Misteri di Tanmatra Lawu

Ramuan terjadi dalam tejanya, yang keluar melalui kawah Candradimuka. Lawu embuskan misteri dengan prananya dan lalu terjadi di atas mandaranya, dan menjadi abadi di akasa.

***

Bola keemasan perlahan muncul dari balik garis biru dan merah muda langit. Enam pagi di Sendang Drajat. Rencana untuk mengejar matahari terbit ke puncak pada jam lima pagi, hanyalah mitos.

“Habis subuhan kita berangkat ya,” ucap Roro tadi malam.

Subuh kapan?

Saya berdiri di luar tenda. Sejenak menyaksikan sesuatu yang selalu diharapkan hadir ketika berada di gunung; Matahari. Ia bisa membuat gradasi warna indah pada punggung gunung. Ia bisa menyusup pada kabut dingin. Ia bisa melahirkan kembali jiwa yang lumpuh kerena lelah.

Tepat pukul delapan pagi, lepas sarapan, saya, Roro, Alfian, Hanif, Tedy, dan Bagas, dengan bekal sederhana, camilan dan minuman, berjalan menuju Hargo Dumilah. Kata orang, trek menuju puncak Lawu tidak akan se-ekstrem sebelumnya. Namun ternyata salah. Ucapan seseorang itu, kadang kala, hanya berupa sesuatu yang nisbi.

“Katanya enggak pakai nanjak lagi?” saya mengeluh.

“Ya enggak mungkin, Mbak,” ucap Hanif, lanjutnya, “tapi ini sebentar saja kok.”

Saya itu tidak suka dibohongi. Apalagi yang suka bilang kalau sayang padahal tidak. Tahu-tahu lenyap. Senyap.

Cie, curhat.

Baik.

Setelah saya sampai lagi di simpang antara jalan menuju puncak dan Mbok Yem, sekembalinya dari tenda untuk mengambil tongsis yang ketinggalan, kami memulai menginjakkan jalan tanah berdebu menanjak menuju puncak.

Kami berjalan di antara edelweiss dan cantigi yang tinggi. Di Lawu, edelweiss sudah bisa dijumpai sejak Pos Watu Gede. Tidak seperti gunung lainnya, ketika edelweiss tumbuh di puncak-puncak; tidak seperti Gunung Gede, ketika kamu harus malalui cobaan trek Putri yang tidak ada landainya terlebih dahulu sehingga berhasil sampai di Surya Kencana. Edelweiss Lawu berbeda, ia berwarna merah!

Kaki kami menyibak debu puncak Lawu. Menggapai batang-batang pohon yang berbunga abadi itu, untuk membantu menarik tubuh. Matahari menyengat. Sinarnya membuat wajah saya terasa terbakar; panasnya membuat keringat terasa mengucur di tubuh; di kening. Namun tenang, penderitaanmu akan terbayar penuh di atas sana.

Satu jam berlalu. Pada kelokan terakhir jalan setapak di antara edelweiss dan cantigi tinggi, samar-samar saya melihat tugu yang terkenal itu, tugu yang berada di ketinggian 3265 meter di atas laut, tugu Hargo Dumilah.

***

Puncak Lawu yang ramai. Para pendaki berlomba untuk mengabadikan momen keberhasilan mereka mengalahkan segala lelah dan ego. Mata saya arahkan ke segala sudut, mencari lokasi yang sedikit rindang. Panas di puncak Lawu.

Di balik edelweiss tinggi saya duduk. Membuka tas, mengambil bekal makanan dan minuman, memerhatikan sekitar. Dalam benak saya berpikir, mencari akal, bagaimana saya bisa mengambil foto tanpa ada gangguan latar belakang orang-orang yang sedang duduk di tugu. Saya heran, sudah tahu tugu menjadi tempat sasaran utama orang berfoto, mengapa pendaki itu malah duduk-duduk di tugu? Ada pula tas yang tergeletak di tugu sementara sang pemilik entah di mana. Itu ya, kalau saya jahat dan isengnya kumat, saya bisa lho ngumpetin tas itu, saya bongkar tugu, saya gali tanahnya, lalu tas itu saya masukkan ke pondasi.

Hiya! Berlebihan, Mbak. Anda bukan Gundala Putra Petir yang diperankan Abimana yang dulu namanya Robertino.

Habis, saya kesal. Halaman di seputaran tugu itu cukup luas, pun rimbun. Mengapa mereka, yang nongkrong di tugu itu, tidak ngiyup saja sih? ‘Kan panas! Jadi tugu Cuma untuk foto-foto. Sungguh, ini persoalan pelik bagi Sagitarian bershio Babi.

Maka, saya berkata pada Hanif, “La’u fotoin gue setengah badan saja. Biar orang-orang yang duduk di bawah enggak kelihatan.”

BAIKLAH!

Selesai dari Tugu, kami beranjak berjalan kembali ke suatu sudut yang lebih lapang. Sebentar saja. Tidak butuh mental baja untuk melaluinya. Di sudut itu, saya bisa melihat Gunung Merapi yang berjajar angkuh bersama anggunnya Merbabu. Di balik dua gunung itu, si kembar Sindoro dan Sumbing tak mau kalah. Sungguh, inilah bayaran atas semua lelah. Sungguh, inilah tips awet muda dari seorang perempuan 35 tahun yang sering dikira 27 tahun tapi bohong; sering-sering berada di atas awan!

Lepas puas menikmati puncak Lawu, kami bergegas menuju Warung Mbok Yem. Tujuannya, pertama; berkenalan dengan Mbok Yem, kedua; membeli air minum, ketiga; mengambil foto untuk keperluan media sosial.

Tidak perlu berlama-lama untuk sampai di Hargo Dalem. Cukup lima belas menit menyusuri lereng berdebu, maka tibalah di warung yang legendaris itu.

Dengan sigap, Roro dan Hanif membeli beberapa botol air mineral di warung, sementara saya dan Alfian bermain bersama Temon, kera peliharaan Mbok Yem. Eh, benar ‘kan ya namanya Temon? Tedy dan Bagas, melihat saya dan Alfian bermain.

Sebenarnya, saya punya memori spesial dengan binatang yang pernah membakar Alengka itu. Pasalnya, lupa tahun berapa, saya pernah digigit monyet peliharaan seorang artis tato Yogyakarta, ketika hendak membuat tato di lengan kiri. Dokter RS. Panti Rapih yang mengobati saya sampai terkekeh syahdu, beliau heran, kok bisa-bisanya saya digigit monyet? Beliau juga berkata, bahwa saya adalah pasien pertamanya yang diserang monyet.

Selamat ya, Dok!

Cukup! Saya lanjutkan perjalanan Lawu ya.

Di Warung Mbok Yem pun kami tidak berlama-lama karena Matahari sudah semakin naik. Niatan untuk mencoba pecel Mbok Yem favorit para pendaki Lawu saja tidak kesampaian.

“Sumpah, Wid, mukanya galak banget. Gue tanya sudah ada makanan saja, dia jawab ketus kalau sedang nanak nasi dan kompor yang selalu menyala. ‘Kan dia jualan, ya kompor harus nyala dong!” celoteh Roro kesal ketika kami kembali berjalan meninggalkan Hargo Dalem.

Saya terkekeh mendengar ceritanya. Teringat perkataan Budi di malam lalu, “Pokoknya jangan ganggu kalau Mbok Yem sedang nonton sinetron!”

Mbok Yem yang galak, tapi selalu dicari dan dirindu oleh para pendaki Lawu. Mbok Yem yang mencintai rumahnya itu dengan segenap hati. Mbok Yem milik Lawu.

Namun, meski tidak diberi kesempatan untuk bermalam dan mencoba pecel buatan Mbok Yem, setidaknya kami jajan sembilan botol 600 ml air mineral di warung itu!

Setibanya kembali di Sendang Drajat, kami menumpang masak di gua pekarangan tenda milik dua pendaki Madiun yang, sedari kemarin, bersusulan mendaki Lawu dari Cemoro Sewu. Berhubung saya hanyalah hewan yang pandai dalam urusan dapur, hanya jago bikin kopi, bersama Alfian nongkrong di sudut sejuk lain samping petilasan. Tentu saja bikin kopi.

