Hilangnya Makna Perjalanan Kini

“dan di situlah aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda dalam hidupku, saat paling aneh, saat di mana aku tidak tahu siapa aku sebenarnya–jauh dari rumah, kelelahan, di sebuah penginapan murah yang belum pernah kulihat sebelumnya,”

Sepenggal peristiwa yang dialami Sal Paradise di buku On The Road mengingatkan saya pada perjalanan solo ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, 2012 silam. Memandang kosong dinding ivori penuh bercak karat bekas hujan sebuah penginapan di Kota Ende, lepas perjalanan darat menakutkan dari Moni, menahan tangis di tenggorokan, karena akhirnya keluar dari suatu ancaman. Musababnya, seorang kenalan pada pendakian Kelimutu, yang mengantarkan saya di perjalanan itu, sempat merayu untuk sejenak berhenti di pinggir jalan yang sepi. Pun berusaha menyentuh salah satu bagian tubuh. Saya berusaha keras menahan kantuk yang luar biasa agar tetap awas terhadap ancaman itu. Maka, ketika akhirnya tiba di penginapan, rasa lega hadir. Saya selamat, meski lalu merasa sedih karena berada terpisah oleh banyak pulau dari rumah. Sendirian.

Kata orang, pengalaman paling berharga adalah jalanan, dan Sal Paradise membuktikannya bersama Dean Moriarty, teman baru yang mengenalkannya pada dunia jalanan. Perjalanan bersama Dean, bagi Sal adalah babak baru di kehidupannya lepas sakit keras akibat perceraian dengan sang istri. Cerita liar itu ditulis sebagai narasi yang utuh sehingga menjadikan buku itu sebuah catatan perjalanan yang absolut. Maka, karya klasik Jack Kerouac wajib dibaca oleh orang yang mengaku pejalan.

Lain buku lain cerita. Kali ini karya anak negeri. Perkenalan pertama saya pada perjalanan adalah buku Meraba Indonesia karya Ahmad Yunus. Sebuah catatan perjalanan dua jurnalis berkeliling Indonesia, menyelami daerah-daerah terpencil, tanah-tanah terdalam, dan batas-batas terluar; sebuah cerita tentang urat nadi Indonesia yang jujur dan liar. Menonton film dokumenternya yang diputar pada acara peluncuran, lalu membaca sampai habis buku itu, membukakan mata dan hati saya bahwa Indonesia bukan Jawa semata; begitu jamak rakyatnya yang ternyata jauh dari kata adil, dan begitu dengan sedih saya mencintainya. Catatan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa itu menjadi titik balik saya untuk meraba Indonesia secara langsung.

Sejak 2011, silih berganti hingga kini, saya melakukan perjalanan. Selain Pulau Flores, tapak tilas buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, menyusuri kota-kota yang ditulis oleh Pram, juga yang membekas di hati. Selain diberi kesempatan mendatangi bekas rumah pribadi R.A. Kartini di depan Alun-alun Jepara dan masuk ke kamar pingitannya, di sebuah titik tepi Jalan Raya Pos, saya merenung. Membayangkan bahwa di jalan seribu kilometer itu pernah terjadi genosida besar dan barangkali, menjadi kuburan terpanjang yang dimiliki Indonesia. Juga perjalanan pendakian beberapa gunung di Indonesia. Ya, saya suka mendaki gunung. Di gunung, saya seolah mendapatkan kekuatan dan ketenangan; obat paling mujarab. Saya menyadari bahwa alam adalah guru paling sahih. Mendaki gunung, adalah perjalanan sarat makna paling personal meski pada praktiknya perjalanan ini dilakukan secara beramai.

Perjalanan adalah salah satu cara saya untuk mengolah pikir dan rasa; belajar menjadi Indonesia, mengenal keanekaragaman masyarakat dan budaya yang tersebar di 17 ribu lebih pulau dan ribuan suku itu, disatukan oleh bahasa bernama Indonesia. Perjalanan, seperti yang ditulis Soe Hok-gie, “Mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”

Ndakik-ndakik memang tulisan saya.

Mari semakin mendakik.

Lalu, apakah perjalanan hakikatnya harus bermakna?

Saya rasa, iya.

Sarani Pitor Pakan menulis di buku Interval: Esai-esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata, “Perjalanan menciptakan semacam proses dialog di dalam kepala kita, kita mengevaluasi, menimbang, dan menginterpretasi ulang cara pandang yang kita miliki. Pada akhirnya, laku-laku reflektif dan hermeneutik itu memperkaya pandangan kita.”

Bagi saya, mendaki gunung itu tidak melulu harus sampai puncak. Tujuan mendaki gunung adalah untuk kembali ke rumah dengan selamat. Pun bukan bentuk gagah-gagahan bahwa saya telah berhasil menaklukkan puncak tertinggi Jawa, misalnya. Kembali ke ucapan saya di paragraf atas, bahwa alam adalah guru paling sahih! Seperti layaknya masuk ke rumah orang lain, sepatutnya kita punya etika ketika berada di hutan belantara. Jika sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi di pendakian, tidak seharusnya kita sibuk menunjuk ini dan itu kecuali kepada diri sendiri. Saya ingat betul ketika mendaki Lawu berama lima orang teman pada 2021. Meninggalkan tenda di Pos 3, hanya membawa bekal roti, kami kelaparan. Puncak masih jauh. Tidak ada di antara kami yang menganal jalur. Informasi yang didapat hanya omongan orang bahwa jalur bisa ditempuh hanya empat jam. Sementara hanya di Hargo Dalem, salah satu puncak Lawu terdapat Warung Mbok Yem sebagai jaminan keberadaan logistik bagi pendaki. Nyatanya, jalur itu begitu berat. Kami berjalan terseok-seok karena sudah tidak ada lagi energi yang dihasilkan di perut, dan kembali ke tenda adalah pilihan buruk selain terus mendaki ke atas. Juga pengalaman tersasar di Gunung Semeru. Mengoreksi ke dalam, apa yang telah saya perbuat dan ucap hingga alam menguji manusia dengan caranya. Saya tersadar bahwa pendakian tak semestinya dilakukan pada malam hari karena mata yang sudah tidak awas. Semeru juga membukakan mata hati bahwa ada sekelompok manusia yang menempatkan alam sebagai tempat suci, yang harus dijaga agar tetap lestari. Jadi, mendaki gunung bukan hanya perkara menikmati keindahan alam, melainkan cara saya berbicara pada diri. Tenggelam di ketinggian, ucap seorang teman di suatu waktu. Semakin tinggi kita melangkah, semakin dalam kita berserah, seharusnya, semestinya.

Pengalaman inilah yang membuat perjalanan menjadi berkesan. Segala indra terlibat. Dalam perjalanan, otak kita terbuka lalu menyuruh hati untuk bergerak berdasarkan yang dilihat, didengar, dan disentuh, agar kita bisa mengalami dan memahami bahwa setiap rumah itu berbeda. Namun, bagaimana jadinya jika perjalanan kemudian dibatasi oleh rencana singkat dan jadwal yang padat? Yang hanya diisi dengan trip tanpa makna selain sekadar memberi makan sosial media.

Sekarang, mari kita turunkan ke-ndakik-kan tulisan saya.

Secara aktual, perjalanan atau traveling mengalami pergeseran makna menjadi cara penyembuhan diri atau dikenal dengan istilah healing. Bahkan istilah tersebut secara frontal menggantikan kata traveling. Yang saya tangkap pada fenomena ini adalah perjalanan sebagai pelarian dari yang rutin; eskapisme. Perjalanan hanya sekadar produk dagang sehingga yang terjadi hanyalah transaksi antara penjual dan pembeli. Segala cara dilakukan penjual seperti tukang obat yang meromantisasi alam dan desa, padahal pembangunan tempat wisatanya harus merusak alam dan menggusur warga lokal, seperti yang terjadi di Pulau Komodo. Mengaku sebagai ekowisata, tapi, kok, kegiatannya mengancam keberadaan ekosistem komodo dan menggusur warga yang sudah lama tinggal di kawasan itu. Di mana letak ekowisatanya? Juga terjadi di dunia pendakian. Semakin banyak pendaki yang tak punya bekal kemampuan dan pengalaman yang baik serta tak paham etika. Bahwa pengeras suara yang dinyalakan selama pendakian itu mengganggu habitat. Kerap saya lihat juga foto situasi pendaki yang mengantre mendaki di suatu jalur gunung. Tak masuk logika. Dan wisata jip merapi itu. Aduh, rusak sudah jalanan itu!

Wisata—jika tak lagi layak dinamakan perjalanan, menjadi produk yang laku di pasaran. Pelaku berbodong-bondong menjadikan semua yang sekiranya berpotensi menjadi destinasi, lalu sebagian lain berbondong-bondong membeli. Wisata hanya gagah-gagahan di sosial media; tak lagi reflektif. Saya jadi teringat ucapan Pitor ketika acara obrolan santai buku Interval, diadakan di Kebun Buku, toko buku bekas di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, “Apa-apa, kok, jadi destinasi. Rumah, lho, ini,” ucapnya merujuk pada Yogyakarta yang digadang-gadang sebagai salah satu dari “10 Bali Baru”.

Lalu, apa jadinya jika orang terus berbondong-bondong? Bagaimana bisa “sembuh” kalau mau mendaki saja sudah macet? Ke mana lagi warga lokal harus beraktivitas sementara jalanan sudah dipenuhi dengan kendaraan bernomor polisi asing yang saling adu bunyi klakson. Bagaimana bisa menikmati perjalanan jika harus terburu-buru?

Jika wisata terus terjadi secara berlebihan—mengandalkan perekonomian suatu daerah hanya kepada pariwisata—warga lokal kehilangan tempat; alam dibabat; dan kapitalis meraja lela. Padahal perjalanan bisa bermakna adalah berkat interaksi pelaku perjalanan dengan warga lokal sebagai empunya cerita. Logikanya begini: pelaku perjalanan lah yang menyesuaikan budaya yang ada di sebuah tempat, bukan sebaliknya memaksa mengubah bahkan menghilangkan kebiasaan lokal dengan dalih pemenuhan kebutuhan pariwisata.

Lalu, apakah kutipan Soe Hok-gie masih relevan dengan geliat perjalanan saat ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *