34°C pukul satu siang di Yogya. Matahari berada di titik zenith Pulau Jawa. Luar biasa panasnya. Sepiring nasi ayam geprek telah tandas. Menyisakan seperempat gelas es jeruk. Warung makan beratap seng membuat siang semakin panas. Saya berpikir untuk memesan minuman dingin kembali. Di antara kebingunan hendak memesan es teh atau es jeruk, sebuah pesan singkat masuk. Sebuah foto buku Mandara dan Sagara, dua novel saya yang pada 30 September lalu baru saja diluncurkan, muncul di layar ponsel. Pada foto, tampak dua anak baru lahir itu ditemani rangkaian bunga mawar merah di dalam pot gelas kaca berisi air, dipajang di kaki patung Ganesha dengan kain poleng menyelimuti kakinya.
Surat untuk Bapak dan Adikku, Tomo
Sore itu dingin. Antara hujan dan kabut silih berganti meremangkan hati di kaki Gunung Merapi. Aku menanti terang itu, tapi tak kunjung ia datang. Tak kuat sudah aku menahan perih yang entah datang dari mana. Kulihat arloji di tangan. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Aku ingin pulang.
Di antara hujan yang kurasai sama ketika menuruni Sumbing kala lalu, aku melaju paksa roda dua hitamku. Bulir-bulir air hujan menghantam wajahku seperti panah-panah danuh dari langit. Menyamarkan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku menangis. Teringat segala abai yang telah kuperbuat kepada Bapak dan Tomo, adikku.
Buah Pikir Bernama Maniksaka
Selanjutnya sesudah ini kau boleh dipanggil Sang Yang Guru; dan menempatkan seluruh kepercayaan kepadamu, aku menyerahkan bumi dan semua dihubungkan kepadanya, dimanfaatkan dan diatur berdasarkan atas keinginan dan kesenanganmu.
Terjemahan Manik Maya.
***
Di buku sketsa besar saya menulis suatu nama. Maniksaka. Di bawah nama saya menarik garis, membaginya menjadi tiga bagian. Bagian kiri saya beri judul Akasa; tengah adalah Mandara; kanan bernama Sagara. Memetakan warna dan meraba aroma gunung, laut, dan nir-udara lalu menempatkannya di tiap bagian. Saya membuka buku lainnya yang lebih kecil. Buku bertuliskan daftar rimpang, batang, bunga, dan biji rempah yang telah saya pelajari manfaatnya. Di tiap bagian buku besar, saya tuliskan masing-masing dua rempah untuk menciptakan karakter yang sesuai dengan nama. Sebuah resep yang barangkali, bisa mengobati luka yang meradang di tubuh. Resep yang saya peroleh dari tutur leluhur. Resep yang, pula tersemat doa, semoga menyembuhkan.
Membawa Pulang Restu dari Sumbing
Malam jatuh. Pagi tumbuh. Desa Butuh, Kaliangkrik, Magelang, tak begitu ramai. Kata orang, desa ini tak banyak dipilih oleh para pendaki. Salah satu penyebabnya, barangkali, akses yang sulit dijangkau dengan transportasi umum. Namun, musabab sepi itulah, saya bersama Yanu, Arni, Galang, dan Alif, memilih desa ini sebagai pintu rimba memasuki hutan Gunung Sumbing.
Seminggu tepat lepas perbincangan sore di Kebun Buku, kami berada di kaki Sumbing. Agak aneh. Di usia yang bukan lagi duapuluh, dalam waktu setengah tahun, saya melakukan tiga pendakian yang tidak dirancang lama: Lawu, Arjuno, dan kali ini Sumbing. Dua yang terakhir, bahkan tidak lebih dari seminggu. Padahal saya pernah berujar pada diri sendiri, tidak akan sembarangan mendaki. Tapi hari ini sungguh berbeda dari yang terucap. Saya merasa, ketika memutuskan mengulur jarak, mengapa gunung malah menarik untuk kembali.
Melepas Welirang untuk Arjuno
Sumber Brantas tumpah ruah. Para pendaki mengisi ruang-ruang. Di pinggir jalan, di warung, di kamp pangkal. Ini akhir pekan dan hari menjelang siang. Dua jam mengulur dari rencana semula, menimbulkan keraguan di kepala, akankah pendakian dua gunung adik-beradik bisa berjalan sesuai kehendak?
Rencana yang Sempurna
Pendakian ini dibuat tanpa banyak waktu. Senin, 31 Juli 2023, saya dan Roro saling berkirim pesan. Ia mengajak saya mendaki Gunung Arjuno – Welirang bersama empat orang temannya—Wisnu, Sandi, Mukrom, Ari—pada akhir pekan. Sempat ragu, dengan pertimbangan waktu yang begitu mendadak. Di usia menjelang 40 tahun begini, saya membuat batas, tak bisa sembarangan mendaki.
Menyematkan Sagara di Wukir Mahendra Giri
Matahari Terbit di Hargo DumilahKe Lawu saya kembali. Untuk tiga kali. 12°C pada delapan pagi. Kamp pangkal Cemoro Kandang tampak sepi. Hanya ada saya dan tante yang biasa saya sapa dengan Mbak Nik, juga Angga dan Putra, dua pemandu. Sementara pintu rimba dijaga oleh Mas Budi, lelaki tinggi gagah berwajah sangar tapi baik hati.
“Kenapa ndak tidur di sini semalam?” tanyanya.
“Bulik saya takut kucing, Mas,” jawab saya sekenanya.
“Ndak ada kucing di sini,” jawab Mas Budi, melanjutkan “adanya kucing besar di atas kalau ketemu.”
Mengenal Gorontalo dengan Sepiring Ayam Bakar Iloni
Betapa mengerikan hidup tanpa makanan-makanan yang enak.” Soe Hok-gie.
Sebagai orang Jawa, pengalaman lidah saya atas gastronomi Nusantara begitu sedikit. Saya harus melampaui usia 39 tahun dulu baru bisa mengenal dan mengicip coto makassar di kota aslinya! Sungguh kasihan. Tidak tanggung-tanggung. Dalam lawatan (cailah, lawatan!) perdana ke Sulawesi Selatan, saya mendatangi Festival Ensiklopedia Pangan Olahan Sulselbar di Ford Rotterdam! Ya, namanya juga festival makanan, jelas saya makan! Ada olahan pisang barongko yang mirip dengan carang gesing di Jawa, bau peapi jepa yang bikin tambah nasi terus, dan kapurung yang membuat saya menyebut nama Tuhan yang jarang disebutkan.
Hilangnya Makna Perjalanan Kini
“dan di situlah aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda dalam hidupku, saat paling aneh, saat di mana aku tidak tahu siapa aku sebenarnya–jauh dari rumah, kelelahan, di sebuah penginapan murah yang belum pernah kulihat sebelumnya,”
Sepenggal peristiwa yang dialami Sal Paradise di buku On The Road mengingatkan saya pada perjalanan solo ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, 2012 silam. Memandang kosong dinding ivori penuh bercak karat bekas hujan sebuah penginapan di Kota Ende, lepas perjalanan darat menakutkan dari Moni, menahan tangis di tenggorokan, karena akhirnya keluar dari suatu ancaman. Musababnya, seorang kenalan pada pendakian Kelimutu, yang mengantarkan saya di perjalanan itu, sempat merayu untuk sejenak berhenti di pinggir jalan yang sepi. Pun berusaha menyentuh salah satu bagian tubuh. Saya berusaha keras menahan kantuk yang luar biasa agar tetap awas terhadap ancaman itu. Maka, ketika akhirnya tiba di penginapan, rasa lega hadir. Saya selamat, meski lalu merasa sedih karena berada terpisah oleh banyak pulau dari rumah. Sendirian.
Tenggelam di Ketinggian
Pada Lawu saya kembali. Gunung pertama yang didaki lepas satu setengah tahun pandemi menghantam Bumi. Di antara waktu mengulur jarak dengannya, Lawu malahan seolah menarik saya untuk memilihnya, yang entah untuk apa.
Rabu pagi itu, pukul 9, Dusun Ceto, Karanganyar, cukup cerah. Matahari sedang bungah dalam peraduannya di ufuk timur. Saya duduk di warung Basecamp Lawu Barokah dengan secangkir kopi panas di atas meja. Gunung Merapi, Merbabu, dan Ungaran tampak di kejauhan, menari-nari di atas awan. Menjadikan kopi saset kali ini terasa lebih nikmat dari biasanya.
Memetik Harap Bunga Telang di Samata
Sebelum mulai, silakan baca tulisan tentang 30 Jam di Atas Laut Jawa terlebih dahulu untuk tahu ihwal keberadaan saya di Samata.
***
Hari masih awal, jam tujuh pagi ketika saya bangun. Matahari bungah di timur. Nato dan Nina—burung merpati kipas peliharaan Kebun Tentangga—beserta kawanannya, berkerumun mematuk-matuk pakan yang baru saja ditebar Syukron. Saya berjalan melintasi kerumunan tanpa mengganggu, dari rumah yang saya tempati menuju rumah utama yang didiami Syukron sekeluarga. Di dapur, tanpa ragu pula saya menyeduh kopi lalu duduk di ambin kayu di teras depan rumah. Ya, menyesap kopi adalah hal wajib yang saya lakukan untuk mengalami pagi yang sempurna. Suatu ritme yang tidak bisa diganggu, seperti Nina dan Nato yang harus diberi makan. Asap kopi yang mengepul dan sesap demi sesapnya adalah nyawa pertama, dan saya akan menikmati pagi hanya dengan kopi; tidak akan melakukan apa-apa selain melamun, sampai gelas tandas dan nyawa siap lepas landas.