Suatu Kamis di Larantuka

Hari ini saya berkeliling kota dengan berjalan kaki, dimulai dari pelabuhan. Layaknya pelabuhan, segala bentuk kegiatan ekonomi terjadi di sini. Hiruk pikuk pedagang menawarkan barang dagangannya, riuh supir angkot mencari penumpang serta lalu lalang kapal yang silih berganti datang dan pergi mengantarkan manusia dan barang ke pulau seberang. Tidak peduli teriknya matahari menusuk kulit, mereka harus tetap bekerja, mereka sudah terbiasa. Di sini tampak sekali sifat dasar manusia, bahwa kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Pedagang memerlukan pembeli, supir butuh penumpang. Ada kebutuhan sosial dibalik kegiatan ekonomi tadi. read more

Selamat Datang Di Nagi

Lepas landas dari Kupang dan mendarat di Maumere. Kota yang menjadi pintu gerbang saya memasuki Pulau Flores. Selamat datang di Flores. Bahagia tak terhingga. Rasanya, baru kemarin malam bermimpi andai saja bisa ke Flores. Tapi kali ini, kaki saya benar-benar menapak di tanah tenun. Pulau yang sepintas terucap seperti bunga; flower.

Oiya, saat di El Tari Airport, Kupang, saya berkenalan dengan seseorang yang juga hendak menuju Larantuka. Saya menyapanya Bang Daniel. Begitu sampai di Maumere, saya berkenalan lagi dengan orang yang juga hendak menuju Larantuka. Bang Unun. Jadi begini triknya, kalau kamu melakukan perjalanan sendiri di Flores (atau pulau-pulau lain di Indonesia), sebisa mungkin berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Mungkin saja kalian punya tujuan yang sama. Hal ini dimaksudkan agar bisa menyewa mobil travel secara beramai. Karena ongkos akomodasi darat cukup sulit dan mahal. Sekali jalan, transportasi antara kota di Flores membutuhkan biaya sebesar Rp. 500.000;- untuk satu buah mobil sewa. Jadi, jika beramai-ramai, kamu bisa menghemat biaya. read more

Timor

Ready to start..

Dengan mata sedikit kecut karena tidak tidur, langkah kaki yang sedikit gontai menahan keseimbangan dari dua ransel yang cukup berat, saya mulai perjalanan ini. Tetapi langkah gontai itu yakin manapak lorong-lorong bandara Soetta, di pagi yang masih gelap.

Gemuruh bandara di pagi buta diisi lalu lalang orang menuju gerbangnya masing-masing. Gerbang dimana pesawat yang akan mereka tumpangi sudah menunggu di landasan. Sama seperti saya, manusia-manusia itu masih dengan jiwa yang tidak sepenuhnya tersisi, menahan kantuk sampai tertidur di kursi bahkan di emperan lorong bandara. Dan saya akhirnya bisa tertidur selama kurang lebih selama satu jam di dalam pesawat dari Jakarta menuju Surabaya, kota transit untuk menuju ke Kupang. read more

Dia Bernama Kelimutu

Keagungannya tak kalah dengan Gunung Rinjani di Lombok. Dia berada di Desa Moni, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai ke sana, kamu harus melakukan perjalanan selama satu setengah jam dari Ende dengan menggunakan bus menuju Maumere. Atau bisa menyewa mobil travel, hanya saja biaya lebih mahal. Moni sendiri adalah sebuah desa kecil yang cukup asri. Hamparan sawah hijau mengelilingi rumah-rumah penduduk yang berada di kaki gunung. Hawanya sejuk, berbeda dengan sebagian besar daerah di Flores yang panas. Dari desa Moni, kamu harus melakukan perjalanan sepanjang 12 km untuk mencapai kaki gunung itu dengan menyewa motor yang disediakan oleh banyaknya penginapan di Moni. Lalu setelahnya perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki selama kurang lebih satu sampai dua jam. read more

Sehari Bersama Pemetik Teh Patuha

Kehidupan masyarakat gunung Patuha tidak akan pernah lepas dari tanaman teh. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pemetik teh. Di segala sudut arah pandangan mata, terhampar ribuan hektar tanaman yang hidup di daerah dengan suhu yang dingin tersebut.

Gunung Patuha terletak dataran tinggi Ciwidey, yaitu 46 kilometer ke arah selatan Kota Bandung. Tidak mudah untuk mencapai gunung dengan ketinggian 2.386 meter di atas permukaan air laut tersebut. Saya dan ke enam teman lainnya harus menyewa sebuah mobil pribadi milik seorang yang kami kenal di sebuah musholla. Jalan yang berkelak-kelok dengan minim angkutan merupakan alasan kami untuk melakukan hal tersebut. Terlebih lagi kami diharuskan untuk masuk ke desa-desa yang berada di lembah gunung dengan kawasan Kawah Putih sebagai satu pintu masuk. Tujuan kami melkaukan perjalanan ini adalah untuk melakukan sebuah ekspedisi untuk menggali kehidupan pemetik teh di daerah yang ditemukan oleh Dr. Franz Wilhelm Junghuhn itu. Dengan latar belakang tersebut, kami meyakini dengan kehidupan pemetik teh Gunung Patuha memiliki cerita yang berbeda dan lebih menantang ketika dibandingkan dengan kawasan lainnya, seperti Puncak misalnya. read more

Desa Itu Bernama Sukasari (2)

Setelah semalam akhirnya tidur nyenyak (tidur hangat di dalam rumah dengan sleeping bed), kami bangun subuh, mempersiapkan mengikuti kegiatan warga memetik teh. Setengah enam kami sudah siap di depan rumah, melihat wajah-wajah ayu dengan menggendong bakul rotan besar dengan sepatu boot. Pakaiannya warna-warni menambah ceria wajah mereka, penuh semangat. Ketika saya menuruni dan menyusuri desa, tampak seorang ibu memoles wajahnya dengan bedak dan gincu. Konon, pemetik yang didominasi oleh perempuan diwajibkan dandan untuk memikat para mandor dan tertarik dijadikan istri. Oleh sebab itu, kebanyakan dari wajah mereka seperti wajah londo, memerah, karena keturunan Belanda. Tapi secara logika, kenapa perempuan karena memiliki sifat ketelitian yang melebih laki-laki, terutama untuk teh yang baru pertama kali dipetik. Lalu pada petikan kedua dan seterusnya , laki-laki diperbolahkan ikut memetik. read more

Desa Itu Bernama Sukasari (1)

Ini adalah pengalaman ekspedisi terbaik saya selama menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Atmajaya Photography Club Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Setelah kelompok Merapi, Kawah Ijen, Semeru, dan Kawi, saya bersama enam orang teman memutuskan Gunung Patuha sebagai tujuan ekspedisi, yang nantinya akan dipamerankan dalam Gelar Karya Ring of Fire. Walaupun dengan informasi seadanya, hanya berdasarkan cerita pengalaman seorang anggota kelompok yang lupa-lupa ingat, serta tanpa contact person yang dapat dihubungi. read more