Perjalanan Menuju Dunia Tanpa Oksigen di Wot Batu

Mengapa batu?

Karena sebuah peradaban berawal dari batu dan akan begitu pulalah ia akan berakhir.

***

Wot Batu, sebenarnya tidak masuk dalam rencana perjalanan Bandung kami—saya dan Bulan. Saya menemukannya di mesih pencari daring, ketika kami bingung hendak ke mana lagi setelah dari Tahura.

“Dekat kok. Enggak sampai 1km,” ucap saya kepada Bulan. Maka bergegaslah kami menuju Wot Batu dengan sepeda motor sewaan.

Ihwal cerita mengenai Wot Batu:

Ini adalah sebuah karya dari perjalanan spiritual Sunaryo sebagai seniman. Pada mulanya ia kumpulkan beberapa jenis material alam seperti batu, semen, minyak, dan lainnya. Sang seniman kemudian berpikir, manakah dari material-material tersebut yang mampu merepresentasikan perjalanan spiritualnya. Hingga akhirnya ia memilih batu. read more

Di Tahura, Janganlah Kau Takut Untuk Berjalan Meski Sendirian

Don’t you know it’s alright to be alone? You can make it on your own. (Candy by Ash)

***

Ini adalah kali ketiga saya dan Bulan melakukan perjalanan. Setelah berhasil mendaki Rinjani dan dilanjutkan menyeberang ke Sumbawa dua tahun lalu, tahun berikutnya Bulan bertanya kepada saya, “Tahun ini kita mendaki ke mana, Wid?”

“Gue belum pernah ke Bromo sih,” jawab saya kemudian.

Alhasil, tahun lalu kami melakukan trip Bromo – Surabaya – Madura.

Tahun ini, sebenarnya saya tidak berencana untuk berpergian. Saya punya keinginan membeli laptop baru, untuk menunjang pekerjaan saya yang semakin berat. Saya pikir, menjadi gila untuk sementara waktu karena tak bepergian tidak akan menjadi masalah buat saya. Saya merasa mampu untuk menahan hasrat itu, pikir saya. read more

Perempuan dan Banyolan Laki-laki

Apa orang mengira dunia hanya milik lelaki? (Pramoedya Ananta Toer, 2006:435)

***

Tulisan ini akan saya mulai dengan cerita sebuah pengalaman pribadi yang dialami ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Suatu sore, ketika saya sedang bersepeda sendirian untuk membeli peralatan sekolah di toko dekat rumah, seorang laki-laki yang berjalan berlawanan arah, tiba-tiba menyentuh punggung lalu memegang, menekan, dan meremas payudara kanan saya. Ia kemudian berlari secepat kilat, menjauh. Seketika saya hanya berhenti, diam, tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu apa maksud kejadian yang baru saja menimpa. Saya hanya menoleh ke belakang, melihat lelaki itu berlari mundur sambil tertawa menghadap ke arah saya. read more

Kelegaan yang Diberikan Tuhan Itu Bernama Semeru

Tempat ini adalah saksi bisu orang-orang bergelut dengan batinnya sendiri. Berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Tempat ini juga sebagai tempat rebah bagi mereka yang telah pulang dari berjuang, di balik tenda-tenda.

Kalimati yang semula ramai, beranjak sepi. Seekor Elang jawa terbang rendah di atas Kalimati. Beberapa kelompok pendaki mulai mengemas tenda dan peralatan masing-masing untuk melanjutkan perjalanan turun kembali ke Ranu Kumbolo. Kami masih bercakap di depan tenda, bersama beberapa pendaki lain, sembari menghabiskan semua makanan yang Tukul buat. Seperti mengamuk, ia memasak semua bekal makanan. Ia juga membagikan sayuran yang tidak termasak kepada pendaki lain. “Biar enteng!” katanya merujuk pada tas carrier-nya yang seberat kulkas. Kalimati yang hangat. read more

Melawan Keangkuhan di Puncak Abadi Para Dewa

Di antara kapas-kapas putih bergelantungan pada buaian biru angkasa, ada bola api yang mengintip dengan jarak lima ratus milyar kaki dari Bumi, yang dipandangi dari tebing jurang yang curam. Ini momen hening, hanya saya dan ruang waktu.

***

Hari belum benar-benar berganti. Masih malam sebelas derajat yang sama. Saya akhirnya memutuskan untuk benar-benar bangun dari tidur, duduk di dalam tenda. Sedikit kesal, karena tidak bisa tidur, entah gugup atau tidak terbiasa tidur sore. Padahal seharusnya saya tidur, memulihkan tenaga untuk summit. Bahkan setelah Tukul membuatkan susu jahe hangat pun tidak mempan. Jam sebelastigapuluh malam, persiapan menuju Mahameru. read more

Mengukir Cinta Menuju Kalimati

Di sini, saya melihat bagaimana manusia menjadi manusia. Saling berbicang, membagi dan dibagi, menikmati alam dan menjaga agar tetap lestari, serta tidak lupa melantunkan puji untuk Sang Ilahi. Kalimati.

***

Pagi di Ranu Kumbolo. Mata saya terbuka oleh riuh sederhana suara manusia. Bayangan orang lalu lalang tampak samar dari dalam tenda. Saya melihat ke arah pintu tenda, tampaknya pagi belum begitu menyerngitkan panasnya. Seketika saya bangun lalu membuka pintu tenda tadi, udara dingin gunung saya hirup secara dalam, membasahi segala kekeringan dalam tubuh. Kata orang, momen Matahari terbit di Ranu Kumbolo adalah salah satu yang terbaik. Jelas, saya tidak mau melewatkan itu. read more

Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo

Tidak perlu nama untuk sekedar berbagi. Datang dari berbagai negeri, duduk mengelilingi api unggun, berbagi cerita dan tawa tanpa syarat. Di depan sana, danau yang senantiasa berselimut kabut, Ranu Kumbolo, menemani kami di malam penuh bintang.

***

Warung masih kosong, pintu belum sepenuhnya terbuka, hanya satu daun. Kami—saya, tante saya Murni, beserta guide dan seorang kru dari Dome Explorers, Angga dan Tukul— duduk di kursi meja depan dapur, biar hangat dekat kompor. Pagi baru saja jadi, tetapi Matahari sudah memancar puas. Sinarnya memantul keras, memberi halo-halo pada kaca jendela. Kami memesan beberapa menu untuk sarapan. Tujuhbelas derajat selsius di Warung Bagus, Ranu Pani. read more

Jatuh Cinta Pada Rumah W.R. Soepratman

Alangkah sederhanya mencintai negeri ini, hanya memandang segalanya dari dekat. Alangkah mudahnya mencintai para pahlawan negeri ini, hanya datang dan masuk ke rumah-rumah dan membaca kisahnya.

***

Ojek daring yang saya tumpangi masuk ke sebuah gang kecil dengan jalanan mortar cetak yang ramah, di tengah Kota Surabaya. Pak pengemudi hafal betul ketika harus belok kanan atau kiri. Sepertinya ia sudah pernah ke sini, mengantarkan penumpang lain. Di Surabaya yang terik, saya akan menceritakan kepada kau tentang rasa jatuh cinta untuk pertama kali kepada rumah ini dan segala yang ada di dalamnya. read more

Sembuh Sekali Lagi di Gunung Gede

“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”

—Pramoedya Ananta Toer—

***

Ini hari Minggu. Mentari malu-malu menyibakkan malai-malai edelweiss yang bergerak menari, membentuk bayang-bayang di balik tenda. Suara orang berbincang sederhana di luar, berusaha mencari kehangatan dari kopi pagi hari. Di dalam kantung tidur, saya sekuat tenaga meluruskan kaki yang linu luar biasa. Meregangkan otot-otot yang sejak kemarin bekerja keras. Masih di Surya Kencana, di awal Juli. read more

Bunga Senduro di Surya Kencana

Take nothing but picture.

Leave nothing but foot print.

Kill nothing but time.

-Baltimore Grotto Org.-

Kata orang, Surya Kencana dan Mandalawangi adalah rumah terakhir untuk senduro. Di Bromo, bunga itu sudah punah. Habis dimakan oleh tangan-tangan jahil manusia yang memetik dan menaruhnya di pot dan diletakkan pada sudut rumah. Ia juga pernah menjadi pengganti mawar sebagai lambang keabadian cinta. Rumahmu bukan rumahnya. Maka, jangan pernah memetik senduro. Biarkan ia mekar abadi di rumahnya sendiri, di Surya Kencana. read more