Coba kalian lihat produk-produk yang ada di rumah. Di dapurmu, di kamarmu, kamar mandi, bahkan di atas meja rias. Lihat komposisi pada kemasan. Adakah tertera salah satu dari nama-nama unsur pada foto di atas? Kemungkinan besar, dan sangat besar, pasti ada.
Nama-nama asing itu adalah istilah lain untuk minyak kelapa sawit dan segala turunannya.
Minyak kelapa sawit menjadi primadona para produsen untuk meramu produk-produknya. Harganya yang murah dan beraneka guna adalah kunci minyak kelapa sawit. Seturut yang saya baca, tidak banyak, minyak sawit tidak mudah mencair dalam suhu ruangan. Baik untuk pasta gigimu. Ia juga dipilih karena bisa mengikat warna tanpa memberi rasa. Bagus untuk lipstikmu. Ia juga bisa menjadi bahan yang mampu memberi daya tahan pada suatu produk, alias bahan pengawet alami. Bagus untuk masakanmu.
Namun, kegunaan minyak kelapa sawit yang kita cintai berbanding terbalik dengan dampak yang ditimbulkan. Iklim, ekosistem, dan sosial adalah masalah yang lahir berbarengan bersama tiap pohon sawit yang tumbuh.
Ia adalah tanaman monokultur. Tidak seperti kopi atau sagu yang bertumpang sari bersama tanaman lain sehingga para petani memiliki opsi. Akar-akarnya yang serabut itu mampu menghilangkan unsur hara dan air sehingga tanah kering. Ketika hujan besar melanda, akar-akarnya pun tak mampu menampung limpahan air hujan. Banjir tiba.
Tak berhenti di situ. Dalam urusan pembukaan lahan, pembakaran adalah cara yang paling efektif. Asap-asap mengangkasa membuat sesak. Yang paling menyedihkan adalah pemusnahan hutan-hutan tropis demi perkebunan yang mampu meningkatkan produksi ekspor terbesar negeri ini. Sebutkan hewan-hewan yang kau lihat di foto-foto-yang kehilangan rumahnya-ketika kebakaran hutan melanda Kalimantan dan Sumatera. Kera, harimau, gajah, dan segala hewan di dalam hutan meraung kesakitan dan kehilangan rumahnya. Seorang ibu jatuh pingsan karena tak mampu bernapas karena udara begitu buruk. Belum lagi tanah-tanah adat yang dirampas demi segenggam minyak yang mampu membuat masakan kita terasa enak, membuat kulit kita terasa sehat.
Ya, harus diakui secara sedih, konflik agraria sepertinya tidak akan pernah tuntas. Roman Saidjah dan Adinda masih akan kita temui dengan beragam judul.
Adalah Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dua sertifikat yang mengatur pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, alias ramah lingkungan dan ramah adat. Sertifikat itu, katanya, harus dimiliki oleh perusahaan perkebunan.
Namun, siapa yang menjamin keramah lingkungan itu mampu dijalankan dengan baik di lapangan? Siapa yang menjamin, perusahaan itu mampu konsisten setelah sertifikat didapatkan? Nyatanya, mereka tetap melanggar. Meski banyak demonstrasi yang telah dilayangkan, mereka tetap merusak hutan, tak memedulikan norma adat. Perusahaan-perusahaan itu juga membeli kelapa sawit mentah dari petani lokal. Sementara, para petani tidak punya pilihan. Mereka membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk mengolah lahan sementara hasil panen dibeli dengan harga yang murah. Petani menggara lahannya secara konvensional; membakar.
Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa besar lahan warga jika dibandingkan dengan milik para raksasa? Petani lokal juga diikat dengan norma adat yang, tentu saja, tidak dilakukan oleh para raksasa tadi. Dalam urusannya pembukaan lahan, sebelum melakukan pembakaran, para petani membuat semacam parit dan gundukan tanah atau memasang patok di sekeliling lahan selain mereka juga melakukan upacara adat untuk melambungkan doa-doa. Fungsi parit dan gundukan tanah itu untuk menahan api dan panas agar tidak menyebar secara jauh ke tanah-tanah lain, ke lahan-lahan gambut, ke hutan-hutan. Terlebih pada lahan gambut yang bisa tiba-tiba saja terbakar pada saat kemarau.
Palm Oil Free akhirnya menjadi aksi penolakan segala konflik akibat sawit. Kata orang, POF adalah kampanye hitam menjatuhkan minyak kelapa sawit dan mengangkat minyak-minyak tumbuhan lain seperti, zaitun dan almond yang berasal dari Eropa. Sementara di Indonesia, minyak kelapa menjadi pilihan pengganti sawit.
Lalu, bagaimana nasib para petani lokal kelapa sawit jika kampanye ini mencapai keberhasilan secara global? Akan selalu ada masalah. Namun, adakah negara yang tidak memiliki masalah?
Saya adalah salah satu individu yang berusaha untuk tidak memakai produk berbahan minyak kelapa sawit. Tidak mudah. Sekali lagi, silakan amati isi rak-rak di seluruh koridor pasar swalayan. Kita tidak bisa menghindari sawit. Saya belum bisa menghalau keinginan untuk menikmati semangkuk Indomie dan segelas es susu Milo.
Namun, sejak hampir lima tahun terakhir, saya melakukan sesuatu yang bisa saya lakukan, meski hal kecil sekalipun. Memakai minyak goreng kelapa, mengganti produk perawatan tubuh bebas minyak kelapa sawit. Untuk yang kedua, merupakan pekerjaan yang merepotkan. Saya melakukan riset dan mengharuskan berganta-ganti produk hingga akhirnya menemukan yang cocok dengan tubuh saya. Kriterianya antara lain, tidak melakukan uji coba terhadap hewan, tidak merusak ekosistem laut, bebas kelapa sawit, pengolahan kembali kemasan bekas pakai. Produk-produk itu tidak banyak dan biasanya merupakan industri rumahan sehingga sulit dijangkau atau mahal atau tidak tahan lama. Kadang juga saya membuat sendiri beberapa produk yang dipakai keseharian, alias do-it yourself, seperti deterjen lerak. Di lain waktu, barangkali saya akan menulis satu artikel tentang resep-resep diy tadi.
Mengapa saya melakukan ini? Mengganti produk-produk yang tiap hari dipakai, yang akan terus saya beli, selain Indomie dan Milo tadi. Adalah tak lain untuk memperkecil kerusakan alam akibat segala kebutuhan yang saya pakai, di tiap harinya. Tidak seratus persen menghilangkan, tapi setidaknya mengurangi.
Saya mencintai alam Indonesia dengan segala DNA-nya. Saya tidak akan mati jika tanpa Unilever. Dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Pulau Rote, menyimpan segala DNA yang mampu menggantikan sampo beserta pelembut rambutmu, sabun dan pelembab kulitmu, vitamin dan serum wajahmu. Bahan-bahan yang, barangkali, telah dipakai oleh nenek moyangmu, yang oleh Suku Baduy atau Boti, masih dipakai hingga kini, dan mereka baik-baik saja.
Melalui tulisan ini, saya mengajakmu untuk menjaga Bumi, rumah kita semua. Setiap satu perubahan itu berarti. Maka janganlah berkecil hati. Tidak ada waktu yang tepat selain hari ini untuk melakukan perubahan meski itu kecil. Mengambil sisi positif dari pandemi corona yang sedang terjadi, bahwa kita tidak akan kembali ke keadaan normal seperti sebelumnya, karena era selanjutnya adalah tentang kemanusiaan dan peduli kepada alam.
Setiap titik itu berarti. Sudah saatnya pula kita kembali pada DNA Nusantara. Agar tak ada lagi plastik di dalam perut penyu, tidak ada lagi orang utan yang kehilangan hutan. Setidaknya itu saja dulu.