Tarikh 2 Desember 2019.
Pagi masih dini bagi saya. Yogyakarta, jam tujuh pagi, ketika saya meluncurkan sepeda motor menuju Koperasi Mahasiswa Universitas Gajah Mada (Kopma UGM), tempat yang sudah disepakati bersama teman-teman Relawan Lindungi Hutan Yogyakarta, berjanji bertemu. Kemudian, kami akan bergegas menuju Kaliadem, tempat pohon-pohon adopsi yang ditanam pada Hari Bumi lalu.
Saya, bersama Hanif, Deni, Sekar, dan Hilmy, lepas sarapan di Kopma UGM, menyusuri Jalan Kaliurang menuju utara. Ketika tiba di Kilometer 14, kami berbelok ke arah timur, menuju Jalan Pamungkas lalu terus melaju ke utara, dan kemudian berhenti di kawasan wisata Kaliadem, tempat jip-jip lalu lalang menebar debu.
Kegiatan kecil ini diinisiasi oleh Hanif. Dalam pertemuan dua malam sebelumnya di Djeladjah Coffee, Hanif berkeluh kesah. Ia merasa memiliki tanggung jawab atas pohon-pohon adopsi, memeriksa apakah masih hidup atau tidak.
Dari pemeriksaan itu, nantinya akan direncanakan langkah-langkah lanjutan; apakah perlu membuat sistem pengairan sederhana selama musim kemarau, atau melakukan penyulaman pohon-pohon yang mati, atau apapun. Maka ia mengajak teman-teman Relawan Lindungi Hutan Yogyakarta, yang menginisiasi Aksi Tanam Pohon di Hari Bumi, 21 April 2019, untuk memeriksa pohon-pohon yang telah ditanam.
Pada malam di Djeladjah itu, saya sempat memberi ide untuk memberi identifikasi di tiap pohon berupa papan yang telah diberi nama jenis pohon. Kegiatan itu juga sebagai bentuk pengarsipan.
Saya juga menceritakan kepada mereka tentang pengalaman ketika diajak salah satu sahabat, Ika, bersama suaminya Mas Rey, mengunjungi kebun kopi Kang Dudu di Desa Tunggilis, Jawa Barat. Kang Dudu bercerita bahwa tanaman kopi yang berusia di bawah dua tahun, masih perlu perawatan ekstra, pun belum mampu menghasilkan ceri yang banyak.
“Jadi Kang Dudu pakai botol air kemasan bekas yang dipotong bagian bawahnya, dan dilubangi beberapa titik di tutupnya. Botol-botol itu kemudian dipasang secara terbalik dan diikat di batang pohon penyangga kopi, untuk mengairi pohon kopi. Barangkali hal itu bisa kita lakukan selagi menunggu musim hujan tiba,” cerita saya berbagi informasi.
Seperti kopi, pohon-pohon yang masuk dalam kategori tanaman besar, masih memerlukan perawatan rutin, setidaknya sampai berusia lima tahun, usia ringkih sebuah pohon. Ia seperti bayi yang memerlukan perhatian lebih, terlebih oleh yang menanamnya. Ia perlu makan dan minum karena dirinya belum mampu untuk mencari sendiri. Ia belum bisa berdiri sendiri. Ajir harus senantiasa mendampingi agar ia bisa tegak berdiri. Jika tidak, ia yang semula hijau, bisa menjadi cokelat, kering, lalu mati secara dini.
Memang, saya tidak ambil bagian dalam penanaman serentak pada Hari Bumi lalu, tapi ada rasa yang entah apa, datang menyentuh hati untuk ikut merawat pohon-pohon adopsi itu. Maka di sinilah saya, bersama empat teman lain berada, di tempat bayi-bayi itu hidup di sebuah kaki gunung yang saya cintai.
Dengan peralatan sederhana, kami membagi diri menjadi dua bagian sesuai dengan area penanaman. Kali ini saya ditemani Hilmy, yang kebetulan, mengikuti aksi tanam pohon dan mengetahui posisi pohon-pohon itu ditanam. Kami-saya dan Hilmy-menyusuri area sisi barat menuju selatan, di samping jurang kali lahar. Sementara Hanif, dan Sekar, menyusuri area timur juga menuju selatan. Deni akan berkeliling dari barat ke timur, mendokumentasikan kegiatan kami. Akhfa menyusul kemudian, bergabung bersama kelompok Hanif.
Kegiatan kami ini hanya untuk memeriksa pohon-pohon adopsi; membangkitkan yang jatuh, memberi mereka makan dan minum, serta mengajak bicara bayi-bayi itu, hiduplah, tumbuhlah, rimbunlah.
Kami juga menghitung jumlah pohon yang tersisa seraya mengetahui jenis tanaman apa yang sanggup bertahan. Hasilnya, setelah jeda delapan bulan dari penanaman, rata-rata dari mereka yang hidup adalah pohon bungur, tumbuh tidak lebih setinggi 50 cm, dengan total 43 pohon dari 200 bibit pohon yang tertanam pada aksi itu. Perbandingan yang jauh, bukan? Tak mengapa. Ini masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Sementara, pupuknya dibeli oleh Deni. Pupuk organik, katanya.
“Coba cium, Mbak,” ucap Deni lepas kegiatan. Saya membuka tutup botol dan perlahan mendekatkan mulut botol itu ke hidung. Baunya menyengat, membuat sakit saraf-saraf indera penciuman jika terlalu dekat.
“(Pupuk) Ini kamu yang bikin, Den?” tanya saya.
“Beli, Mbak,” jawab Deni.
“Bahannya dari apa?” saya kembali bertanya.
“Dari daging ikan lele yang dihancurkan, dicampur tetes tebu, lalu difermentasi selama tujuh hari,” Deni menjelaskan.
Di bawah pohon dadap tinggi, di atas rerumputan, kami duduk melingkar. Seorang ibu lewat. Di punggungnya, tumpukan rumput-rumput terikat dengan kain. Langit tanpa awan, tapi Gunung Merapi berkabut. Seekor elang jawa terbang di atas kami. Kehadirannya seolah memberi restu harapan-harapan hening kami, atas pohon-pohon adopsi yang semoga semakin besar dan terus membesar.
Dari area penanaman, kami beranjak menuju satu warung. Beristirahat sejenak sebelum kembali turun sembari berbincang tentang rencana-rencana selanjutnya.
Jika nantinya ada kegiatan penanaman kembali, jenis pohon yang ditanam lebih bervariasi. Tanaman-tanaman produksi bisa menjadi pilihan. Tanaman buah atau kopi misalnya. Toh, lokasi yang berada di lereng gunung sudah mencapai syarat ketinggian untuk penanaman kopi. Seturut berjalannya waktu program tersebut, bisa mengajak warga desa setempat untuk ikut merawat calon hutan ini, nantinya. Warga pun boleh memanen kala waktu tiba, itu milik mereka, dengan harapan bisa menjadi pintu lain untuk ladang ekonomi.
Barangkali ide kali ini memerlukan usaha yang lebih giat. Saya menyadari, tidak mudah menggerakkan suatu komunitas masyarakat. Perlu pendekatan yang liat. Masyarakat perlu menyaksikan hasil kerja kami terlebih dahulu, melihat ladang yang semula dipenuhi ilalang telah tumbuh tanaman-tanaman kopi remaja atau buah-buah yang siap dipanen. Saya berharap sekali hal itu bisa dilakukan. Semoga. Kelak.
Saya teringat kembali kala waktu mengunjungi Sarongge, sebuah desa di kaki Gunung Gede, Jawa Barat, masih bersama Ika dan Mas Rey. Seturut yang diceritakan Ika, warga Sarongge adalah masyarakat yang bersedia turun gunung, berpindah ladang, karena area lahan garapan tersebut berubah status menjadi taman nasional. Ladang itu akan dihutankan kembali.
Ini bukan perihal yang mudah dilakukan. Ada yang hilang. Lalu, ada yang tumbuh baru. Mereka mengubah pola hidup. Dalam kurun waktu yang tidak sebentar, dengan gigih, warga Sarongge membuat program wisata berbasis masyarakat, mengajak pengunjung untuk ikut bertani, beternak, bahkan mengadopsi pohon, mengajak adopter berjalan kaki menyusuri desa menuju bekas ladang sayur tadi, lalu menanam sendiri anaknya itu. Rezeki baru untuk warga Sarongge.
Di tengah gelas-gelas kopi merapi, kami sepakat kegiatan ini harus kerap dilakukan. Bertanggung jawab atas kehidupan yang telah diciptakan. Merawat sesuatu yang telah dibuat, kadang kala menjadi lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan yang pertama. Tumbuhan yang telah ada dijaga agar mereka berkembang, lalu ketika besar, ketika mereka sudah mampu menghidupi dirinya sendiri, kita bergeser, menanam bibit-bibit baru.
Ya, semestinya begitu.
Iklim telanjur berubah. Tugas manusia kemudian adalah memperbaharui perubahan itu untuk kembali hijau, kembali biru.
Satu elang jawa muncul lagi. Barangkali ia adalah burung yang pertama tadi, barangkali pasangannya. Ini adalah yang kesekian kali saya melihat sang garuda. Mungkin saja, ia hadir untuk menerbangkan harapan yang kami deraskan secara sederhana.
***
Baca juga: Janji Merapi Pada Sebuah Labuhan