Buah Pikir Bernama Maniksaka

Buah Pikir Bernama Maniksaka

Selanjutnya sesudah ini kau boleh dipanggil Sang Yang Guru; dan menempatkan seluruh kepercayaan kepadamu, aku menyerahkan bumi dan semua dihubungkan kepadanya, dimanfaatkan dan diatur berdasarkan atas keinginan dan kesenanganmu.

Terjemahan Manik Maya.

***

Di buku sketsa besar saya menulis suatu nama. Maniksaka. Di bawah nama saya menarik garis, membaginya menjadi tiga bagian. Bagian kiri saya beri judul Akasa; tengah adalah Mandara; kanan bernama Sagara. Memetakan warna dan meraba aroma gunung, laut, dan nir-udara lalu menempatkannya di tiap bagian. Saya membuka buku lainnya yang lebih kecil. Buku bertuliskan daftar rimpang, batang, bunga, dan biji rempah yang telah saya pelajari manfaatnya. Di tiap bagian buku besar, saya tuliskan masing-masing dua rempah untuk menciptakan karakter yang sesuai dengan nama. Sebuah resep yang barangkali, bisa mengobati luka yang meradang di tubuh. Resep yang saya peroleh dari tutur leluhur. Resep yang, pula tersemat doa, semoga menyembuhkan.

Di kaki Merapi, ihwal awal terjadi.

Pandemi itu datang. Dua proyek arsitektur yang sedang saya kerjakan, terhenti. Mandara, novel pertamasaya, pun sudah diterbitkan. Tak ada yang harus dikerjakan lagi. Saya, kita dipaksa berhenti. Antar manusia dipaksa berhenti berinteraksi, sementara kita adalah makhluk sosial. Awalnya saya merasa sanggup untuk berdiam diri di rumah selama beberapa bulan, bahkan setahun. Namun selepasnya, alergi mulai kambuh. Ruam merah yang panas dan gatal meradang dan berkembang biak di tubuh. Saya stres.

Saya memutar otak. Mencari sesuatu yang sekiranya bisa saya perbuat guna mengisi kekosongan akibat pandemi ini. Kala waktu, melintas suatu iklan di media sosial tentang sekolah perawatan tubuh natural. Saya tekan tautan tersebut, membacanya, dan tanpa berpikir panjang, saya ikuti satu kelas dasar pembuatan produk perawatan tubuh natural secara daring.

Sebagai seseorang yang memiliki kulit sensitif, saya tidak bisa menggunakan sembarang produk. Alkohol, sulfat, paraben, adalah tiga dari banyaknya bahan yang digunakan produk-produk di pasaran, yang berbahaya bagi tubuh. Sementara di produk natural, bahan yang digunakan mempertimbangkan bahaya tersebut, yang mengancam manusia dan juga Bumi tempat kita berpijak. Bagi saya, produk natural adalah jawaban atas ruam panas dan gatal kulit sensitif dan keberlangsungan hidup atas tanah, air, dan udara Bumi.

Modul dasar yang saya peroleh dari kelas tersebut, saya kembangkan. Bahan-bahan yang tertera kebanyakan berasal dari Barat. Saya kemudian melakukan riset, terutama tentang rempah Nusantara yang bisa menggantikan rempah barat tadi, atau setidaknya setara. Saya juga mencari resep-resep yang telah diturunkan dari leluhur. Indonesia adalah surga rempah yang diburu oleh bangsa lain. Tumbuhnya rempah itu pula, kemudian sejalan hadirnya ramuan-ramuan yang diracik nenek moyang guna pengobatan. Bukannya anti Barat, tapi jika ada pilihan yang lebih bijak, saya akan memilih untuk berjalan dengan kaki telanjang menapak tanah subur Indonesia. Mengapa saya harus memakai kalendula jika kita lebih akrab dengan kunyit? Mengapa saya harus membeli mahal bunga rosmari jika nenek saya mewariskan resep minyak cem-ceman klabet dan jinten?

Rempah Nusantara

Hari-hari saya isi dengan berjalan di lorong-lorong Pasar Beringharjo yang beraroma rempah, berbincang tentang manfaat dan guna dengan para pedagang, lalu membeli beberapa. Di rumah, rempah-rempah itu saya masak, dimasukkan ke formula perawatan tubuh yang telah saya catat sebelumnya. Saya membayangkan diri saya seorang tabib yang tinggal di gubuk tengah hutan, sedang meramu jamu di kuali. Lepas masak, produk itu kemudian saya coba. Saya hirup aromanya; rasakan sensasinya; amati efeknya pada tubuh. Ada yang berhasil, banyak pula yang gagal. Yang berhasil, saya berikan ke beberapa teman untuk dicoba. Ada yang suka dan tentu ada yang tanpa reaksi. Mereka yang dari golongan pertama, menyarankan saya untuk menjual, musabab mereka juga mengalami yang saya alami.

Awalnya, Maniksaka hanya saya titip jual di Kebun Buku, sebuah toko buku sekaligus kedai kopi, di Yogyakarta, dan hanya memiliki satu produk pembersih rambut dan seluruh tubuh dan satu pelembap. Pada 2022, Maniksaka berkesempatan ikut bagian dalam acara pasar alternatif yang dibuat oleh Pasar Ukircerita di Jogja National Museum, yang kemudian membuka pintu lain untuk Maniksaka lebih dikenal di banyak lingkaran.

Saya memutar otak lagi, mencari rancangan penjenamaan yang bagus untuk Maniksaka. Mengajak Atha, seorang teman, untuk membuatkan ilustrasi yang berangkat dari puisi ciptaan saya; yang kemudian saya jadikan citra unik kemasan. Jadilah Maniksaka yang berupa rangkuman lekuk gunung dengan warna hijau mimba dan pekak; semburat emas candikala laut dengan kuning kunyit dan kemukus; nir-udara hitam nan menawan kayu manis dan kapulaga. Sementara lambang omkara saya olah membentuk huruf J; Jagadnata.

Dua tahun berselang, Maniksaka kini punya pasar. Sebuah penginapan di Bantul telah setia dengan sabun cair serai, toko kelontong ramah lingkungan di Sleman telah memesan berbotol-botol sabun yang sama dan pelembap kulit, beberapa teman mengakui keampuhan salep kunyit, semantara lainnya memuji ramuan minyak cem-ceman simbah. Dari dua produk, Maniksaka kini punya delapan. Saya bersyukur atas pasar yang telah tercipta ini. Tak besar, memang. Bagi saya, percuma memiliki pasar besar kalau ternyata salah sasaran. Maniksaka hadir untuk orang-orang yang mempunyai ideologi yang sama dengan saya; mau menuturkan kembali warisan Nusantara, merasakan panas dan gatalnya kulit, kesulitan mencari produk perawatan yang cocok, dan memperolehnya dengan harga yang masuk akal.

Tanggung jawab saya selanjutnya adalah mempertahankan kepercayaan pasar terhadap Maniksaka, selain terus mencari celah terang lain agar bisa terus berjalan. Caranya, saya tak tahu persis. Barangkali, ya, barangkali dengan mempertahan resep-resep secara stabil. Harus saya akui, rasa penasaran dan keinginan besar untuk terus berkeplorasi, membuat formula di beberapa produk berganti-ganti. Sementara pasar ingin sesuatu yang konsisten dan stabil.

Maniksaka adalah buah pikir. Menafsirkan Terjemahan Manik Maya, Sang Batara yang oleh Sang Yang Wisesa dipercaya untuk memanfaatkan bumi secara bijak. Maniksaka adalah jalan saya mencintai tubuh apapun keadaannya. Maniksaka adalah ucapan syukur saya atas kekayaan alam yang tumbuh subur di Indonesia, yang panennya didapatkan secara mudah dan murah di lorong-lorong ajaib sebuah pasar tua. Maniksaka adalah penuturan kembali warisan leluhur yang telah hinggap di telinga.

***

Syahdan, terimalah suatu puisi.

Kepada Manik Maya,

Izinkan aku berguru,

pada rimpang yang tercabut,

pada batang yang dipatah;

pada bunga yang dipetik;

dan pada biji yang terpungut.

Pada aroma gunung, laut, dan angkasa;

pada warna tanah, air, dan nir-udara,

agar boleh kubawa pulang

untuk jiwa nan raga bernama rumah.

Maniksaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *