Nyawa Bernama Namaku Pram

PSX_20180428_143603.jpg

Dada ini berdegup kencang ketika membaca kata demi kata cerita tentang Namaku Pram. Kisahnya sebagai manusia bagai botol di tengah lautan, terombang-ambing tiada arti. Bagi banyak orang, ia hanyalah sampah yang mengotori lautan, tapi untuk yang menemukannya, yang lalu membuka tutup pada botol, mengambil kertas yang berada di dalamnya dan membacanya, ia adalah lentera.

***

Di suatu siang, saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke ‘Namaku Pram: Catatan dan Arsip’, sebuah pameran yang diselenggarakan di Dia.Lo.Gue Art Gallery, Kemang, beberapa waktu lalu. Bukan tanpa sengaja, perihal Namaku Pram ini memang sudah saya jadwalkan secara khusus. Pram, buat saya adalah sosok yang ingin saya jumpai di masa yang akan datang. read more

Menang Sekali Lagi di Gili Labak

DSC09107-01

BYURR! Air laut menyembur, membasahi tubuh kami—saya dan Bulan— yang duduk di haluan kapal. Segala gawai kami simpan di dalam tas, yang juga basah, secara bergegas. Air laut bisa merusak lebih ganas. “Duduk di belakang saja, Mbak,” ucap Mas Ian, kapten kapal kami. Ia melanjutkan “Ombaknya sudah mulai besar.” Bulan bergegas berjalan ke belakang kapal sedangkan saya hanya mampu mengesot mundur seraya menarik tas perlahan. Kapal mulai oleng.

***

Pagi ini, kami dalam penyeberangan menuju Gili Labak. Pulau yang dihuni oleh tigapuluh Kepala Keluarga itu berada di sebelah Timur Pulau Madura, masuk dalam Kabupaten Sumenep. Sudah sejak semalam kami tiba di Sumenep, setelah melalui perjalanan darat yang melelahkan. Ada beberapa pelabuhan di Sumenep yang melayani penyeberangan menuju Gili Labak, seperti Pelabuhan Kalianget, Desa Lobuk, Tanjung, dan Desa Kombang. Kami memilih Pelabuhan Kalianget. read more

Bromo dan Fantasi Tanah Utara

IMG_20180522_084016_HDR-01

Di lembah ini, semua terlihat sempurna. Bukit hijau tua menyambut langit yang biru muda dengan awan putih di bagian ujungnya. Di bawah, savana pasir hitam dan ilalang kekuningan, dihiasi dengan bunga ungu di beberapa malainya. Ini bulan Mei, katanya, waktu yang tepat untuk melihat Nusantara lebih dekat.

***

Bromo pagi ini masih berkabut. Pasir hitam itu hanya berteman dengan putih awan. Wewarnaan hanya pada kain-kain sanggah di sudut-sudut suci. Pak Sudar masih melajukan mobil dengan beringas. Tidak peduli dengan liukan serta jalan yang licin oleh sirat kabut yang jatuh pada aspal. read more

Kan Kulipat Jarak Itu

Ketika sepotongkecil pakainmu kuambil dari tanah pusaramu,

indah tentangmu hadir kembali,

selalu ada.

Ingatkah kau tentang cerita kita?

Tentang sore kita di tepi Sungai Code,

ketika kau mendongeng tentang laut di Selatan dan gunung di Utara,

tentang Minggu kita di Gembira Loka,

tentang perjalanan kita menuju Kota Gede dengan kereta kuda,

tentang terik itu, ketika kita menyusuri Kuta,

aku selalu ingat.

Kau yang selalu kurindu,

tawa renyahmu,

suara lembutmu.

Lalu, ingatkah kau ketika kau membersihkan kutu kasurku? read more

Mengentas Jarak dengan Buddha di Sendangcoyo

“Aku adalah
anak-Buddha,”
(Pramoedya Ananta Toer, 2003:246)

Itulah
kalimat pertama yang ditulis Kartini di dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon,
tarikh 27 Oktober 1902. Suratnya kali itu menceritakan tentang masa kecilnya
yang seorang Pribumi, akhirnya bisa disembuhkan dari penyakit oleh orang kudus
Tionghoa, setelah beberapa kali mendatangkan tabib.

***

Dengan
ragu saya membuka gerbang besi. Merogoh grendel pintu sambil berusaha mencari
adakah seseorang yang bisa dijumpai. Sepi. Beberapa ekor anjing tenang berjalan
menghampiri tanpa gonggongan. Hanya ekor mereka mengibas menyambut tamu dengan
semangat. Sunyi. read more

Gadis Pantai di Pantai Amnesia

“Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangannya oleh perahu-perahu yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berlabuh di muara, menurunkan ikan tangkapan dan menunggu besok sampai kantor lelang buka.” (Pramoedya, 2013;11)

Matahari mulai condong ke sisi Timur Laut langit, ketika kami—saya dan seorang kenalan—sedikit menepi meninggalkan pusat kota. Sebelas kilometer timur Rembang, menyusuri jalan Pantura, saya menembus sebuah dimensi waktu, masuk ke sebuah masa ketika Gubernur Guntur memimpin dengan keji. Genosida yang terjadi dalam sebuah proyek pelebaran jalan Anyer – Panarukan. Jalan terbaik dan terpanjang di masanya, kuburan terluas di Pulau Jawa. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. read more

IRONI RUPA ARSITEKTUR MASA SILAM

“Harus Seperti Inikah Nasipnya?”

Rupa bangunan itu rapuh. Dindingnya berkelupasan, jendela berkarat, dan pagarnya disegel dengan sebuah gembok besi besar. Dipastikan tidak berpenghuni. Hanya sampah dan puing menjadi penghuni bangunan yang cukup tinggi menjulang. Bangunan itu seolah menjadi surga bagi pengerat–pengerat untuk mengasah giginya agar lebih erat.

“Merah putih berkibar setengah tiang di Fatahillah”

Foto ini menjadi saksi dimana kain berwarna merah putih itu melilit pada bambu yang ditancapkan di salah satu sisi jendela gedung, yang dahulu berfungsi sebagai Balai Kota. Lilitan atau kibaran setengah itu, menjadi metafora perjuangan sampai mati para pahlawan dengan bambu runcing. read more