Sore itu dingin. Antara hujan dan kabut silih berganti meremangkan hati di kaki Gunung Merapi. Aku menanti terang itu, tapi tak kunjung ia datang. Tak kuat sudah aku menahan perih yang entah datang dari mana. Kulihat arloji di tangan. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Aku ingin pulang.
Di antara hujan yang kurasai sama ketika menuruni Sumbing kala lalu, aku melaju paksa roda dua hitamku. Bulir-bulir air hujan menghantam wajahku seperti panah-panah danuh dari langit. Menyamarkan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku menangis. Teringat segala abai yang telah kuperbuat kepada Bapak dan Tomo, adikku.
***
Hai, Pak. Apa kabarmu di rumah?
Hari-hari ini Widi kerap memikirkan Bapak. Musababnya, Widi bermimpi Bapak. Di mimpi itu, di suatu siang yang cerah, Widi melihat Bapak berdiri di bawah pohon sembari menyalakan rokok. Sementara Widi tergopoh-gopoh menuruni sebuah tangga, lalu berhenti tatkala melihat Bapak. Namun, karena suatu hal yang entah apa, Widi hanya memandang Bapak yang, juga sedang memandang Widi. Kita saling berpandang diam, Pak. Lalu Widi pergi meninggalkan Bapak sendirian.
Pada pagi hari Widi merenung dengan segelas kopi hitam pahit di hadapan. Datang pertanyaan, mengapa mimpi Bapak hadir lepas dua hari sebelumnya Widi bermimpi yang tak kalah aneh, yang menjadi pintu segala keganjilan ini, yang tak usah Widi jelaskan di surat ini. Widi kemudian teringat perbincangan kita beberapa waktu sebelumnya di telepon, ketika Widi bertanya tentang Eyang Mudjio. 45 menit yang berharga buat Widi. Bukan hanya Widi tahu tentang Eyang, juga akhirnya Widi menyadari selama 40 tahun usia Widi, Bapak tidak pernah meninggalkan Widi. Selama ini Widi merasa Bapak tidak peduli terhadap Widi. Ada pepatah yang bilang, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya. Tapi sebelum ini, Widi tidak pernah merasa bersentuhan dengan pepatah itu. Widi merasa ada jarak di antara kita. Tapi ternyata Widi salah. Di 45 menit itu, ternyata Bapak mengamati dari jauh semua yang Widi lakukan, sama seperti di mimpi ketika Bapak melihat Widi pergi. Bapak tahu tentang Mandara, novel yang Widi tulis, yang tidak pernah sekalipun diceritakan ke Bapak. Dan Bapak bilang, begitu bangganya Bapak terhadap Widi.
Widi runtuh, Pak. Widi jatuh. Widi merasa jahat sekali menjadi anak, yang punya prasangka buruk terhadap Bapak. Juga tentang berita-berita buruk tentang Bapak itu, Widi bersikap diam, tidak membela. Tidak menuruti kata hati bahwa yang dikatakan dan dipertanyakan orang-orang tentang Bapak adalah bohong. Widi abai. Widi telah meninggalkan Bapak.
Widi minta maaf, Pak.
Widi juga merasa belum bisa menjadi kakak yang baik untuk Tomo. Adik yang dirasai juga berjarak. Dalam perjalanan dari kaki Merapi hingga rumah yang hujan itu, segala perlakuan jahat Widi ke Tomo juga hadir. Yang paling melekat, waktu Widi SMP dan Tomo SD, ketika sedang menaiki bus patas lepas pulang sekolah, ketika hendak turun bus, Widi membiarkan Tomo tertidur, tidak membangunkan untuk ikut turun, dan membiarkan ia kebablasan sampai terminal. Sesampainya di rumah, Ibu bertanya di mana adikmu? Widi menjawab tidak tahu.
I’m not a good big sister, Boy. I’m so sorry.
***
Aku tumbuh dan berkembang, menjadi seseorang yang berwatak keras, barangkali adalah peran Ibu. Kedekatanku dengan Ibu yang lebih, tanpa disadari melekat dalam diriku. Karakter yang selalu melawan dengan suara keras, tak peduli perasaan orang lain itu. Karakter itu muncul di saat aku merasa terancam tersakiti. Maka, sebelum aku disakiti, aku akan menyakiti dulu. Aku tidak menyalahkan Ibu, tapi aku meninggalkan Bapak. Aku meninggalkan Tomo, yang juga darinya kudapat cerita tentang Eyang Mudjio, yang menjadi sumber inspirasiku menulis Sagara, novel kedua.
Rasa bersalah itu kemudian memantik pertanyaan, bagaimana caranya memaafkan diri sendiri? Kedua hal itu tarik-menarik, seperti sedulur papat yang saling tarik di empat penjuru mata angin dengan kita sebagai pancer. Keteguhan kita berdiri bergantung tali yang saling menarik itu. Di satu sisi, rasa bersalah yang tak bisa hilang. Sementara di sisi lain, kita tidak boleh terus menyiksa diri.
Bagaimana berdamai dengan diri sendiri?
Sampai menulis surat ini, aku tidak tahu jawabannya.
Mbak Titi, seorang teman yang kuserahkan naskah Sagara berkata, “Kita hindari mendzolimi diri sendiri dengan cara makan dan minum enak dan sehat, cukup istirahat, dan rajin kerja.”
Ia melanjutkan dengan cerita pengalamannya, bahwa dirinya tidak pernah mengharuskan untuk melupakan masa lalu yang buruk dan atau berat. Secara alami saja. “Kalau otak masih mengingatnya, ya, tidak apa-apa. Kalau otak melupakan, ya, bagus banget.”
Ucapannya menguatkanku. Aku percaya, bahwa Semesta atau Tuhan atau Zat Besar pasti punya jalan untukku. Toh, Ia juga yang memberiku pengalaman ini, Ia juga yang memberiku energi besar ini. Berapa lama prosesnya akan berjalan? Aku memutuskan untuk menikmati segala kegaduhan dalam hati ini, sementara waktu. Juga meminta pengampunan kepada Pertiwi.
Di Sagara kutulis tentang tenggelam di ketinggian. Tentang para petani yang kepalanya tenggelam di balik caping-caping, yang kakinya tenggelam di lumpur-lumpur; yang tubuhnya tenggelam di suatu ketinggian. Di Sagara kutulis, semakin tinggi kita menaiki gunung tinggi, semakin tenggelamlah kita ke dasar samudra, yang gelap dan mematikan. Di Sagara kutulis tentang laku pencarian.
Laku pencarian adalah tentang penerimaan diri. Aku bersyukur dengan segala karakter yang diturunkan Ibu. Aku menjadi kuat dengan karakter itu. Sekarang, lepas menemukan Bapak, kan kubagi secara adil. Memilah, kapan aku menjadi Ibu, dan bagaimana aku menjadi Bapak. Aku bersyukur mengalaminya sekarang. Orang-orang yang kukasihi itu masih hidup. Masih bisa membaca pengakuanku ini.
Menyelesaikan Sagara, aku menemukan banyak hal. Aku menemukan Bapak, memelihara Ibu, dan merangkul dua adikku. Menyelesaikan Sagara, aku menemukan traumaku. Menyelesaikan Sagara, aku menemukan aku.
Terima kasih, Sagara.