Sparsa Tanmatra

Oh, aku mengerti sekarang, mengapa namaku selalu tercoret, mengapa seorang teman kecil pernah mengataiku cucu PKI kafir, dan mengapa rumah ini tidak ada botol kaca.

Ya, aku mengerti.

Kami menanggung dosa turunan. Nama kami tercatat dalam sebuah buku bersampul kuning. Bahkan bapak yang tidak ada sangkut-pautnya ikut tercatat. Aku mengerti, mengapa ia pensiun dini.

Ibu, traumanya belum juga hilang. Bahkan untuk menceritakan kepadaku dan adikku, Rara, ia menulis surat. Tak kuasa mengucap.

Surat dari seorang anak untuk ibunya paling indah yang pernah kubaca.

Aku tahu tangannya bergetar, tampak dari garisan penanya. Aku tahu ia berlinang, tampak dari bercak tetesan tangisan di kertas.

Aku sendiri sudah berdamai dengan nasibku yang takkan bisa menggali batu demi batu di tanah-tanah jauh. Aku harus setia hanya kepada Mahaguru.

Namun ibu?

Aku harus kuat berdiri untuk meneggakkan kakinya yang gemetar.

***

“Ra, buka warung kopi yuk!”

 

 

Prana Mahardita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *