Hujan belum juga reda. Rintiknya membasahi pakaian dan sepatu. Dingin udara pegunungan di antara kelok-kelok Jalan Raya Pos Cianjur menembus pelan ke kulit. Saya dan Ika memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lepas berhenti cukup lama, berteduh dari hujan yang tiba-tiba datang menderas. Kalau saja bukan karena ingin mengulang kenangan, saya pasti enggan melakukannya. Sementara puncak Gede dan Pangrango tertutup kabut.
“Warungnya yang mana sih?” tanya saya ke Ika ketika kami sampai ke area parkir Kebun Raya Cibodas.
“Lupa ya?” Ika balik bertanya.
Ika membelokkan setir Hujan–motor Vega kesayangannya–lalu berhenti di depan sebuah warung bercat telur asin. Lamat-lamat saya menatap, warung tampak berbeda. Maklum, lebih dari sepuluh tahun tidak berkunjung. Etalase di sisi kiri dulu tidak ada.
Saya berjalan memasuki warung. Seorang lelaki paruh baya–mengenakan peci dan sarung–menyambut kami. Wajahnya berseri, senyumnya lebar. Ah, itulah dia. Awet muda sekali, batin saya.
“Kakinya kenapa?” kalimat pertama terucap. Barangkali ia melihat jalan saya yang masih sedikit pincang.
“Sedikit bengkak, Bah,” jawab saya.
Lelaki itu mempersilakan kami masuk. Namun, saya dan Ika memilih untuk duduk di bagian muka warung. Kami pun kemudian memesan kopi panas sebagai pembuka.
Warung Mang Idi. Berada di area parkir Kebun Raya Cibodas. Seperti warung-warung lain, Warung Mang Idi merupakan tempat istirahat bagi para pendaki yang ingin mendaki Gunung Gede atau Pangrango, atau yang baru saja turun gunung. Tempat untuk mengumpulkan tenaga atau merebahkan lelah.
Lelaki yang menyambut kami tadi itulah si empunya. Seseorang yang begitu ramah bagi siapapun. Seseorang yang, olehnya, kita merasa seperti anak-anaknya sendiri. Tak heran, warungnya selalu lebih ramai dikunjungi dari lainnya. Keramahan Mang Idi itulah yang selalu diingat dan menghadirkan rindu bagi siapapun yang pernah berkunjung untuk kembali merasakan kehangatannya, di tengah udara dingin pegunungan.
Nasi goreng dengan telur ceplok setengah matang adalah menu makanan favorit saya, dan juga Kopi Liong.
Seingat saya, terakhir kali mengunjungi Warung Mang Idi di tahun 2010. Saat itu, saya mengajak Ika, memperkenalkan Warung Mang Idi kepadanya. Gayung bersambut. Kami pun kemudian mengajak seorang teman lain, Cogus. Kami berangkat dari Jakarta pada pagi hari dengan bus dari Kampung Rambutan menuju Bogor. Sesampainya di Bogor, perjalanan dilanjutkan dengan Elf menuju Simpang Cibodas. Tak berhenti di situ, kami menyambung lagi dengan angkot menuju pemberhentian terakhir di Kebun Raya Cibodas.
Bagi saya, warung ini menyimpan banyak kenangan. Ketika masih duduk di bangku SMA, saya kerap berkunjung ke Warung Mang Idi bersama teman-teman dengan berkendara sepeda motor dari Jakarta pada akhir pekan. Pernah juga bersama seorang teman dekat dengan menggunakan angkutan umum, hanya untuk menghabiskan waktu bersama.
Hari masih gerimis. Di balik kepulan asap Kopi Liong di hadapan, saya bergumam dalam hati, untuk mengulang romantisme bernama Warung Mang Idi saja, saya rela menerjang rintik hujan. Pakaian dan sepatu basah; udara dingin. Suatu hal yang, sudah lama tidak saya lakukan, karena tentu saja, perkara usia.
Dari dalam warung, saya berjalan menuju area parkir. Tampak puncak Gunung Pangrango menyempil dari balik kabut. Sementara Gede, saudaranya, tetap tak nampak. Saya mengajak Ika untuk berfoto. Mencari lokasi, tempat saya, Ika, dan Cogus, pada tahun 2010 lalu juga berfoto. Tentu, untuk memamerkannya kepada Cogus.
Lepas berfoto, kami kembali menuju warung. Kali ini kami berpindah tempat untuk duduk di bagian dalam warung. Dek lantai kayu dengan jendela kaca yang dahulu tidak ada. Dalam rentang waktu sepuluh tahun, perubahan ini tentu pertanda baik. Warung pun tampak lebih bersih. Meski begitu, tidak ada kenangan yang hilang. Semua dirasa sama.
Pesanan gelas kedua Kopi Liong akhirnya datang. Saya duduk menghadap jendela. Tampak kelokan sungai nan berbatu di sisi kanan dan bukit dengan jajaran cemara gunung di sebelah kiri. Rangkaian pegunungan Gede-Pangrango tertutup kabut.
“Itu batas taman nasional,” ucap Ika menunjuk bukit cemara gunung, “masih suka ada babi hutan.”
“Oya?” saya menyahut. Heran, tiga kali mendaki Gede dan sekali Pangrango, saya tidak pernah mendengar adanya babi hutan turun gunung sampai batas terluar taman nasional.
“Sempat papasan waktu terakhir ke Pangrango,” cerita Ika.
Lepas memandangi bentangan alam gugusan Taman Nasional Gede Pangrango yang kembali dibasahi derasnya hujan, saya kembali mengarahkan ke dalam bangunan semi permanen ini. Pikiran saya kembali ke belasan tahun silam. Setiap orang yang datang ke Warung Mang Idi pasti meninggalkan satu kenangan. Coretan-coretan, foto-foto, atau sticker dari berbagai kelompok pencinta alam, pasti disematkan pada dinding yang, saat itu, masih terbuat dari kayu.
Saya teringat, selalu menambahkan turus setiap kali datang ke Warung mang Idi, di samping satu foto saya–dan beberapa teman–berpose bersama Mang Idi. Foto yang diambil pada kedatangan saya sebelumnya, setelah saya cetak. Saya lupa sudah berapa turus yang tergaris pada dinding. Yang saya ingat hanyalah, segala usaha pasti dilakukan untuk bisa kembali ke Warung Mang Idi di setiap kesempatan.
Meski kini dinding sebagai saksi bisu segala cerita romantis sudah tidak ada, tapi kenangan tetap tersisa di sudut pikiran. Ia akan tetap ada. Silih, berganti, dan akan datang kembali.
Itu kalo istirahat malam2 di warung sana, masih gratis kah? Atau sudah di kenakan tarif?
Sepertinya tetap gratis. Hanya beli makan dan minum.
Pemilihan kata dan runtutnya bagus, jadi enak dibaca. DItunggu karya tulisan selanjutnya! Terimakasih
terima kasih