Sore itu dingin. Antara hujan dan kabut silih berganti meremangkan hati di kaki Gunung Merapi. Aku menanti terang itu, tapi tak kunjung ia datang. Tak kuat sudah aku menahan perih yang entah datang dari mana. Kulihat arloji di tangan. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Aku ingin pulang.
Di antara hujan yang kurasai sama ketika menuruni Sumbing kala lalu, aku melaju paksa roda dua hitamku. Bulir-bulir air hujan menghantam wajahku seperti panah-panah danuh dari langit. Menyamarkan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku menangis. Teringat segala abai yang telah kuperbuat kepada Bapak dan Tomo, adikku.