Membawa Pulang Restu dari Sumbing

Malam jatuh. Pagi tumbuh. Desa Butuh, Kaliangkrik, Magelang, tak begitu ramai. Kata orang, desa ini tak banyak dipilih oleh para pendaki. Salah satu penyebabnya, barangkali, akses yang sulit dijangkau dengan transportasi umum. Namun, musabab sepi itulah, saya bersama Yanu, Arni, Galang, dan Alif, memilih desa ini sebagai pintu rimba memasuki hutan Gunung Sumbing.

Seminggu tepat lepas perbincangan sore di Kebun Buku, kami berada di kaki Sumbing. Agak aneh. Di usia yang bukan lagi duapuluh, dalam waktu setengah tahun, saya melakukan tiga pendakian yang tidak dirancang lama: Lawu, Arjuno, dan kali ini Sumbing. Dua yang terakhir, bahkan tidak lebih dari seminggu. Padahal saya pernah berujar pada diri sendiri, tidak akan sembarangan mendaki. Tapi hari ini sungguh berbeda dari yang terucap. Saya merasa, ketika memutuskan mengulur jarak, mengapa gunung malah menarik untuk kembali.

Aneh. Benar-benar aneh.

Dari kamp pangkal, kami menaiki ojek menuju batas ladang, dua puluh menit di bawah Pos 1. Ojek di Gunung Sumbing memang sudah terkenal keberadaannya, dan saya tak mau melewatkannya begitu saja. Sebagai bentuk dukungan terhadap perekonomian warga, selain menghemat tenaga dan waktu. Kelak, lepas turun gunung, saya menyadari bahwa bonceng depan menyusuri jalan ladang berbatu yang menanjak serta meliuk adalah hal gila pertama di belum genap sebulan saya memasuki usia 40 tahun.

Life begins at forty, right?

Tepat 10 pagi, kami meninggalkan ladang. Kabut tipis di celah cerahnya musim hujan menyertai langkah kami memasuki hutan. “Ndherek langkung, Mbah Sumbing. Kula nyuwun slamet,” saya merapal mantra keselamatan dalam hati.

Dari Pos 1 sampai Pos 2, jalur didominasi anak tangga batu, kayu, dan tanah. Meski menukik, jalur ini begitu rapi. Sengaja dibuat lebih ramah karena biasanya jalur-jalur seperti ini dipakai warga mencari kayu bakar atau pakan ternak dan peziarah yang hendak bertirakat di puncak gunung.

Di jalur ini pula, saya memikirkan nasib ketika turun. Terbayang kaki yang akan menjadi remuk. Pengalaman pendakian Lawu pertama kali ketika melewati jalur Cemara Sewu berhasil membuat saya berjalan merambat selama tiga hari. Remuk. Musababnya, selain ketidaktahuan saya terhadap risiko turun gunung di atas jalur berbatu; tidak menguasai teknik berjalan turun, juga tentang ketidaksiapan mental. Namun, pendakian Sumbing kali ini telah saya terima secara sadar. Maka, di setiap anak tangga naik, saya panggul risiko itu, semakin naik dan semakin terpanggul, sehingga saya menjadi siap ketika turun kelak.

Dua jam berlalu, kami tiba Di Pos 2. Kami beristirahat cukup lama. Jam makan siang. Menu spageti yang kami masak saat itu, beserta lauk ayam goreng yang dibeli di kamp pangkal menjadi santapan penuh akulturasi Barat dan Timur. Juga mangga yang dibawa dari rumah dan salak yang dibeli di Pos 1, serta obrolan-obrolan santai mengenai buah-buahan yang disukai dan tidak oleh Galang.

“Bentuknya itu aneh,” ucap Galang menceritakan buah salak yang tak disukainya.

“Tapi kamu udah pernah coba?” saya bertanya.

“Belum,” jawabnya, “enggak pernah dikasih sama papa-mama,” lanjutnya.

“Loh, gimana rumusnya kalau belum pernah coba tapi udah bilang enggak suka?” saya menyahut heran.

“Coba aja dulu,” saya melanjutkan seraya mengulurkan buah salak yang sudah terkupas sampai kulit ari, yang lalu disambut uluran tangan Galang.

Sekali gigit, Galang membuang buah itu. “Baunya aneh,” katanya yang lalu disambut tawa kami.

“Kalau fermentasi salak?” saya bertanya lagi.

“Nah, kalau itu aku doyan banget,” jawab Galang yang membuat Pos 2 menjadi gembira.

Lepas kenyang, kami melajutkan ke Pos 3. Jalur tanah memutar nan landai menjadi obat lara lepas menaiki seribu anak tangga. Meski sebentar-sebentar diselingi oleh bebatuan sungai vulkanik yang licin, jalur tersebut mudah kami lalui. Tak butuh waktu lama. Satu jam saja kami tiba di sebuah area kemah tak jauh dari Pos 3.

