Sumber Brantas tumpah ruah. Para pendaki mengisi ruang-ruang. Di pinggir jalan, di warung, di kamp pangkal. Ini akhir pekan dan hari menjelang siang. Dua jam mengulur dari rencana semula, menimbulkan keraguan di kepala, akankah pendakian dua gunung adik-beradik bisa berjalan sesuai kehendak?
Rencana yang Sempurna
Pendakian ini dibuat tanpa banyak waktu. Senin, 31 Juli 2023, saya dan Roro saling berkirim pesan. Ia mengajak saya mendaki Gunung Arjuno – Welirang bersama empat orang temannya—Wisnu, Sandi, Mukrom, Ari—pada akhir pekan. Sempat ragu, dengan pertimbangan waktu yang begitu mendadak. Di usia menjelang 40 tahun begini, saya membuat batas, tak bisa sembarangan mendaki.
Tapi ini Arjuno! Saya menentang diri sendiri.
Keesokan harinya, saya mendaftar Simaksi secara daring pada pagi dan tengah malam permohonan izin memasuki kawasan konservasi dikantongi. Surat itu kemudian menjadi bekal saya memesan tiket kereta pulang pergi Yogyakarta – Mojokerto – Yogyakarta.
Untuk pendakiannya sendiri, begini skenarionya: hari pertama, Sabtu, 4 Agustus 2023, pendakian akan dimulai pada pukul sembilan pagi dan akan sampai di kamp Lengkehan pada sore menjelang siang. Dari Lengkehan akan dilanjutkan ke Kembar 1 dan merayakan matahari terbenan di Puncak Welirang, lalu kembali ke Lengkehan untuk menutup hari. Hari kedua dimulai pukul 1.30 dini hari menuju Puncak Ogal-agil Arjuno. Perkiraannya akan memakan waktu empat sampai lima jam untuk menggapai cita-cita mulia merayakan matahari terbit di ketinggian 3339mdpl.
Sempurna.
Selanjutnya, mengikuti waktu tempuh perjalanan naik, Ogal-agil harus ditinggalkan paling lambat pada tujuh pagi sehingga sampai di tenda menjelang siang. Tengah hari, menyusul Puncak, Lengkehan pun harus ditinggalkan agar bisa sampai kembali ke kamp pangkal pada tiga sore. Tanpa banyak basa-basi, segera tancap gas bergegas menuju Mojokerto agar tidak ketinggalan kereta pada tujuh malam.
Padat perayap jalan raya Ibukota!
Kembali ke pertanyaan di awal, mampukah rencana yang sangat sempurna itu bisa dilaksanakan?
Dari kamp pangkal di pinggir jalan lintas Kota Batu dan Mojokerto, kami menaiki mobil bak terbuka menuju pintu rimba. Jarak 5km antara keduanya, pun jadwal padat merayap, tak memungkinkan kami lalui dengan berjalan kaki. Lagi pula, bukankah warga lokal juga punya hak atas wisata desanya. Adil sejak dalam pikiran! Begitu kata seorang sastrawan. Dua puluh menit berselang, kami memasuki pintu rimba pada jam setengah dua belas siang!
“Kulo nuwun, Mbah Arjuno. Ndherek slamet,” saya merapal doa seperti biasa.
Kami terbagi menjadi dua tim. Sandi, yang biasa disapa Aplex berjalan terlebih dahulu bersama Ari, agar bisa cepat sampai di Lengkehan. Menimbang bahwa pendakian akhir pekan ini begitu ramai, takut kalau-kalau tidak kebagian ruang mendirikan tenda. Sementara lainnya akan berjalan santai.
Siang itu berkabut. Jalur tanah yang begitu saya suka, sebentar-sebentar tertutup hutan berseling dengan vegetasi pendek tropis. Jalur yang cukup ramah bagi kaki-kaki usia yang tak lagi prima. Jarak dan waktu tempuh antar pos juga menyenangkan hati. Saya dan Roro menghitung laju kaki kami. Tak begitu buruk, dari pintu rimba menuju Pos 1 kami tempuh hanya dalam waktu setengah jam dan Pos 1 ke Pos 2 selama satu jam. Pun dari Pos 2 ke 3. Sementara dari Pos 3 ke Lengkehan mamakan waktu dua kali lipat.
“Enak, nih, jalurnya, Ro. Nyaman,” ucap saya kepada Roro di suatu waktu di dalam hutan.
Asyiknya lagi, jalur Sumber Brantas ini tidak bercabang; tidak akan memberi kesempatan potong kompas seperti di Lawu. Hal ini penting bagi saya, karena tidak akan dihadapkan oleh pilihan yang, barangkali bisa menjadi godaan iman para pendaki, sehingga saya punya estimasi jarak dan waktu juga fisik dan mental untuk turun gunung kelak.
Lepas empat jam dari yang pertama, saya dan Roro tiba pada masa kerap bertanya kepada pendaki yang turun tentang jarak menuju Lengkehan. Aplex dan Ari tentu sudah sampai Lengkehan, Mukrom entah di depan mana. Juga Wisnu yang tertinggal di belakang. Sementara saya dan Roro tidak punya bekal informasi apapun tentang letak Lengkehan. Saya hanya membaca alam melalui jenis vegetasi sebagai estimasi.
Tiba-tiba kami melihat sosok Ari berlari tergopoh dari atas. Ia yang sejak pukul satu telah sampai di Lengkehan, barangkali merasa khawatir, mengapa teman-temannya tak kunjung sampai. Dengan fisik muda, Ari berinisiatif menyusul, lalu membawa dua tas punggung saya dan Roro, membiarkan kami melanjutkan pendakian tanpa beban menuju Lengkehan agar rencana padat kami bisa berjalan sesuai rencana. Ia juga melakukan aksi yang sama kepada Wisnu.
Sesampainya di Lengkehan, kami beristirahat, mengisi perut dengan kalori. Sebentar saja. Menjelang setengah lima, kami bergegas menuju Gunung Kembar 1 dan terus menuju Welirang.
Balik Kanan di Welirang
Antara Gunung Kembar 1 dan Welirang punya jalur yang sama. Jadi untuk menuju Welirang, pasti melewati Kembar 1. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke puncak Kembar 1. Hanya menyusuri satu punggungan bebatuan dan kerikil selama setengah jam. Angin yang kencang mengembus juga membuat kami tak berlama-lama berada di Puncak, selain mempertimbangkan waktu yang telah sore.
Matahari menuju ufuk barat. Menuruni lereng lain, Aplex menjelaskan jalur yang harus kami lalui. “Turun terus sampai sabana di bawah sana,” ia menunjuk, melanjutkan “terus mulai masuk hutan dan naik dari sebelah kanan, susur satu punggungan ke arah kiri, baru sampai Welirang.”
“Berapa jam, Plex?” saya bertanya.
“Dua sampai tiga jam,” jawabnya.
Sebentar saya menoleh pada matahari barat, lalu kembali melihat jalur dengan pikiran di kepala, masihkah ia menyinari perjalanan kami sampai di tujuan?
Kami terus turun di jalur batu, kerikil, dan pasir yang licin. Sebentar-sebentar wajah sabana di bawah sana melambai-lambai. Sebentar-sebentar juga saya melihat arloji di tangan. Sementara pikiran di kepala terus berkecambuk. Satu jam berlalu. Matahari remang. Mata tak lagi awas. Jalur sedikit tertutup cantigi dan edelweiss; berkelok dan sedikit curam di beberapa titik, membuat hari semakin gelap.
“Dari sabana, kira-kira berapa jam, Plex?” lagi-lagi saya bertanya.
“Satu setengah sampai dua jam, lah,” jawabnya.
“Kemaleman, enggak, sih?” saya bertanya.
“Kita batesin aja, gimana?” Roro menyahut cepat, “jam 6, mau enggak mau, harus balik ke tenda.”
Saya melihat arloji di tangan, menjawab, “Sekarang udah setengah enam. Sampai tenda bisa jam sembilan. Mending tenaganya buat Arjuno.”
Hening sebentar. Saya melanjutkan, “Gue enggak bisa, Ro. Mata gue enggak awas. Belum lagi jalur kerikil gini udah bakal jatuh, sih. Tapi kalau kalian mau lanjut, silakan.”
Kami balik kanan. Memunggungi dan menjahui Welirang. Saya tidak tahu, apakah keputusan ini tepat atau tidak. Saya juga tidak tahu jalur Arjuno sesungguhnya. Berangkat tanpa rencana matang dan latihan fisik, harus pintar memilih antara penggunaan logika atau naluri. Perjalanan ini telah saya pilih sendiri. Bisa saja saya menolak anjakan Roro kala itu, tapi naluri saya berkata untuk ikut serta. Namun, di antara remang cantigi dan bunga abadi ini, saya menggunakan logika untuk menakar. Tak mau memaksa diri untuk Welirang dan memilih Arjuno. Andai esok Arjuno juga gagal, barangkali saya akan pulang tanpa puncak. Saya tahu, mendaki tak hanya soal menggapai puncak. Mendaki adalah tentang kembali ke rumah dengan selamat.
Tapi ini Arjuno! Yang berhasil membunuh Bisma di perang Bharatayuddha.
Ini Arjuno!
Dua dini hari. Pada gelap kami meninggalkan Lengkehan. Menyisir kaki kiri Kembar 2, memutar menuju kanan lereng. Kecil saja jalur itu. Jika tidak fokus, jurang di sisi kiri bisa mengancam kaki-kaki yang salah menapak. Kami terus berjalan hingga sampai di sabana lain bernama Lapangan Kotak.
Dari lembah itu, jalur di hadapan tak bisa saya bayangkan. Gelap dan pengap. Manusia dan tumbuhan saling berebut oksigen. Kami terus meniti langkah tanpa pernah melihat jalur dengan jelas. Kadang kami harus merayap di bebatuan tinggi, sementara lainnya kaki harus cermat menapak kerikil curam, dan tak jarang debu beterbangan membuat hidung terus mengeluarkan lendir serta mulut kering. Saya terima semua. Ketakutan kadang kala hadir karena mata melihat sampai jauh. Padahal tak perlu melulu. Kita kerap lupa menikmati hari ini karena terlalu memikirkan esok yang entah datang atau tidak. Jadi, ada untungnya juga berjalan dalam gelap.
Di Alas Lali Jiwo, kegagalan Welirang lalu kembali hadir. Jalur dua gunung adik-beradik ini begitu mempermainkan semangat. Pendaki harus berjalan turun terlebih dahulu, bertemu lembah, lalu naik. Tidak bisakah hanya naik saja? Terlebih di Arjuno, dari kiri kami harus memutari lereng kanan sementara Puncak berada di sebelah kiri. Tak bisakah tak perlu ke kanan hanya untuk ke kiri? Belum lagi debu-debu yang semakin tak terkendali. Terbesit pikiran untuk kembali ke Lengkehan. Tapi tak mungkin. Saya tak punya pilihan kali ini. Saya telah berjalan jauh meninggalkan Lengkehan di bawah dan hanya Ogal-agil di depan. Pasrah yang tidak menyerah, saya terus berjalan. Perlahan, menemani sang surya yang juga perlahan muncul di balik awan Timur.
Melewati dua makam di puncak bayangan, saya menyusuri jalur bebatuan untuk menuju satu lembah terakhir. Di ujung sana, terlihat bayangan orang-orang di Ogal-agil merayakan, yang menjadi satu-satunya semangat untuk terus berjalan maju. Juga matahari yang telah menyala ketika saya tiba di lembah terakhir.
Baik, satu tanjakan terakhir, saya bergumam dalam hati.
Bersama energi mentari, langkah ini maju tak terburu. Anehnya, jalur yang semula kerikil berubah menjadi bebatuan besar. Derap yang semula ringan dan pendek, berubah menjadi panjang juga tinggi. Bersandar pada batu besar di suatu titik, saya meraba-raba dengan mata letak ujung batu paling atas. Lepas dapat, saya kembali mengeja satu-persatu batu-batu besar. Ini adalah perjuangan. Bertanggung jawab atas segala pilihan dan enggan mengalami kegagalan untuk kali kedua. Langkah pelan nan jauh, berseling dengan tatapan kepada satu titik di atas sana, terus berulang hingga akhirnya terdengar suara asing pelan menyapa, “Selamat, Mbak.”
Di atas batu besar, saya menunduk, menutupi wajah yang matanya berlinangan. Angin kencang mengembuskan bunyi menderu. Dingin sekali di sini. Menepuk tiga kali batu di ketinggian 3339 meter di atas permukaan lautan, sambil menyemat kata dalam hati, ini Arjuno.