“Mau minum air sendang, Mbak?” ucap Alfian sembari menawarkan saya air yang baru saja ia ambil dari Sendang Drajat.

“Mau dong. Barangkali bisa cakepan dikit habis minum air sendang,” jawab saya santai.

Sementara, dua teman pendaki Madiun yang pekarangannya diserobot tadi hanya pasrah duduk-duduk di antara petilasan dan sendang. Maka, jadilah akrab. Kami berbincang dan bersenda gurau dengan hangat. Tidak peduli usia. Tawa dengan mudahnya tercipta Memang, begitu mudahnya mendapatkan teman di gunung.

***

Tepat pukul dua belas siang, setelah urusan perut selesai, kami berbenah dan kembali menyusuri jalan yang kemarin dilalui. Jalan yang sepenuhnya batu, menuju Cemoro Sewu, tempat kami bertemu untuk pertama kalinya.

Awalnya, saya dan Roro berencana ingin lintas jalur. Naik lewat Cemoro Sewu lalu turun Cemoro Kandang. Cemoro Kandang yang didominasi hutan lebat dan jalur tanah, menurut saya, merupakan jalur yang lebih manusiawi dilalui dibanding dengan batu ketika turun. Saya punya pengalaman pahit turun gunung dengan jalanan berbatu di Gunung Gede via Cibodas. Selama tiga hari setelahnya, kaki saya sakit sekali, dan kapok untuk turun di jalur berbatu.

Namun sayang, ketika saya bertanya kepada teman base camp malam lalu, apakah bisa lintas jalur, Budi berkata bahwa tidak disarankan lintas jalur jika tidak ada orang yang belum pernah melewati jalur yang akan dilalui itu sebelumnya. Maka, saya terima dengan pasrah ketika teman-teman lainnya pun memutuskan untuk kembali turun melalui Cemoro Sewu.

Ya Tuhan, ampuni segala dosa dan kuatkan kaki saya.

Kekhawatiran saya benar, jalur batu itu menyiksa kaki. Mengeja batu demi batu secara perlahan, seperti seorang nenek yang sedang turun tangga dengan membawa tongkat. Pelan sekali. Namun saya beruntung, Hanif dan Alfian tidak pernah sekalipun berjalan mendahului saya. Mereka dengan sabar menunggu seorang perempuan tiga puluh 35 menyusuri jalanan berbatu yang begitu dibencinya. Saya tidak tahu, apa jadinya saya dan Roro jika tanpa mereka. Sementara punggung saya juga terasa sakit karena carrier pinjaman yang tidak sesuai dengan lekuk tubuh. Siapa suruh pinjam? Roro sempat menempelkan koyo yang saya temukan di Pos Watu Kapur. Tuhan selalu baik untuk saya yang lemah.

Perjalanan pun juga begitu menyenangkan. Empat anak muda belasan tahun itu selalu membuat tertawa. Ada–ada saja tingkah dan kelakuannya. Seolah tidak punya lelah. Mungkin karena jiwa dan tubuh muda. Namun jangan congkak, Kisanak. Kalian akan merasakan apa yang saya dan Roro alami sekarang!

Lalu, siapa bilang turun gunung lebih cepat daripada naiknya? SIAPA? Sampai senja lewat dan terjadilah malam, kami belum juga sampai di base camp. Berkali-kali saya bertanya entah pada siapa, mengeluh, “Kok belum sampai juga sih?”

Kesal, tapi mau marah juga tidak bisa. Sangking kesalnya, pertanyaan Hanif tentang siapa nama monyet peliharaannya Mbok Yem saja saya jawab ketus, “Nanti tanya sama anak base camp!” Habis, sepanjang perjalanan turun, Hanif terus bertanya nama monyetnya Mbok Yem. Oiya, dia juga selalu bertanya berapa harga tiket bus dari Solo ke Sidoarjo.

Duh, Gusti, paringono Mercy sing kathah.

Sementara ada kekhawatiran lain menghantui kepala saya. Kekhawatiran atas sesuatu yang, pernah saya alami ketika diputar-putar menuruni Semeru.

Baca juga: Melawan Keangkuhan di Puncak Abadi Para Dewa

Diputerin enggak ya?” gumam saya dalam hati, yang kemudian saya lanjutkan dengan doa Bapa Kami, Salam Maria, lengkap dengan Kemuliaan, satu paket tanpa ditawar. Tak lama berselang, ada kelompok lain menyusul kami menuruni Lawu. Ajaib!

Pada akhirnya, setitik cahaya lampu terlihat oleh kedua mata. Deru kendaraan sayup terdengar. Cahaya dan deru itu, perlahan semakin lama semakin semarak. Setengah delapan malam, kami tiba di base camp Cemoro Sewu.

“Kenapa mukanya pucat begitu?” tanya Bambang ketika saya akhirnya tiba di base camp.

“Saya lemah sama turunan, Mas. Begitu amat sih jalurnya?” jawab saya.

Bambang tertawa tanpa suara. Hanya bahunya saja yang naik turun. Saya lunglai. Lemas. Lapar.

***

“Ayo, Wid, cepat! mumpung sepi,” seru Roro, menyuruh saya berjalan cepat ketika kami hendak menyeberang jalan, menuju masjid, menumpang buang air kecil.

“Ogah! Elu aja sana!” jawab saya ketus.

Roro seketika tertawa. Melihat saya berjalan tertatih karena rasa sakit yang luar biasa pada kaki. Padahal kakinya pun sakit. Kok bisa-bisanya menyuruh cepat-cepat? Bahkan kami pun bergandengan tangan ketika menyeberang jalan. Persis seperti dua perempuan renta.

Ketika menjumpai anak tangga yang harus dilalui untuk menuju kamar mandi masjid, saya kembali bersedih, “Kenapa sih harus turun?” ucap saya sembari meniti anak tangga seraya berpegangan merambat pada dinding masjid. Luar biasa jengkel.

Namun, kejengkelan-kejengkelan tadi tidak membuat saya kapok mendaki gunung. Ya kalau bisa, menghindari jalur berbatu ketika turun gunung. Tidak ada kali ketiga, tidak ada hattrick.

***

“Aku enggak tahu nasibnya mendaki Lawu kalau enggak ada kalian,” ucap saya kepada empat remaja, ketika kami makan malam di warung dekat base camp. Ditraktir Roro soto! Saya melanjutkan, “Kalian hebat! Sabar banget nungguin dua tante yang jalannya kayak keong begini.”

Hanif merasa pun tak kalah beruntung bisa bertemu dengan kami. “Kami enggak tahu kalau enggak ada Mbak Roro, mungkin enggak bisa pulang,” ucapnya di mobil ketika kami berempat kembali menyusuri jalan raya Tawangmangu. Mereka menumpang sampai Terminal Tirtonadi, Solo. Persediaan uang mereka Rp50.000, yang hanya akan cukup digunakan untuk naik bus menuju Sidoarjo. Dasar dompet pelajar!

Setelah Hanif berkata seperti itu, tidak ada satu menit, ia menjadi hening. Saya kira dia merenungi perjalanan Lawu kami, tapi ternyata dia tidur.

“Aku kalau naik mobil harus cepat-cepat tidur, Mbak, biar enggak mabuk,” ucapnya ketika sudah bangun, hampir sampai terminal. Sementara, Tedy dan Bagas bergegas kembali ke Jepara dengan sepeda motor.

Begitulah Lawu membuat cerita. Ia penuh misteri. Kemisteriannya mempertemukan kami. Kebetulan demi kebetulan ia jadikan ramuan dalam Rupa-nya. Dengan bantuan Rasa-nya, ia keluarkan melalui kawah Candradimuka. Ia embuskan dengan Sparsa dan lalu terjadi di atas Gandha-nya.

Segala niat baik, pun berakhir dengan baik. Pengalaman, yang barangkali, tidak akan pernah terhempas dari ingatan. Ia menjadi abadi di ruang tanpa oksigen; di Akasa.

***

Sementara, Lawu dipercaya sebagai tempat moksa Prabu Brawijaya V setelah Majapahit runtuh. Lawu juga saksi bisu perang terakhir prajurit kerajaan terbesar itu dikalahkan Demak untuk menandakan berakhirnya kejayaan Hindu di Nusantara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *