Kelegaan yang Diberikan Tuhan Itu Bernama Semeru

Tempat ini adalah saksi bisu orang-orang bergelut dengan batinnya sendiri. Berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Tempat ini juga sebagai tempat rebah bagi mereka yang telah pulang dari berjuang, di balik tenda-tenda.

Kalimati yang semula ramai, beranjak sepi. Seekor Elang jawa terbang rendah di atas Kalimati. Beberapa kelompok pendaki mulai mengemas tenda dan peralatan masing-masing untuk melanjutkan perjalanan turun kembali ke Ranu Kumbolo. Kami masih bercakap di depan tenda, bersama beberapa pendaki lain, sembari menghabiskan semua makanan yang Tukul buat. Seperti mengamuk, ia memasak semua bekal makanan. Ia juga membagikan sayuran yang tidak termasak kepada pendaki lain. “Biar enteng!” katanya merujuk pada tas carrier-nya yang seberat kulkas. Kalimati yang hangat. read more

Melawan Keangkuhan di Puncak Abadi Para Dewa

Di antara kapas-kapas putih bergelantungan pada buaian biru angkasa, ada bola api yang mengintip dengan jarak lima ratus milyar kaki dari Bumi, yang dipandangi dari tebing jurang yang curam. Ini momen hening, hanya saya dan ruang waktu.

***

Hari belum benar-benar berganti. Masih malam sebelas derajat yang sama. Saya akhirnya memutuskan untuk benar-benar bangun dari tidur, duduk di dalam tenda. Sedikit kesal, karena tidak bisa tidur, entah gugup atau tidak terbiasa tidur sore. Padahal seharusnya saya tidur, memulihkan tenaga untuk summit. Bahkan setelah Tukul membuatkan susu jahe hangat pun tidak mempan. Jam sebelastigapuluh malam, persiapan menuju Mahameru. read more

Mengukir Cinta Menuju Kalimati

Di sini, saya melihat bagaimana manusia menjadi manusia. Saling berbicang, membagi dan dibagi, menikmati alam dan menjaga agar tetap lestari, serta tidak lupa melantunkan puji untuk Sang Ilahi. Kalimati.

***

Pagi di Ranu Kumbolo. Mata saya terbuka oleh riuh sederhana suara manusia. Bayangan orang lalu lalang tampak samar dari dalam tenda. Saya melihat ke arah pintu tenda, tampaknya pagi belum begitu menyerngitkan panasnya. Seketika saya bangun lalu membuka pintu tenda tadi, udara dingin gunung saya hirup secara dalam, membasahi segala kekeringan dalam tubuh. Kata orang, momen Matahari terbit di Ranu Kumbolo adalah salah satu yang terbaik. Jelas, saya tidak mau melewatkan itu. read more

Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo

Tidak perlu nama untuk sekedar berbagi. Datang dari berbagai negeri, duduk mengelilingi api unggun, berbagi cerita dan tawa tanpa syarat. Di depan sana, danau yang senantiasa berselimut kabut, Ranu Kumbolo, menemani kami di malam penuh bintang.

***

Warung masih kosong, pintu belum sepenuhnya terbuka, hanya satu daun. Kami—saya, tante saya Murni, beserta guide dan seorang kru dari Dome Explorers, Angga dan Tukul— duduk di kursi meja depan dapur, biar hangat dekat kompor. Pagi baru saja jadi, tetapi Matahari sudah memancar puas. Sinarnya memantul keras, memberi halo-halo pada kaca jendela. Kami memesan beberapa menu untuk sarapan. Tujuhbelas derajat selsius di Warung Bagus, Ranu Pani. read more

Sebuah Risalah Tentang Mengarang Itu Gampang

Palmerah kali ini terasa berbeda. Angin malam berembus baik hati. Tersisa temaram purnama Bulan kamarin malam menemani lampu-lampu yang masih berpendar dari ruang-ruang gedung tinggi sebuah kantor berita. Suara laju kereta terdengar samar dari kejauhan berlomba bersama deru kendaraan yang tidak akan putus di Ibukota. Orang-orang lalu lalang, bercakap dan bersenda gurau. Saya berdiri di depan Bentara Budaya Jakarta, menunggu untuk bertemu seorang penulis idola, Arswendo Atmowiloto.

***

Di dalam Commuter Line yang tidak begitu ramai pada Jumat malam yang terasa istimewa, saya berusaha menutupi rasa antusias yang berlebihan karena tidak sabar ingin bertemu dan mendapat wejangan dari penulis idola saya itu. Ia yang kita kenal dari karya sinteron Keluarga Cemara akan mengisi sebuah loka karya yang diselenggarakan oleh Harian Kompas dengan tajuk Mengarang Itu Gampang. read more