Teringat ucapan Pak Sulis, penjaga kamp pangkal, tentang area kemah yang baru saja ia buat, yang berada dekat dengan sumber air, di bawah Pos 4. Ada kekhawatiran sebelumnya, bahwa jalur pendakian Gunung Sumbing Desa Butuh, tidak terdapat air. Maka pada pagi sebelum pendakian itu, ketika melakukan registrasi, kami bertanya tentang ketersediaan air.

Saya melihat sekitar, berpikir, sepertinya tempat ini berbeda dari yang dikatakan Pak Sulis. Saya melirik pada arloji, waktu menunjukkan belum genap pukul empat sore. Kumandang azan terdengar dari desa entah yang mana. Hari masih terlalu terang untuk berkemah. Antara kami saling menimbang, apakah akan berhenti dan berkemah di sini atau melanjutkan perjalanan hingga petang menjelang. Namun, kami tidak tahu di mana ia. Apakah tabungan dua jam cukup untuk membayar atau kami harus melewati malam hingga sampai di tempat yang dikatakan Pak Sulis, dengan fisik yang tak lagi prima karena beban di pundak, dengan mental yang telah lemah. Kami tak mau berjalan pada malam.

“Aku pikir tempat ini berada di tengah-tengah. Kita ke Puncak besok, kan, enggak bawa beban. Jadi, meski ektrem, aku pikir, aman, lah. Juga enggak begitu jauh untuk turun. Soalnya, kalau ke atas lagi, bakal jauh banget turunnya. Jalur batu begitu,” saya mengutarakan pendapat lepas menimbang yang dengan cepat disetujii Galang.

Saya melanjutkan, “Soal air, kalaupun enggak nemu sumber air di atas, kita bisa turun di sungai di bawah Pos 3 tadi.”

Maka, di ketinggian 2667 meter di atas permukaan air laut, kami berhenti. Kami memutuskan untuk cukup. Untuk tak terlalu memaksa, meski ruang dan waktu diberikan sisa.

Kami berbagi tugas, Yanu dan Galang mencari air, sementara saya, Arni, dan Alif mendirikan tenda dan menyiapkan lainnya. Cukup lama perjalanan Yanu dan Galang mencari air. Saya kembali khawatir, apakah mereka menemukan sumber itu? Apakah mereka akan kembali ke tenda dengan membawa air? Atau, apakah kami harus kembali turun untuk mengambil di kubangan sebelum Pos 3?

Satu jam berlalu, suara Yanu dan Galang terdengar dari tenda, dan tampak membawa botol-botol berisi air keruh kekuningan dari sebuah kubangan yang dipenuhi oleh sayap kupu-kupu.

“Semoga enggak keracunan,” ucap Yanu berharap.

Di gunung, manusia kadang tak punya pilihan. Di Lawu saya kelaparan, dan pilihannya hanya naik terus. Di sini, kami harus menerima air yang kuning nan keruh itu. Saya bersyukur mendapatkan air, apapun bentuknya. Setidaknya rasa khawatir akan air sirna sudah. Apa jadinya kita tanpa air? Maka kami mengolah air itu, sembari berharap tidak keracunan.

Galang dan Yanu juga menuturkan jalur ektrem nan jauh yang telah mereka tempuh untuk mendapatkan air dan area kemah yang kecil. Menurut mereka, keputusan kami untuk berkemah di tempat ini adalah tepat.

Di bawah langit gelap, membuat temaran lampu desa-desa di kaki Gunung Sumbing terlihat remang. Udara cerah tanpa kabut menemani malam istirahat kami. Juga bintang-bintang di angkasa tak mau kalah bersinar. Sementara nun di sana, Magelang yang memanjang dari selatan ke utara menyadarkan saya, semakin banyak manusia yang meninggali sebuah tempat, semakin menyala lampu itu, dan semakin jarang hijau yang berubah gelap ketika malam.

Menuju Puncak Sejati

Empat dini hari yang tak begitu dingin. Musim hujan menjadikan udara gunung lebih hangat dari lainnya. Awan hujan yang lebih kerap menggantung di angkasa, yang tidak membiarkan langit hanya terdapat warna biru, adalah kemungkinan penyebabnya. Saya melihat gumpalan awan itu di atas puncak gunung. Setengah khawatir, hujan akan turun. Namun, lepas matahari mulai terbit ketika kami sampai di sebuah tanah landai, rasa khawatir itu hilang. Langit sepenuhnya cerah dengan semburat jingga di ufuk timur. Sementara samudra awan berada di kaki kami, menutup desa dan kota yang semalam tampak, menyisakan puncak Gunung Merapi dan Merbabu yang ingin membuktikan kemegahannya.

Satu setengah jam dari yang pertama, kami tiba di Pos 4. Pagi sepenuhnya cerah. Sumbing seolah-olah memberi jalan terang atas pendakian ini. Tak ada halangan yang berarti. Tak ada hal yang membuat saya menahan dengki yang entah apa, seperti ketika perjalanan Arjuno, pada September lalu.

Menuju Puncak adalah jalur kerikil dan batu yang sebentar-sebentar diselingi tanah ilalang rebah, yang sepenuhnya terbuka. Jalur yang juga telah saya terima untuk kaki ini terpeleset ketika turun. Panas dan gersang. Haus dirasa lebih sering dari sebelumnya. Namun kami harus berhemat, mengingat bekal air tak begitu banyak.

Dua jam kami lalui hingga akhirnya tiba di sebuah tebing curam dengan webbing, tepat di bawah Puncak. Saya mendekati tebing itu. Meletakkan kaki di celah batu sementara tangan mencari celah lain untuk berpegangan, naik, menarik tubuh, hingga menggapai tali berwarna oranye di tengah tebing. Saya meraba dan merayap seperti cicak. Sungguh curam tebing itu. Tebing yang, kelak ketika turun, membuat saya berteriak, melepaskan kepanikan agar tak kalut, musabab tali berwarna oranye itu telah berhenti sementara tebing belum usai dan saya tidak menemukan pegangan lain, juga pijakkan celah batu yang terlalu jauh untuk kaki kecil saya.

Sumbing sangat cerah. Puncak Sundara menyempil di balik tebing seberang. Tersemat harap akan berada di sana suatu saat. Menyusuri tebing puncak, Segoro Wedi dan Banjaran tampak jelas di bawah dekat kawah; samudra awan membentang menemani surya yang telah mengangkasa. Sementara kami merayakan perjuangan. Segala lelah terbayarkan; segala khawatir dihilangkan.

Memandangi Puncak Sundara sekali lagi, saya teringat sesuatu.

Kudu munggah gunung meneh, Non,” ucap Mbak Rika ketika saya meminta untuk membaca garis tangan perihal Sagara yang, lepas pendakian Lawu tak kunjung maju jalan.

Gunung’e gede, kok, iki,” lanjutnya.

“Dalam atau luar Pulau Jawa?” saya bertanya.

“Jawa,” jawabnya.

Saya diam, merenung. Menulis novel kedua kali ini begitu banyak yang harus dipanggul. Mulanya saya pikir, menggapai Puncak Hargo Dumilah adalah tugas akhir untuk bisa menyelesaikan menulis Sagara, tapi ternyata meleset. Ada satu gunung besar di Jawa yang harus saya minum airnya, yang harus saya daki pada akhir tahun. Lagi-lagi agak aneh. Mengingat saya tak pernah, jika enggan dikatakan anti, melakukan pendakian pada musim hujan.

Pikiran saya beralih menebak-nebak nama gunung itu. Secara cepat, Sundara hadir di kepala. Mengingat ia yang terakhir saya lihat ketika dalam perjalanan turun dari Dieng kembali ke Yogya pada Oktober lalu. Juga tentang keberadaan Situs Liyangan dan Umbul Jumprit di kakinya, yang airnya tak pernah kering, dan yang menjadi hulu Sungai Progo. Tapi tebakan saya salah.

Di ketinggian 3371 meter di atas permukaan air laut, saya letakkan tangan pada batu besar paling tinggi, menepuknya tiga kali, merapalkan kalimat dalam hati, “Nyuwun pangestune kagem Sagara, Mbah.”

Kabut beranjak naik, kami bergegas turun pada pukul sembilan dan sampai kemah pada pukul 11. Pukul dua siang, lepas mengisi kembali tenaga dan merapikan segalanya, kami melanjutkan perjalanan turun menuju kamp pangkal. Kabut telah luruh dan menjadi rintik lalu sepenuhnya hujan ketika kami tiba kembali di Pos 2.

Di Sumbing, saya bersyukur kepada Empunya. Di usia 40 tahun yang belum genap sebulan ini, saya masih diberi kesempatan mendaki. Tak tanggung-tanggung, tiga gunung dalam waktu enam bulan. Sumbing, secara tak terduga, mengizinkan saya mencapai mahkotanya. Memberi jalan yang meski tak mudah dan tak juga susah, menggenapkan yang telah digariskan di telapak tangan; menyematkan Sagara, lalu membasahi dengan hujan ketika tubuh ini memunggungi hutan belantara.

“Bacaanmu sah, Mbak!” tulis saya di suatu pesan singkat beserta foto di Puncak keeseokkan harinya kepada Mbak Rika.

Munggah panas, mudhun udhan teles kebes!”

Nggawa rejekine gunung kuwi!” balas Mbak Rika.

***

Syahdan, benar yang dituliskan Ayu Utami di buku Bilangan Fu, bahwa kebenaran itu selalu tertunda. Ia harus dipikul terlebih dahulu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *