Surat untuk Bapak dan Adikku, Tomo

Sore itu dingin. Antara hujan dan kabut silih berganti meremangkan hati di kaki Gunung Merapi. Aku menanti terang itu, tapi tak kunjung ia datang. Tak kuat sudah aku menahan perih yang entah datang dari mana. Kulihat arloji di tangan. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Aku ingin pulang.

Di antara hujan yang kurasai sama ketika menuruni Sumbing kala lalu, aku melaju paksa roda dua hitamku. Bulir-bulir air hujan menghantam wajahku seperti panah-panah danuh dari langit. Menyamarkan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku menangis. Teringat segala abai yang telah kuperbuat kepada Bapak dan Tomo, adikku. read more

Membawa Pulang Restu dari Sumbing

Malam jatuh. Pagi tumbuh. Desa Butuh, Kaliangkrik, Magelang, tak begitu ramai. Kata orang, desa ini tak banyak dipilih oleh para pendaki. Salah satu penyebabnya, barangkali, akses yang sulit dijangkau dengan transportasi umum. Namun, musabab sepi itulah, saya bersama Yanu, Arni, Galang, dan Alif, memilih desa ini sebagai pintu rimba memasuki hutan Gunung Sumbing.

Seminggu tepat lepas perbincangan sore di Kebun Buku, kami berada di kaki Sumbing. Agak aneh. Di usia yang bukan lagi duapuluh, dalam waktu setengah tahun, saya melakukan tiga pendakian yang tidak dirancang lama: Lawu, Arjuno, dan kali ini Sumbing. Dua yang terakhir, bahkan tidak lebih dari seminggu. Padahal saya pernah berujar pada diri sendiri, tidak akan sembarangan mendaki. Tapi hari ini sungguh berbeda dari yang terucap. Saya merasa, ketika memutuskan mengulur jarak, mengapa gunung malah menarik untuk kembali. read more

Rupa Tanmatra

Jika tubuh manusia dibagi secara horisontal, kaki tidak akan memiliki tangan. Namun, jika secara vertikal, setiap sisinya masing-masing memiliki satu bagian tubuh. Ibu pernah berkata ketika Mandara kali pertama datang ke Yogya untuk sekolah, “Jadilah tubuh kanan Mandara, karena ia hanya memiliki bagian kiri. Seperti ketika ibu menyusuimu di sebelah kanan dan Mandara di sebelah kiri.”

Sejak saat itu, aku selalu hadir jika Mandara membutuhkanku. Aku membuatnya seimbang, sama ketika ia hampir saja jatuh ke jurang di lereng Semeru kala itu. read more

Sabda Tanmatra

Aku benci ketika Mandara tak mengindahkan pintaku untuk tidak mengambil air sendiri di Sumber Mani.

Aku melihat kabut pekat yang dihuni oleh makhluk-makhluk tak beraga yang akan menjemputnya menuju alam kematian. Karena tempat itu adalah ruang transisi antara yang tampak dan tak tampak. Yang tampak bisa menjadi tak tampak. Yang tak nampak, bisa menampakkan dirinya.

Tak bisa kubayangkan nasib Mandara andai saja Prana tak cepat menggunakan intuisinya, lalu mengajak Arka untuk segera mencari. Dan andai saja arus bawah laut yang dimiliki Rara tak mereda ketika Mandara mengalami hipotermia di Ranu Kumbolo, barangkali Mandara tak terselamatkan. read more

Rasa Tanmatra

Namanya Jaladri. Aku mengenalnya sudah lama. Mas Ladri, begitu ia biasa kusapa, adalah anak buah bapak di kantor koran harian dulu. Ia memang kerap sekali datang ke rumah. Selain di kantor, Mas Ladri juga sangat dekat secara personal dengan bapak. Ia pernah mengaku kepadaku dulu, bahwa bapak mengingatkan pada ayahnya yang dibuang ke Pulau Nusakambangan karena dituduh PKI.

Lucunya, ketika bapak memutuskan untuk pensiun dini, Mas Ladri ikut-ikut mengundurkan diri dari kantor. Alasannnya, ia merasa takkan punya guru jika bapak tidak lagi bekerja. Jadi, untuk apa ia berada di kantor? read more

Sparsa Tanmatra

Oh, aku mengerti sekarang, mengapa namaku selalu tercoret, mengapa seorang teman kecil pernah mengataiku cucu PKI kafir, dan mengapa rumah ini tidak ada botol kaca.

Ya, aku mengerti.

Kami menanggung dosa turunan. Nama kami tercatat dalam sebuah buku bersampul kuning. Bahkan bapak yang tidak ada sangkut-pautnya ikut tercatat. Aku mengerti, mengapa ia pensiun dini.

Ibu, traumanya belum juga hilang. Bahkan untuk menceritakan kepadaku dan adikku, Rara, ia menulis surat. Tak kuasa mengucap.

Surat dari seorang anak untuk ibunya paling indah yang pernah kubaca. read more

Gadis Pelantun Ovos Omnes

Langkahnya cepat seperti berlari. Antara kaki kanan dan kirinya ia ayun pendek-pendek tapi cepat. Jantungnya berdegub cepat seperti seseorang remaja yang sedang jatuh cinta.

Ia memang sedang jatuh cinta. Namun jatuh cintanya itu bukan jatuh cinta biasa seperti kepada seorang pria. Ia baru saja meninggalkan Gereja Kathedral Larantuka setelah mendapatkan berita tentang dirinya yang terpilih menjadi pelantun Ovos Omnes atau nyanyian ratapan pada perayaan Jumat Agung di Semana Santa, sebuah tradisi menjelang Paskah yang rutin tiap tahun digelar di Larantuka, tahun ini. Maka ia tak sabar ingin cepat sampai rumah untuk memberitahukan kabar baik itu kepada neneknya. read more