Selanjutnya sesudah ini kau boleh dipanggil Sang Yang Guru; dan menempatkan seluruh kepercayaan kepadamu, aku menyerahkan bumi dan semua dihubungkan kepadanya, dimanfaatkan dan diatur berdasarkan atas keinginan dan kesenanganmu.
Terjemahan Manik Maya.
***
Di buku sketsa besar saya menulis suatu nama. Maniksaka. Di bawah nama saya menarik garis, membaginya menjadi tiga bagian. Bagian kiri saya beri judul Akasa; tengah adalah Mandara; kanan bernama Sagara. Memetakan warna dan meraba aroma gunung, laut, dan nir-udara lalu menempatkannya di tiap bagian. Saya membuka buku lainnya yang lebih kecil. Buku bertuliskan daftar rimpang, batang, bunga, dan biji rempah yang telah saya pelajari manfaatnya. Di tiap bagian buku besar, saya tuliskan masing-masing dua rempah untuk menciptakan karakter yang sesuai dengan nama. Sebuah resep yang barangkali, bisa mengobati luka yang meradang di tubuh. Resep yang saya peroleh dari tutur leluhur. Resep yang, pula tersemat doa, semoga menyembuhkan.read more
Coba kalian lihat produk-produk yang ada di rumah. Di dapurmu, di kamarmu, kamar mandi, bahkan di atas meja rias. Lihat komposisi pada kemasan. Adakah tertera salah satu dari nama-nama unsur pada foto di atas? Kemungkinan besar, dan sangat besar, pasti ada.
Nama-nama asing itu adalah istilah lain untuk minyak kelapa sawit dan segala turunannya.
Minyak kelapa sawit menjadi primadona para produsen untuk meramu produk-produknya. Harganya yang murah dan beraneka guna adalah kunci minyak kelapa sawit. Seturut yang saya baca, tidak banyak, minyak sawit tidak mudah mencair dalam suhu ruangan. Baik untuk pasta gigimu. Ia juga dipilih karena bisa mengikat warna tanpa memberi rasa. Bagus untuk lipstikmu. Ia juga bisa menjadi bahan yang mampu memberi daya tahan pada suatu produk, alias bahan pengawet alami. Bagus untuk masakanmu.read more
Sarongge yang terik. Kami-saya, Ika, dan Mas Rey-melompat naik ke mobil bak terbuka, menumpang sampai ke pondok karyawan kebun stroberi, tujuan akhir mobil. Di hadapan kami, hamparan cokelat tanah ladang yang ditanami hijau, kuning, merah sayur dan buah. Jauh di sana, membentang Gunung Geulis, yang morfologinya seperti seorang perempuan tertidur. Sementara sudut lain, Gunung Gede dengan gelayut awan menutupi puncaknya.
Jalanan yang kami lalui berupa jalan mortar yang tidak rata. Bergelombang dan mengelupas. Wajar. Tiap hari, jalanan yang memiliki kontur itu dilalui mobil bak terbuka, mengangkut penuh hasil ladang. Di atas bak terbuka mobil tumpangan, kami duduk bergelinjang dengan pemandangan yang amatlah amboi.read more
Kala pagi di Sukabumi. Suara senda gurau samar terdengar dari kaca mobil yang sedikit terbuka. Saya keluar dari mobil setelah tiga jam tidur. Arthur, Roro, Aliza, Pras, Ferry, Ros, Andri, dan Naufal, seorang pemandu, bercengkerama di sudut halaman rumput Villa Abah, Sukabumi.
Saya berjalan ringan menghampiri sudut halaman itu yang kemudian disambut Roro dengan memperkanalkan Daffa, adiknya, kepada saya. Udara sejuk, tidak panas juga tidak dingin. Pemandangan indah terbentang di ujung lazuardi.read more
Ramuan terjadi dalam tejanya, yang keluar melalui kawah Candradimuka. Lawu embuskan misteri dengan prananya dan lalu terjadi di atas mandaranya, dan menjadi abadi di akasa.
***
Bola keemasan perlahan muncul dari balik garis biru dan merah muda langit. Enam pagi di Sendang Drajat. Rencana untuk mengejar matahari terbit ke puncak pada jam lima pagi, hanyalah mitos.
“Habis subuhan kita berangkat ya,” ucap Roro tadi malam.
Subuh kapan?
Saya berdiri di luar tenda. Sejenak menyaksikan sesuatu yang selalu diharapkan hadir ketika berada di gunung; Matahari. Ia bisa membuat gradasi warna indah pada punggung gunung. Ia bisa menyusup pada kabut dingin. Ia bisa melahirkan kembali jiwa yang lumpuh kerena lelah.read more
Di base camp Cemoro Sewu, saya dan Roro dipertemukan dengan empat remaja ini, yang barangkali, jika hal itu tidak terjadi, perjalanan Lawu tidak akan seasyik ini.
***
Mobil putih milik Roro melaju perlahan di jalanan entah di mana. Aspal berlubang; kanan dan kiri ladang jati, yang batang-batangnya, melengkung-lengkung bagai deretan penjor.
“Ini di mana, Coy?” celetuk saya sembari membuat video untuk Instastory.
Seketika Roro semakin memelankan laju mobilnya sembari membuka kaca mobilnya, katanya, “Kalau tempat kayak ini sih enaknya buka jendela,” dan angin sejuk pun berembus.read more
Kotagede adalah persenyawaan masa silam dan kini. Yang silam dikenang sebagai pusat Kerajaan Hindu yang disulap menjadi Kesultanan Mataram Islam, tempat singgasana Panembahan Senopati bertahta. Tidak ada batas jelas antara yang lalu dan kini. Tapi yang pasti, kota pusaka ini seolah menandakan peradaban modern terbit kemarin Legi.
***
Pagi ini Matahari memulas biru langit dengan bias-bias cahaya secara diam. Sinarnya membentuk bayang-bayang pada jalan, dinding bangunan, dan pepohonan yang sejak semalam tua. Saya menyusuri jalanan menuju Kotagede, menyaksikan dan merasakan, bagaimana sinar itu mengubah gelap menjadi hidup secara gaib.read more
Tempat ini adalah saksi bisu orang-orang bergelut dengan batinnya sendiri. Berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Tempat ini juga sebagai tempat rebah bagi mereka yang telah pulang dari berjuang, di balik tenda-tenda.
Kalimati yang semula ramai, beranjak sepi. Seekor Elang jawa terbang rendah di atas Kalimati. Beberapa kelompok pendaki mulai mengemas tenda dan peralatan masing-masing untuk melanjutkan perjalanan turun kembali ke Ranu Kumbolo. Kami masih bercakap di depan tenda, bersama beberapa pendaki lain, sembari menghabiskan semua makanan yang Tukul buat. Seperti mengamuk, ia memasak semua bekal makanan. Ia juga membagikan sayuran yang tidak termasak kepada pendaki lain. “Biar enteng!” katanya merujuk pada tas carrier-nya yang seberat kulkas. Kalimati yang hangat.read more
Di antara kapas-kapas putih bergelantungan pada buaian biru angkasa, ada bola api yang mengintip dengan jarak lima ratus milyar kaki dari Bumi, yang dipandangi dari tebing jurang yang curam. Ini momen hening, hanya saya dan ruang waktu.
***
Hari belum benar-benar berganti. Masih malam sebelas derajat yang sama. Saya akhirnya memutuskan untuk benar-benar bangun dari tidur, duduk di dalam tenda. Sedikit kesal, karena tidak bisa tidur, entah gugup atau tidak terbiasa tidur sore. Padahal seharusnya saya tidur, memulihkan tenaga untuk summit. Bahkan setelah Tukul membuatkan susu jahe hangat pun tidak mempan. Jam sebelastigapuluh malam, persiapan menuju Mahameru.read more
Di sini, saya melihat bagaimana manusia menjadi manusia. Saling berbicang, membagi dan dibagi, menikmati alam dan menjaga agar tetap lestari, serta tidak lupa melantunkan puji untuk Sang Ilahi. Kalimati.
***
Pagi di Ranu Kumbolo. Mata saya terbuka oleh riuh sederhana suara manusia. Bayangan orang lalu lalang tampak samar dari dalam tenda. Saya melihat ke arah pintu tenda, tampaknya pagi belum begitu menyerngitkan panasnya. Seketika saya bangun lalu membuka pintu tenda tadi, udara dingin gunung saya hirup secara dalam, membasahi segala kekeringan dalam tubuh. Kata orang, momen Matahari terbit di Ranu Kumbolo adalah salah satu yang terbaik. Jelas, saya tidak mau melewatkan itu.read more