Kotagede adalah persenyawaan masa silam dan kini. Yang silam dikenang sebagai pusat Kerajaan Hindu yang disulap menjadi Kesultanan Mataram Islam, tempat singgasana Panembahan Senopati bertahta. Tidak ada batas jelas antara yang lalu dan kini. Tapi yang pasti, kota pusaka ini seolah menandakan peradaban modern terbit kemarin Legi.
***
Pagi ini Matahari memulas biru langit dengan bias-bias cahaya secara diam. Sinarnya membentuk bayang-bayang pada jalan, dinding bangunan, dan pepohonan yang sejak semalam tua. Saya menyusuri jalanan menuju Kotagede, menyaksikan dan merasakan, bagaimana sinar itu mengubah gelap menjadi hidup secara gaib.
Akiik… akiik… akiiiikkk…
Seruan pedagang datang lebih gempita. Ini mungkin menjadi hari besar bagi warga Kotagede. Minggu yang datang pada pasaran Legi. Pikuknya merambat ke atas, membentuk bias-bias dalam terpa sinar mentari pagi di udara. Likat manusia dan suara lantangnya yang tidak terjadi tiap hari, hanya pada pasaran kedua penanggalan Jawa. Sargedhé, begitu pasar tua itu disebut.
Saya berhenti di depan gelaran lapak pedagang cincin batu akik.
“Monggo, Mbak,” sapa ibu pedagang.
“Ini batu apa, Bu?” tanya saya seraya menunjuk salah satu batu berwarna kecokelatan.
“Mata kucing Mbak,” jawabnya kemudian melanjutkan, “bagus itu. Warnanya bisa berubah kalau kena sinar sepeti mata seekor kucing.”
Di sisi barat pasar, gelaran lapak pedagang dari mulai hewan unggas, tanaman hias, sampai cincin akik.
“Kalau yang ini harganya berapa?” tanya saya akhirnya merujuk kepada sebuah batu berwarna kebiruan.
“Tiga puluh ribu sudah sama cincinnya, Mbak.”
Tak perlu waktu lama, si ibu pedagang dengan cekatan memasang batu biru pada sebuah cincin yang telah saya beli. Saya membeli sebuah cincin akik!
Terus berjalan dari sisi barat memutar menuju timur. Keramaian pasar semakin meluber. Pada sisi ini, mustahil kendaraan bisa melintas.
Pasar memang selalu menjadi pusat keramaian. Aktivitas ekonomi yang terbalut dalam interaksi sosial dan budaya dari pelaku-pelakunya. Tidak ada legalitas sosial antara kaya dan miskin. Semua berbaur dalam salah satu pilar Catur Gatra Tunggal.
Di Kuthagedhé —dalam bahasa Jawa kota itu disebut—, ihwal dan peradaban silih berganti.
Di Alas Mentaok, pada abad XVI Kerajaan Mataram Kuno telah runtuh. Yang tersisa dari peradaban Hindu itu hanyalah dongeng yang tak lekang oleh jaman. Hutan itu adalah hadiah Kesultanan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan karena berhasil membunuh Ario Panangsang, musuh kerajaan. Di tangannya, bekas singgasana Hindu itu menjadi sebuah desa kecil yang kemudian mulai berganti dengan kekuasaan Islam, berabad silam.
Saya memutari pasar dari sisi timur kembali menuju barat, lalu terus berjalan ke selatan. Menyusuri kios-kios pengrajin perak dan toko kelontong, sorak-sorai pedagang masih mengalun lembut di udara dan kemudian hilang ketika saya berbelok ke barat, memasuki Kawasan Ndodongan.
Di dalam Kawasan Ndodongan, ada tiga komplek bangunan: Masjid Gede Mataram, Pasareyan Raja, dan Sendang Seliran.
Pasar tidak berdiri sendirian. Panembahan Senopati, anak Ki Ageng, dalam kekuasaannya mendirikan langgar yang berjarak seratus meter di barat daya pasar. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan oleh Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati. Oleh Sultan Agung, bangunan inti masjid dilengkapi dengan serambi, kuncungan, jagang, dan pagar batu bata. Pagar dengan gapura paduraksa yang berlekuk-lekuk ramping seperti tubuh seorang dewi, menjulang ke atas, simbol mitologi. Peradaban baru itu kemudian menjadi besar, mempersatukan sebagian besar tanah Jawa dan Madura.
Melewati paduraksa, saya masuk ke dalam lorong ruang dan waktu abad XVII, ketika Sultan Agung membangun pagar batu bata berciri khas arsitektur Hindu itu. Warga Alas Mentaok yang masih beragama Hindu dan Buddha bergotong-royong menyusun satu demi satu batu bata merah yang direkat dengan air aren, disusun seperti rupa candi.
Setelah melewati paduraksa, berbelok ke kanan pada dinding kelir, saya sampai di komplek masjid. Menebar pandang secara perlahan pada halaman, pada paduraksa dan pagar batu bata, pada tugu jam yang dibangun oleh Paku Buwono X, pada pohon-pohon sawo kecik nan rindang dengan suara desik dahan tertiup angin, pada bangunan masjid. Seorang bapak tua sedang menyapu halaman.
Dari hadapan paduraksa di sisi timur komplek, saya berjalan sedikit ke sisi utara. Meraba lembut batu bata merah yang menjulang ke atas setinggi dua setengah meter, mengelilingi sejenak lalu berjalan menuju pagar putih masjid.
Masuk ke area masjid, melalui area kuncungan hijau tua seperti warna khas Yogyakarta, dengan ornamen keemasan kaligrafi, melewati jagang, kolam sebagai batas suci, yang berada di bawahnya. Jagang itu dulunya adalah parit yang mengelilingi bangunan masjid sebagai tempat aliran air wudhu. Kali ini, ada tiga ekor ikan tampak berenang di dalam jagang.
Jagang bersilih dengan bagian serambi. Saya duduk di dalam serambi, mengamati eloknya bangunan ini. Delapan saka guru berdiri gagah, memegang kendali pada balok-balok di atasnya. Saka guru itu tertopang pada umpak batu padas berwarna hitam. Ada pula ornamen kuningan pada kaki masing-masing tiang, seperti mengenakan binggel.
Delapan saka guru itu diikat oleh dua balok dengan besar yang sama. Mereka saling tumpu. Usuk dan reng tak mau kalah berpautan di atasnya, membentuk rangka-rangka atap limasan. Ada pula kayu yang diukir kaligrafi. Lima pintu kayu yang tak kalah menawan berjajar pada dinding putih bangunan induk masjid. Bagian tengah ukurannya lebih besar dari pada lainnya.
Angin berhembus silir-semilir. Mengibarkan malai rambut pada wajah. Teduh sekali tempat ini, gumam dalam hati. Si bapak masih asyik menyapu halaman. Saya beranjak menuju bagian dalam masjid. Berdiri pada bagian belakang pawestren, mengamati dengan diam. Bagian dalam bangunan utama masjid tak kalah anggunnya dengan serambi. Malah lebih menawan. Empat saka guru yang lebih besar dari yang pertama berdiri gagah perkasa menggurui lainnya, seolah ingin menghidupi makhluk lain yang berada di bawahnya. Pada bagian tengah sisi barat, terdapat mihrab kayu dengan semarak ukiran, hadiah dari Adipati Palembang kepada Sultan Agung. Saya mengamati satu per satu bagian dengan seksama, bangunan cantik ini adalah mutiara Yogyakarta.
Selesai pada bangunan masjid, saya beranjak keluar menuju halaman. Sepintas saya melihat bapak tua sedang duduk di depan pagar putih masjid. Mengamati gesturnya dalam diam, tubuhnya mungkin renta, tetapi tekadnya perkasa. Di matanya tampak kecintaan pada tanah kelahirannya, pada halaman yang ia sapu tiap hari.
“Mlebu nang kana, nang sendang,”¹ ucapnya lantang dengan bahasa Jawa seraya menunjuk pada paduraksa lain di sisi selatan. Saya berjalan menghampiri dan membalas ucapannya dengan bahasa Jawa yang terbatas, “Saget mlebu, njih, Pak?”²
Bapak tua itu kembali menjawab, “Saget. Nek makame mboten saget, nang halamane wae.”³
“Njih, Pak. Suwun.”⁴ jawab saya kemudian.
Mengikuti anjuran bapak tua untuk masuk menuju sendang. Melewati paduraksa kedua di sisi selatan ada taman yang cantik dengan dua bangunan rumah tradisional Jawa di sisi timur laut dan selatan. Cicitcuit burung terdengar riuh. Tentram rasanya.
***
Tempat ini bagaikan labirin. Labirin batu padas dan bata. Labirin dengan taman indah dan cicitcuit burung. Labirin dengan eloknya paduraksa dengan daun pintu kayu yang tak kalah memesona.
Paduraksa ketiga ini tampak lebih megah dari lainnya. Bukan tanpa alasan, karena kali ini saya sudah masuk ke dalam halaman depan Pasareyan Raja. Ya, halaman saja.
Pada halaman ini, ada dua bangunan rumah tradisional Jawa dan dua bangsal. Dua bangunan pertama sebagai rumah tinggal dan tempat mengurus administrasi dan dua bangsal terakhir sebagai tempat istirahat para peziarah yang datang. Di sisi paling barat setelah dua bangsal, ada paduraksa putih tinggi dengan daun pintu kayu besar. Pintu tertutup. Itulah pintu masuk ke Pasareyan Raja. Sesajen ada di setiap sudut. Pohon-pohon besar berdiri menghalau panas. Halaman kali ini dijaga oleh tiga abdi dalem dengan. Saya melepas pandang pada halaman ini, lagi-lagi seperti masuk ke dalam lorong waktu berabad silam, seperti set sebuah film kolosal!
“Monggo, Mbak. Silakan isi buku tamunya,” sapa ramah salah satu abdi dalem. Saya berjalan menghampiri bangunan di sisi selatan. Mengisi buku tamu dan memasukkan sejumlah uang untuk dana pemeliharaan.
Matahari semakin menyengat sinarnya. Saya memutar pandangan pada halaman yang sangat kental akan akuturasi budaya.
Berada di dalam Sendang Seliran, lagi-lagi saya kembali masuk ke dalam abad XVI, ketika putri dan dayang-dayang mandi di Sendang Putri dan para pangeran di Sendang Kakung. Mereka berkecipak bermain air yang keluar dari dalam sumbernya. Cipak air yang disertai derai tawa dan senda gurau. Suara-suara yang kemudian berbaur di udara. Tetapi kini, sendang itu adalah rumah bagi ikan-ikan yang sengaja dipelihara. Ikannya besar-besar. Ada ikan lele yang besarnya melebihi paha saya!
***
Duduk di dalam bangsal, dinaungi pohon-pohon besar dengan semilir angin yang memburai helai rambut, berpijak pada tanah Yogyakarta dengan seribu satu catatan sejarah. Menemukan surga yang tersembunyi di sudut imur Kota Yogyakarta.
Surga di sini bukanlah putihnya pasir pantai Wonosari dengan ombak yang mengulun indah, bukan hamparan bukit hijau Pegunugan Menoreh, tetapi surga di sini adalah pasar tertua Yogyakarta yang dibangun pada abad enam belas, adalah masjid dengan struktur kayu jati yang dibawa langsung dari Blora, adalah dinding-dinding batu bata merah tua nan perkasa. Lingga peradaban yang menjadi legalitas Yogyakarta sebagai kota pusaka. Surga dalam satu fragmen sejarah Indonesia.
Jangan ragu untuk berkenalan dan becakap dengan surga sejarah itu. Singgahlah sejenak ke Kotagede pada pasaran Legi. Kalian bisa berwisata mengunjungi surga sejarah tersembunyi di bekas ibukota Negara Indonesia ini. Datanglah pada pagi hari, selain sinar matahari masih hangat, lupis dan cenil dengan guyuran kuah legit gula jawa, yang dijual oleh seorang nenek di depan pintu masuk pasar masih tersedia. Boleh juga kalau ingin membeli batu akik seperti saya.
Karena bagi saya, berjalan pada gang-gang kecil dengan suasana perkampungan jaman dulu dan berujar, “Nderek langkung,”⁵, tersenyum sembari menganggukkan kepala sedikit kepada warga sekitar yang bercengekarama di depan rumah, bisa menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Barangkali juga bisa berfoto bersama.
***
Sementara, Kuthagedhé adalah rahim. Tempat benih bernama Yogyakarta lahir dan berkembang, alas pertama.
***
¹ “Masuk ke sana, ke sendang.”
² “Bisa masuk, ya, Pak?”
³ “Bisa. Kalau makamnya tidak bisa, hanya di halaman saja.”
⁴ “Baik, Pak. Terima kasih.”
⁵ “Numpang lewat,”