. Dan pendakian kedua kala lalu membuat saya memasukkan Lawu ke novel kedua yang sedang saya tulis. Lawu, menurut saya, layak menemani Rinjani. Sama ketika saya memilih Merapi untuk menemani Semeru di novel perdana, Mandara. Sayang, tiga tahun sudah Sagara tak kuasa saya teruskan. Mentok! Anehnya, cerita berhenti di Lawu. Berkali-kali saya berusaha menarik energi yang pernah diberikan Lawu melalui dua lawatan, tapi tak berhasil.

Saya meraba-raba petanda alam, menyelaraskan hati dan pikiran, menerka rumusan semesta untuk Sagara. Saya percaya bahwa alam selalu punya ramuan terbaik. Setengah berusaha, tapi di sisi lain saya pasrah.

Mungkin ada waktunya, saya membatin.

“Tapi, kok, lama?” sedikit jengkel membantah diri sendiri.

Muncul pertanyaan, mengapa roh Sagara begitu sulit saya dapatkan? Berbeda dengan Mandara yang dimulai dengan kerangka tulisan lengkap dari awal hingga akhir, Sagara mengalir begitu saja. Barangkali cerita tanpa rangka itulah membuat Sagara sulit saya tulis. Perjalanan 30 jam di atas Laut Jawa tak membantu cerita tentang Lawu beranjak panjang. Pun kunjungan saya ke Parangkusumo juga sia-sia.

Apa yang kurang?

Memori proses penulisan Mandara hilir mudik. Saya teringat ketika berada di posisi tidak tahu berbuat apa; membutuhkan Semeru sekali lagi tapi tak kuasa untuk kembali, di atas motor melintasi jembatan Lempuyangan, saya melihat Gunung Merapi tampak gagah berdiri. Merapi yang, kala itu begitu jelas dilihat dari Yogyakarta, seolah menyapa saya, “Aku nang kene.”

Tersadar, bahwa saya harus kembali ke Lawu untuk minta restu, maka segala rencana perjalanan dibuat. Saya catat beberapa lokasi yang hendak dikunjungi, seperti Candi Cetho dan Sukuh, juga beberapa dusun terakhir yang berbatasan langsung dengan hutan. Sayang, ada saja kerjaan yang datang sehingga rencana itu tak berhasil dilakukan.

Hingga akhirnya kali ini. Anehnya, pendakian ini tak banyak rencana. Mbak Nik yang tinggal di Australia, memutuskan untuk menunda pendakian Gunung Latimojong di Sulawesi, lalu memilih Lawu, agar pulang kampungnya kali ini tidak berlalu begitu saja, tanpa merasakan aroma vulkanik Tanah Airnya. Ia juga yang membayar private trip kali ini. Saya tinggal berangkat. For your early 40th birthday, katanya.

Kebetulan? Saya tidak percaya kebetulan. Dan Lawu mempertegas pendiriannya untuk tak memberi jalan mudah. Ia menghendaki saya mendaki alih-alih tamasya ke candi-candi. Maka di pintu rimba tersemat janji, jika saya berhasil sampai Puncak, restu Sagara akan dilantunkan. Jika gagal, Sagara tidak akan saya lanjutkan.

Kulo nuwun, Mbah Lawu. Ndherek slamet,” doa di pintu rimba tersemat. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi.

Dari dua jalur yang telah saya lewati sebelumnya, Cemoro Kandang begitu memanjakan kaki. Setapak tanah tertutup hutan dengan jalur memutar dan landai begitu empuk dipijak. Ramah untuk kaki menuju usia 40 tahun yang semakin kekurangan kalsium. Maka semat janji yang terucap tadi dirasa adil. Bahwa saya tak mau memaksa tubuh bekerja keras, Sagara saya pertaruhkan. Saya mengikuti Lawu mengizinkan sampai mana kaki ini boleh berpijak. Juga usia Mbak Nik yang genap 50 tahun membuat pendakian ini harus sepenuhnya dirancang baik.

