Barangkali ini tulisan yang terlambat.
Tarikh 6 April 2019.
Pagi itu, hampir setahun yang lalu, saya menyusuri jalanan yang membentang dari utara ke selatan menuju Pantai Parangkusumo. Meski waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, tapi sinar matahari sudah menyinari Yogyakarta dengan ganas.
Saya berencana mengikuti satu acara yang rutin diadakan oleh Keraton Yogyakarta tiap tahun untuk memperingati Jumenengan Dalem atau peringatan naik tahta Sultan HB X sebagai raja Kesultanan Yogyakarta. Dulu, saat ayahandanya bertahta, Labuhan diadakan untuk memperingati Wiyosan Dalem atau ulang tahun Sultan HB IX sesuai dengan kalender Jawa. Lain itu pula, labuhan adalah satu tradisi kuno yang sudah dilakukan oleh masyarakat Nusantara sebagai lantunan puji dan syukur kepada Tuhan atas hasil bumi atas alam yang melimpah.
Mengapa Pantai Parangkusumo?
Di selatan Mataram, ihwal dan peristiwa pernah tercatat.
Dahulu kala, lepas sebuah bintang sebesar buah kelapa jatuh dari langit menimpa tepat di ulu hati ketika Panembahan Senopati sedang tidur di atas batu gegilang. Lantas, bersama Ki Juru Martani yang menyaksikan itu, putra Ki Ageng Pamanahan itu berbagi tugas untuk melaksanakan laku. Ki Juru pergi ke Gunung Merapi di utara dan Senopati ke Samudera Selatan, berdoa kepada Kawula Gusti untuk mencari pencerahan.
Terjadilah demikian.
Menyusur Sungai Opak, Panembahan Senopati menghanyutkan sukma menuju samudera.
Laku putra Ki Ageng Mataram itu sekonyong-konyong menimbulkan prahara. Bumi bergetar, gemuruh angin menyambut hujan membuat pohon-pohon tumbang. Air laut mengulum ombak setinggi gunung.
Penguasa lautan terhenyak, bertanya, apa gerangan yang membuat kerajaannya mendidih? Maka ia bangkit dari singgasana emasnya, naik ke permukaan, berdiri di atas samuderanya. Seketika ia melihat seorang lelaki tampan sedang bertapa di pasir pantai hitam berkilau seperti intan. Sang ratu bergumam, bertanya dalam hati, “Diakah yang membuat gara-gara ini terjadi?”
Sang ratu kemudian berjalan di atas laut, menghampiri lelaki itu dan mengucap sembah, katanya, “Semoga berkenan menghilangkah sedih hati, agar hilang pula gara-gara ini, segera berbahagia seluruh air laut yang rusak akibat gara-gara. Kasihanilah saya, sebab laut ini saya yang menjaga. Tentang permohonan kepada Allah sekarang sudah terkabul. Paduka dan anak cucu akan menjadi raja di Mataram menguasai seluruh Jawa tanpa tanding. Jin, setan, peri-perayangan di tanah Jawa juga dalam kuasa Paduka. Misalnya kelak mendapat musuh mereka akan membantu, serta taat atas segala perintah, sebab Paduka adalah cikal-bakal para raja di tanah Jawa.”¹
Syahdan, sudut pasir hitam mutiara di Pantai Parangkusumo itulah yang dipercaya sebagai tempat Panembahan Senopati bersemedi. Kini, sudut itu dipagari tembok putih yang dinamakan Cepuri Parangkusumo. Tidak sembarang orang boleh memasuki cepuri.
Dari area parkir motor, terdengar alunan gamelan mengiringi nyanyian sinden. Ramai orang memenuhi pendopo samping cepuri. Para abdi dalem berpakaian tugas serba hitam. Saya berjalan memasuki gapura putih gading, lalu berdiri di suatu sudut belakang.
Kehadiran saya di Pantai Parangkusumo tidak memiliki maksud lebih, hanya ingin menyaksikan suatu kelompok masyarakat tradisional, dengan segala babad tanahnya, melakukan tradisi yang sudah turun temurun sejak zaman nenek moyang. Sebuah kultus yang barangkali, ya, barangkali, tidak bisa digantikan oleh agama apapun.
Saya menganggap bahwa acara Labuhan, tidak hanya mewakili Islam sebagai agama dasar dari Kesultanan Yogyakarta, melainkan sebuah budaya yang bisa dilakukan oleh semua manusia, apapun agamanya. Spiritualitas membebaskan manusia untuk melakukan puja-puji kepada Tuhan atas tanah dan airnya, atas alam raya.
Lama berselang, gamelan masih mengalun, saya tidak tahu kapan uborampe akan dilarung ke Laut Selatan. Dari pendopo cepuri, saya berjalan menuju Pantai Parangkusumo.
Sesampainya di pantai, saya melihat seorang bapak sedang duduk sila menghadap samudera. Di depannya terdapat satu talam bambu berisi hasil bumi sebagai sesaji. Di belakang bapak, duduk pula dua orang, juga menghadap samudera. Aroma dupa menyeruak. Ombak Laut Selatan menggulung sambut menyambut. Saya mengamati dari jauh.
Lalu, tiba ketika satu ombak besar datang, bapak itu beranjak dari duduk, menyunggi sesajinya, berjalan menuju pinggir laut, lalu melarungkan sesaji. Seketika, talam beserta segala isinya itu, yang oleh ombak kemudian berenang menuju tengah lautan, jauh dan semakin jauh dan lalu hilang. Lepas itu, bapak yang baju hijaunya basah oleh air laut, beserta dua orang yang menemani tadi, pergi meninggalkan pantai. Hanya menyisakan aroma dupa yang tiada habisnya.
Saya tertegun, bergumam, begitu indahnya sesuatu yang barusan saya saksikan. Satu dua orang memandang samudera; alam, sebagai guru. Saya tidak mengenal bapak itu, pun dengan orang-orang lain yang melakukan hal serupa; yang melarungkan sesaji secara pribadi, tidak ikut bagian dari Labuhan Parangkusumo yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta.
Ya, labuhan atau pelarungan sesaji bisa dilakukan secara personal, atas berkah yang diterima. Ia hanya mengikuti waktu dan tempat dari hajat yang dilakukan Keraton. Barangkali tarikhnya bukan sembarang tarikh, bukan semata hari ulang tahun naik tahta, melainkan sebuah sangkalan yang sudah diukir pada sebuah lontar.
Dua jam berlalu dari yang pertama, uborambe sudah diarak dari pendopo menuju pantai. Pasukan berkuda memimpin, membuka jalan. Saya, bersama orang banyak berkerumun di belakang batas. Orang-orang itu berlomba untuk berada paling depan, agar dengan mudah mengambil isi sesaji yang telah dilarung. Ngalap berkah, katanya.
Satu per satu uborambe yang ditutup dengan kain diarak menuju laut. Orang-orang bertelanjang dada diberi tugas untuk menghanyutkan sesaji, yang dikawal oleh para penjaga pantai. Lalu, setelah satu ombak besar datang lagi setelah yang pertama tadi, sesaji-sesaji itu hilang ditelan samudera, diterima oleh Ratu Keraton Selatan. Tersisa untaian bunga dan daun kering penghias sesaji, yang mungkin tidak diterima. Ia akan tetap di daratan, yang kemudian dipungut oleh orang-orang, termasuk saya.
Saya memungut satu untai bunga kering itu, menyentuh buih putih samudera, dan menderaskan doa dalam hati, meminta izin untuk menulis buku tentang babad tanah ini kepada Ratu.
Ketika menulis ini, masih teringat dua ombak besar yang saya lihat. Malai-malainya seperti rengkuhan tangan menerima sesaji. Gemuruhnya seperti pasukan keraton dengan segala pengawal. Sempat terkaget, saya yang berdiri sedikit jauh dari bibir pantai, ikut basah sampai batas mata kaki oleh sisa ombak yang sampai di tempat saya berdiri. Sebagai seseorang yang takut laut, sontak saya berlari-lari kecil merentang jarak karena merasa begitu dekat dengan laut. Padahal jelas-jelas posisi saya dekat dengan tulisan Pantai Parangkusumo, jauh dari laut. Sepatu basah dan penuh pasir. Berat.
Anas, seorang teman,membalas unggahan di Instastory, “Kalau diterima, biasanya kayak diambil ombak gitu, Mbak. Kalau balik berserakkan itu kayak dihempas.”
Saya terkekeh, berarti saya mengambil yang terhempas. Tidak masalah. Toh, saya tidak punya tujuan lebih. Izin yang saya ucapkan tadi hanya lintasan sesaat. Kebetulan, segala riset yang saya lakukan kemudian berjalan baik. Buku-buku referensi datang begitu saja. Saya juga diberi kesempatan datang ke tempat-tempat, dipertemukan dengan orang-orang yang, melalui ceritanya, menjadi ide tulisan. Ruang dan waktu sudah diberikan kepada saya. Boleh percaya atau tidak.
Tak lama berselang, saya kembali menyusuri jalan pertama yang masih juga panas. Di atas sepeda motor, saya tersenyum dalam hati, betapa beruntungnya bisa melihat suatu tradisi yang kata sebagian orang disebut syirik itu, betapa beruntungnya bisa melihat alam yang hidup.
Satu hari lepas Labuhan itu, saya menuju Utara, ke sebuah meru tempat Ki Juru Martani melakukan perjalanan; ke tempat dua empu sakti bersemedi, melihat alam lain yang juga hidup, yang ikut menjaga Mataram, di labuhan yang lain.
¹. Diambil dari buku Babad Tanah Jawi halaman 96-97.
terima kasih atas artiklenya
Kembali kasih.