Alangkah sederhanya mencintai negeri ini, hanya memandang segalanya dari dekat. Alangkah mudahnya mencintai para pahlawan negeri ini, hanya datang dan masuk ke rumah-rumah dan membaca kisahnya.
***
Ojek daring yang saya tumpangi masuk ke sebuah gang kecil dengan jalanan mortar cetak yang ramah, di tengah Kota Surabaya. Pak pengemudi hafal betul ketika harus belok kanan atau kiri. Sepertinya ia sudah pernah ke sini, mengantarkan penumpang lain. Di Surabaya yang terik, saya akan menceritakan kepada kau tentang rasa jatuh cinta untuk pertama kali kepada rumah ini dan segala yang ada di dalamnya.
“Kulo nuwun,” ucap saya di depan pintu masuk. “Monggo,” terdengar sahutan dari dalam rumah mempersilakan masuk. Seorang lelaki kecil keluar dari salah satu ruangan, ia tersenyum. “(Museum) Buka ‘kan, Mas?” saya bertanya sambil menanggalkan alas kaki di pintu masuk. “Buka, Mbak. Silakan masuk.” jawaban paling ramah dari seorang penjaga museum.
Rumah ini berada di Jl. Mangga No. 21, Tambaksari, Kota Surabaya. Letaknya di dalam permukiman penduduk yang asri, tanpa pagar. Tanpa ada tanda jeda, membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapa saja yang ingin singgah. Mungil, berdinding putih dengan kusen-kusen kayu kuning muda. Merah Putih berkibar di taman depan yang juga mungil. Patung sang pahlawan berdiri pada sisi kanan, elok dengan biola kesayangannya. Rumah milik kakak tertua pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Rumah W.R. Soepratman.
“Dari mana, Mbak? Kok sendirian saja.” tanya mas penjaga dengan suara medhok Jawa. “Dari Yogya, Mas. Sebetulnya saya berdua dengan teman, tapi dia belum sampai. Semoga ndak nyasar.” jawab saya lembut berusaha menyamakan tekanan suara mas penjaga yang sangat lembut. Lagu-lagu nasional yang diputar mengiring saya mulai membaca Pak Wage.
Semua yang ada di rumah ini terasa lembut, tidak berlebih, bukan seperti bangunan museum yang biasanya megah tak terkira. Ia sederhana nan bersih. Lantainya bukan pualam. Hanya tégel abu-abu berukuran duapuluh kali duapuluh sentimeter yang terasa lembut di kaki, pertanda rajin dibersihkan. Dinding dalamnya masih putih dengan kusen-kusen kuning muda. Sejuk dipandang mata, seperti angin yang berembus melupakan segala terik Pantura yang menyengat. Keringat yang sedari tadi mengucur, mengering tiba-tiba.
“Jadi ini adalah rumah Pak Wage di hari-hari terakhir beliau hidup, Mbak.” mas penjaga memulai bercerita tentang kisah rumah ini. Di ruang tamu, terpajang pada dinding foto-foto dalam bingkai, perjalanan di awal hidupnya. Dalam semilir angin yang masih sepoi, saya membaca perlahan kisah hidup sang pahlawan.
Wage Soepratman. Ia lahir pada tahun 1903, satu tahun sebelum meninggalnya Ibu Kartini, di suatu dusun di Purworejo. Lahir dari rahim Sitti Senen dan memiliki ayah seorang tentara KNIL, Djoemeno Senen. Bersama suaminya, Willem van Eldik alias Sastro Suharjo yang seorang anggota marching band Belanda, Roekijem, kakak tertua, memperkenalkan dunia musik kepada Pak Wage. Nama Rudolf disematkan oleh Willem van Eldik padanya agar bisa bersekolah musik di Makasar. Pratman adalah adik yang dikasihi sehabis-habisnya, yang dianggap seperti anak sendiri. Di sinilah rasa cinta di hati saya kepada sang pahlawan mulai tumbuh.
Di sudut ruangan, patung Pak Wage dengan duplikat baju lengkap dengan kopiah, kacamata yang tergantung pada saku depan, lengkap dengan sepatu, dipajang di dalam kotak kaca. “Jadi, ini pakaian yang dikenakan Pak Wage ketika Sumpah Pemuda, Mas?” saya antusias. “Iya, Mbak. Benar.” jawab mas penjaga masih ramah. Saya melihat secara seksama patung Pak Wage itu, pada bajunya, pada kacamatanya, sepatunya. Pasti gagah sekali, saya bergumam dalam hati membayangkan sang pahlawan.
Dari ruang tamu, saya masuk ke dalam kamar pertama di sisi kanan. Bulan sudah datang. Di kamar yang tidak kalah mungil ini, pada dindingnya pun dipajang cerita pada bingkai-bingkai kaca. Selain kecintaannya pada musik, Pak Wage ternyata gemar menulis. Ia beberapa kali menjadi anggota surat kabar, seperti: Kaum Muda, Alpena, dan Sin Po. Yang terakhir adalah tempat ia mengenal pejuang lain dan terlibat aktif dalam pergerakan nasional.
Masih di kamar dengan lantai yang sama, tégel abu-abu yang menyisakan banyak memori, terdapat satu dipan kayu tanpa kasur dan dua kursi kayu. “Pak Wage meninggal di kamar ini, Mbak.” ucap mas penjaga dengan sendu. Saya melihat sekitar yang kecil ini dengan desiran masygul di dada. Kamar persembunyian Pratman dari buruan Belanda yang membenci karya-karyanya.
Kamar ini menjadi saksi bisu sakit yang diderita. “Pak Wage sakit apa, Mas?” tanya saya penasaran. “Penyakit dalam, paru-paru. Mungkin ketika di penjara disiksa Belanda.” Jawabnya lirih. Darah saya semakin mendesir. Angin yang dari tadi sepoi seolah lunglai tak berdaya memberi kesejukkan. Pak Wage menderita. Saya seperti merasakan derita itu, rasa sakitnya yang hanya dipahami oleh benda mati, oleh dipan di kamar putih.
Saya keluar ruangan dengan nelangsa, masuk ke ruangan lain. Anak-anak kecil setempat datang beramai. Berlari kecil menuju taman belakang, bermain dan berfoto. Mereka dibiarkan melakukan sekehendak hati, seolah hal seperti ini sudah biasa terjadi tanpa menganggu kami. Rumah ini menyuguhkan kesenangan di balik cerita pilu sang pahlawan.
Di ruangan kedua ini, terdapat duplikat biola Pak Wage. Biola yang mengantarkan Indonesia Raya diperdengarkan pertama kali kepada umum pada Kongres Pemuda II 1928 silam itu, dipajang di dalam kotak kaca. Biola yang dibuat mengawali abad duapuluh.
“Loh, kok lagunya dimatikan, Mas?” protes Bulan ketika tiba-tiba mas penjaga mematikan alat pemutar lagu. “Oh, takutnya menganggu.” jawab mas penjaga salah terka. “Tidak mengganggu. Malah semakin membawa rasa nasionalisme.” celoteh Bulan kemudian. Kami semua tertawa. Benar yang dikatakan Bulan, lagu-lagu yang diputar membuat suasana lebih nasionalis.
Saya melanjutkan membaca cerita yang pada dinding putih dengan kusen kayu kuning muda, menapak pada ubin yang sejuk dipijak itu. Cerita yang tak kalah pilu. Perburuan demi perburuan mengarungi hidup Pak Wage. Tulisannya yang menyudutkan Belanda serta lagu Indonesia Raya yang sering diperdengarkan dalam banyak kongres. Lagu yang selalu menghadirkan keinginan merdeka yang menggebu dari dada para pemuda.
Mas penjaga menjelaskan bahwa setelah memimpin paduan suara yang disiarkan di RRI jaman dulu, Pak Wage ditangkap Belanda dan dipenjara di Kalisosok. Di penjara, karena sakit-sakitan, beliau dipulangkan ke rumah ini, lalu meniggal.
“Hidup Pak Wage sangat sulit, Mbak. Beliau dimiskinkan Belanda. Ia pun tidak menikah.” ucap mas penjaga. Lagu Ibu Kita Kartini berkumandang merdu. Lagu yang juga diciptakan atas rasa kagum Soepratman pada sosok perempuan yang dipuja-puja pada setiap lirik yang ia tulis. Anak-anak masih asyik di halaman belakang rumah, berfoto dan bermain dengan lincah. Ia melanjutkan, “Pak Wage punya dua kemenakan sebagai ahli waris,” mas penjaga terus bercerita seraya menunjukkan silsilah keluarga yang terpasang pada sisi dinding menuju halaman belakang.
Kesedihan saya kali ini tidak bisa dibendung. Pahlawan itu sendirian. Ah, Pak Wage yang malang. Hidupmu tidak seindah namamu, tidak semenawan tulisanmu, tidak semerdu lagumu. Belanda tidak suka pada kata “merdeka” di lagu ciptaanmu, pada semangat menggebu dari para pemuda karena lagumu. Belanda tidak suka pada tulisanmu, pada apapun yang kau buat. Menusuk.
Hidupmu diluntang-lantungkan penjajah, dibuat pilu. Dari Purworejo kau mengelana ke Makasar. Di Makasar kau dibuang. Kau pergi ke Jakarta, pun juga diburu. Ke Surabaya kau mengenal banyak pahlawan lain negeri ini, berjuang mewujudkan kemerdekaan. Tapi kau ditangkap. Dipenjara, disiksa sampai akhirnya kau kembali ke rumah ini, rumah dengan ubin abu-abu, rumah dengan taman depan yang mungil, rumah dengan halaman belakang yang menenteramkan hati, hanya untuk mati. Sendiri.
Tapi kau benar pahlawan, hidup dalam perburuan itu tidak menyulutkan kecintaanmu pada Indonesia.
“Nasibku sudah begini, inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka.” (W.R. Soepratman)
Tujuh tahun berselang semenjak meninggalnya Pak Wage, Indonesia merdeka. Lagu yang diciptakan dengan perjuangan itu menjadi pengiring ketika Sang Saka Merah Putih berkibar, 17 Agustus 1945. Pak Wage tak pernah menyaksikan lagu ciptaannya itu mengiringi Indonesia merdeka. Doa dan cita pada lagu Indonesia Raya, terwujud setelah beliau mangkat. Namun saat ini, ia berhasil membuat bangga dan haru ketika lagu itu selalu berkumandang di setiap pelosok negeri. Pak Wage, pecipta Indonesia Raya.
***
“Makamnya di Kenjeran, Mbak. Satu kilometer dari sini. Bisa naik ojek online lagi.” mas penjaga memberi tahu kami makam Pak Wage. Ia melanjutkan, “Nanti langsung masuk saja. Rumah kuncennya di pojok kanan belakang. Kalau nanti ditanya, bilang kalau habis dari sini.”
Saya duduk di taman depan, duduk di samping patung besar di depan rumah, melihat pada ujung atas patung, bergumam dalam hati, “Sebelumnya saya tidak begitu mengenalmu, Pahlawanku, sampai pada hari ini. Saya jatuh cinta padamu. Pada rumah ini beserta segala yang ada di dalamnya. Pada cerita yang akan dikenang. Terima kasih, Pak Wage.”
***
Indonesia Raya adalah doa dan cita yang tersemat pada tiap stanza. Doa dan cita yang ditulis dengan segenap rasa cinta pada negerinya. Suburlah tanahnya, majulah negrinya, merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.¹
***
¹. Lirik lagu Indonesia Raya.
keren deh Wid tulisanmu…runtut bgt jd bs ngerti sejarahnya pak WR Supratman, Surabaya tnyata asik juga ya buat jalan2x wisata sejarah…keep writing Wid keren bgt deh!!!
Thank you, Bima! Surabaya bagus! Kamu harus eksplore.
Semoga kita bisa jadi penerus bangsa dan tidak membuat pejuang yang berjuang sebelum kita kecewa
Amin!