Pada mulanya Mbak Nik menawari saya untuk melakukan pendakian ini hanya berdua. Saya menolak keras. Barangkali ia iri, melihat saya bisa mendaki bersama teman-teman tanpa pemandu dan uang yang banyak, tidak seperti private trip yang biasa ia lakukan. Saya jelaskan, mendaki gunung bukan hanya perkara fisik, juga tentang mental. Siapkah kita tentang ketangkasan dan pengetahuan alam liar? Mampukah kita merancang pendakian? Sanggupkah kita menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di alam liar? Saya tidak mampu. Juga Lawu yang pernah tak menghendaki saya dan Roro mendaki berdua kala pertama dulu.

“Kalau aku sama teman-teman, beban kelompok dibagi rata, Mbak. Pembawa tenda, pembawa logistik, pembawa perlengkapan lain. Belum lagi di Cemoro Kandang enggak ada sumber air,” ucap saya di pesan singkat.

“Aku enggak mau kalau tanpa guide dan porter.”

Alhasil, beban pendakian kali ini adalah yang paling ringan. Ransel 60 liter terisi setengah, hanya perlengkapan pribadi. Perut diisi berbagai varian makanan dan lengkap nutrisi, disiapkan Angga dan Putra dengan baik, sehingga kami punya energi yang sempurna. Saya membayangkan, bagaimana jadinya kalau Mbak Nik hanya mengonsumsi mie instan yang biasa menjadi logistik utama ketika saya mendaki bersama teman-teman. Ia saja muntah karena alergi makan kacang goreng yang dibawanya sendiri. Riang hati saya susuri hutan Cemoro Kandang. Juga jeda pertemuan yang panjang antara saya dengan Angga membuat pendakian kali ini begitu menyenangkan.

***

Pemandangan dari Cokro Suryo

Enam jam dari pintu rimba, kami menyusuri punggungan terakhir. Jalur di hadapan barangkali adalah yang terberat daripada sebelumnya. Bebatuan acak nan terbuka. Beberapa kali saya berhenti untuk mengembalikan napas yang terengah. Juga Matahari sore yang masih terasa geliatnya membuat tubuh cepat lelah karena panas. Terdengar teriakan saling sahut antara Angga dan Putra dengan seseorang di atas sana membuat hati sedikit sumringah, kemah hampir dekat.

“Suara Sekar,” kata Angga.

Sekar dan Dian, dua poter yang berangkat pukul enam pagi sudah lebih dulu sampai untuk mempersiapkan kebutuhan kami.

“Sekar itu cewe atau cowo, sih?” tanya saya.

“Nanti Kak Widi lihat sendiri aja. Namanya enggak mencerminkan namanya,” jawab Angga yang disambung tawa Putra.

Setengah jam berselang, kami tiba di Pos Cokro Suryo, tempat akhir pendakian hari ini. Lokasi kemah yang luas, dengan satu warung itu hanya diisi oleh tiga tenda kami. Dua orang mendekat dan menyalami saya dan Mbak Nik, memperkenalkan diri bernama Dian dan Sekar.

“Oh, ini yang namanya Sekar,” saya berseloroh yang disambut senyum malu pemilik nama. Pemuda tinggi besar berambut gondrong itu tampak malu-malu.

Meja dan kursi lipat tertata rapi di depan salah satu tenda. Juga matras dan kantung tidur tersusun rapi di dalamnya.

“Mau minum apa, Kak?” tanya Angga, “Teh, kopi, jahe?”

“Saya mau kopi,” jawab Mbak Nik.

Eike jahe, ya, Ngga,” ucap saya.

Tak butuh waktu lama dua cangkir permintaan kami hadir di meja. Juga beberapa kudapan manis sebagai pengganti energi yang telah terbuang. Saya terkikih, berceloteh, “Wah, enak, ya, pakai jasa private trip. Semua disediain.”

Kan, memang sudah termasuk jasanya, Kak,” Angga menyahut.

“Iya, tahu. Cuma lupa aja. Udah lama enggak pakai guide,” seloroh saya yang disambut tawa.

Kami menikmati cuaca Lawu yang cukup baik pada sepanjang sore menuju petang bersama gelas-gelas minuman hangat. Kami saling bercerita tentang rentang waktu tak berjumpa. Juga tentang pengalaman Lawu saya terdahulu dan janji pintu rimba yang tersemat. Juga jawaban atas pertanyaan tentang nama Sekar.

“Jadi dulu dikiranya perempuan, Mbak. Wis kebacut di-kei jeneng Sekar, jebul sing metu lanang,” jawab Sekar.

Trus nama panjangmu siapa?” saya bertanya.

“Raden Mas Sekar Mangku Wanito Limo,” selorohnya.

***

Pada malam, lepas perbincangan yang hangat, rebah di dalam kantung tidur, siap-siap beristirahat, saya kembali teringat janji bahwa tak mau terlalu memaksa diri. Saya merasa pendakian cukup sampai di sini, tidak usah sampai Puncak. Toh saya juga tidak mendaki Merapi kala Mandara lalu.

“Kalau besok bisa bangun untuk muncak, Sagara lanjut. Tapi kalau enggak, Sagara berhenti,” saya kembali bertaruh dalam hati.

Entahlah. Banyak pertaruhan yang saya buat di Lawu kali ini.

Pukul tiga dini hari saya terbangun. Juga waktu yang terus bergulir mengantarkan kami ke Puncak. Dua jam berlalu pada gelap, semburat Matahari terbit akhirnya menjadi gerbang memasuki Hargo Dumilah. Di antara keramaian orang merayakan di tanah 3265 meter yang menjulang tinggi dari permukaan air laut, saya berlutut diam-diam, menyelinap di satu sudut sepi antara cantigi dengan bunga abadi. Meletakkan telapak tangan di atas tanah Lawu, mengucap, “Nyuwun pangestu kanggo Sagara, Mbah,” berdoa lalu ditutup dengan menepuk tanah Lawu tiga kali.

***

Pada sore pukul empat saya telah kembali ke kamp pangkal. Kaki saya terasa sakit. Saya tahu Angga memilih jalur potong kompas, meski ia tak mengakuinya. Membuat saya berjalan cukup tertatih. Waktu yang dilalui ketika turun gunung, hampir sama dengan naik. Tidak seperti lainnya yang bisa menghemat waktu setengahnya.

“Terakhir kita nanjak itu ke Semeru, ya, Kak?” Angga bertanya.

“Iya, 2018,” jawab saya.

“Berarti endurance Kak Wid menurun banget, dong?” jawabnya.

“Lima tahun, kan, umur juga nambah, Ngga. Hampir 40 tahun, nih,” saya mengeluh, melanjutkan, “barangkali bisa lari, tapi gue memilih tidak.

Cemoro Kandang dipilih karena jalurnya yang landai. Tapi ternyata jalur pulang berbeda dengan yang pertama. Tidak seperti ketika mendaki naik, tangan bisa membantu kaki untuk menarik beban, tapi tidak dengan turun. Turun gunung, beban sepenuhnya ditanggung kaki. Jika tidak hati-hati, kemungkinan cidera di kaki lebih besar. Tiga hari lepas sampai rumah, sakit di kaki tak kunjung pulih.

Kamp Pangkal Cemoro Kandang

Di hadapan sanggah yang berisi canang dan sesaji, saya berdiri mengambil jarak, mengamati mentari sore yang pecah oleh ranting, hening tanpa mengucap kata. Menciumi aroma dupa dan menerima beban baru di pundak; melanjutkan Sagara.

Hingga tulisan ini dibuat, tersimpan tiga bab baru untuk Sagara. Matur suwun, Lawu.

Kiri ke Kanan: Putra, Mbak Nik, Alanis Morissette, Angga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *