Sebelum mulai, silakan baca tulisan tentang 30 Jam di Atas Laut Jawa terlebih dahulu untuk tahu ihwal keberadaan saya di Samata.
***
Hari masih awal, jam tujuh pagi ketika saya bangun. Matahari bungah di timur. Nato dan Nina—burung merpati kipas peliharaan Kebun Tentangga—beserta kawanannya, berkerumun mematuk-matuk pakan yang baru saja ditebar Syukron. Saya berjalan melintasi kerumunan tanpa mengganggu, dari rumah yang saya tempati menuju rumah utama yang didiami Syukron sekeluarga. Di dapur, tanpa ragu pula saya menyeduh kopi lalu duduk di ambin kayu di teras depan rumah. Ya, menyesap kopi adalah hal wajib yang saya lakukan untuk mengalami pagi yang sempurna. Suatu ritme yang tidak bisa diganggu, seperti Nina dan Nato yang harus diberi makan. Asap kopi yang mengepul dan sesap demi sesapnya adalah nyawa pertama, dan saya akan menikmati pagi hanya dengan kopi; tidak akan melakukan apa-apa selain melamun, sampai gelas tandas dan nyawa siap lepas landas.
Bagi saya, kopi adalah harapan.
Begitu juga pagi ini. Ketika gelas menyisakan ampas, saya beranjak dari ambin. Mengambil tampah lalu berjalan menuju lahan tanaman telang. Tak begitu besar lahan itu, tapi sepertinya cukup sebagai permulaan. Seduhan bunga telang yang dicampur dengan madu dan lemon selalu dinanti para teman dan kerabat yang datang ke Kebun Semata selain kombucha bikinan Wulan, istri Syukron.
Di bawah matahari pagi yang seharusnya tak begitu terik, saya memetik bunga-bunga telang. Musim kemarau kali ini terasa dua kali lipat panasnya di Gowa. Seminggu di sini, kulit saya tampak menghitam. Berada beberapa waktu di Indonesia Timur memang seharusnya siap dengan segala risiko. Salah satunya sinar matahari yang membuat kulit lebih hitam dari biasanya. Tak apa. Tak masalah buat saya. Kulit hitam bisa dikembalikan, tapi pengalaman tak terbayar oleh apapun. Lagi pula, jika kulit tak bisa kembali normal, pun tak mengapa buat saya. Dalam seminggu ini pula, memetik bunga telang adalah aktivitas yang biasa saya lakukan tanpa diminta, yang menjadi penyebab utama kulit saya menghitam.
“Ritme di sini sudah berjalan,” ujar Syukron suatu kali.
Tanaman harus diberi pupuk; burung, ayam, kalkun, dan magot yang diternak harus diberi makan; telur-telur ayam di inkubator harus diperiksa. Apakah ada yang menetas? Jika ada, anak ayam itu harus dipindahkan ke kandang yang lain. Jika tidak ada, telur busuk atau mati sebelum seekor makhluk itu hidup harus dipisahkan dan dibuang. Atau mengambil beberapa untuk dikonsumsi. Alangkah bahagianya bisa makan dari hasil tuai sendiri. Juga dengan bunga telang yang harus dipetik, karena ia selalu mekar oleh matahari yang bungah pada pagi hari.
“Jadi, orang-orang di sini sudah seharusnya paham yang harus dikerjakan tanpa disuruh,” lanjutnya menyambung obrolan tentang ritme hidup di Kebun Tetangga. Saya mafhum, antara Syukron dan Kebun Tetangga adalah ihwal yang saling bergantung. Kebun Tetangga membutuhkan tangan Syukron dan Wulan. Begitu juga sebaliknya, membutuhkan hasil tuai untuk keberlangsungan hidup mereka. Seperti saya dan kopi di pagi hari yang tidak boleh diganggu gugat itu.
Di antara tangan yang merambah ke celah-celah tanaman telang untuk memetik bunganya, juga semut-semut yang menggerayang di kaki, saya membayangkan begitu sayang jika hal ini tidak dilakukan satu hari saja; bunga telang akan percuma tumbuh. Letak lahan tanaman telang yang berada di sudut cukup membuat kesulitan bagi orang-orang yang memetiknya. Terlebih bagian yang bersebelahan dengan pagar. Kaki harus pintar-pintar berpijak, karena jika tidak, tanah yang menjadi licin sehabis hujan bisa membuat terpeleset. Pun dengan tangan yang harus berbagi tugas antara berpegangan, sementara yang lain memetik bunga.
Bunga tanaman yang mekar, sudah seharusnya dipetik. Selain agar tidak layu, juga merangsang tanaman itu untuk kembali berbunga dan terus berbunga. Apalagi, Kebun Tetangga berencana serius menjadikan bunga telang sebagai komoditas. Tak besar memang, tapi lumayan sebagai penghasilan. Syukron menceritakan kepada saya rencananya yang akan menggandeng Artani, toko kelontong ramah lingkungan terbesar di Makassar, yang memang sudah menjual bunga telang kering.
“Kebun Tetangga menyediakan lahannya. Artani menyediakan mesin pengolahan tanah, lalu nanti lahan dioleh bersama,” ujar Syukron.
“Jadi, Kebun Tetangga bukan hanya sebagai penyuplai,” saya menyahut.
“Betul. Kebun Tentangga X Artani,” pungkas Syukron.
Di antara usaha menghindari sinar matahari yang silau dan panasnya yang menusuk kulit, saya berusaha memetik meski bunga berada di posisi yang sulit. Kaki harus dengan posisi kuda-kuda yang ajek, tubuh saya sandarkan pada tiang pagar, sementara tangan menggerayangi tanaman. Saya tak ingin menyia-nyiakan satu bunga sekalipun, tak mau membuang satu harap sekalipun.
Setengah jam lewat dan lepas dirasa terpetik semua, saya kembali ke ambin untuk menyusun bunga disusun tanpa bertumpuk, juga di atas tampah, untuk kemudian dijemur. Empat tampah hasil panen bunga telang hari ini. Hujan telah membuat bunga mekar lebih besar. Cukup beberapa jam saja penjemuran itu, memanfaatkan sinar matahari pada siang hari, kemudian bunga akan dimasukkan ke mesin pengering selama delapan jam dengan suhu 70°C agar tak ada kelembapan yang tersisa.
Memetik bunga telang, barangkali satu-satunya yang bisa saya lakukan untuk membantu ritme Kebun Tetangga.
Pada siang hari, menggenapkan janji Syukron kepada saya, juga untuk melanjutkan pembicaraan bersama Artani menyoal rencana kolaborasi bunga telang, saya diajak mengunjungi Artani. Ia membawa satu toples dua literan penuh bunga telang untuk dititipjualkan. Di Artani, hasil panen Kebun Tetangga kemudian dibandingkan dengan persediaan bunga telang dari penyuplai lain. Hasilnya, panenan Kebun Tetangga punya kualitas lebih baik. Antara warna ungu mahkota dan hijau kelopak lebih terang dari lainnya. Juga dengan kelembapannya; bunga telang hasil panen Kebun Tetangga jauh lebih kering, sehingga memperkecil kesempatan tumbuhnya jamur. Dari hasil yang tampak di mata itulah, Artani bersedia membayar dua kali lipat lebih mahal untuk hasil panen Kebun Tetangga. Suatu hasil yang membahagiakan.
Sampai tulisan ini saya buat, dua bulan lepas siang di Artani, rencana pengolahan tanaman telang antara Kebun Tetangga dengan Artani perlahan terealisasikan. Syukron bercerita kepada saya pada lawatannya kembali ke Yogyakarta pada Desember, lahan telang di Kebun Tetangga telah bertambah, meski harus menunggu kurang lebih tiga bulan lagi untuk bunga telang berproses sehingga bisa dipanen. Namun setidaknya, rencana sudah berjalan, sementara harapan di depan mata.
Bagi orang lain, telang barangkali hanya tanaman tiada arti yang dibiarkan saja mekar tanpa dipetik, hingga layu dan mati tanpa arti. Bahkan ia yang diam-diam tumbuh harus dibabat karena menjadi parasit tanaman lain. Namun bagi Kebun Tetangga, telang adalah harapan. Saya melihat raut antusias di wajah Wulan ketika ia menjelaskan tentang cara kerja mesin pengering telang. Betapa senang ia akhirnya bisa menghasilkan bunga telang kering yang terjaga kualitasnya, biru mahkota dan hijau kelopak yang terjaga warnanya. Saya juga melihat raut wajah bungah Syukron ketika ia bercerita tentang rencana bersama Artani.
“Kedatangan kau jadi berkah buat kami,” ucapnya ketika Syukron mengantarkan saya menuju bandara untuk pulang ke Yogyakarta lepas dua minggu berada di Sulawesi Selatan, “Kebun Tetangga bisa bekerja sama dengan Artani.”
“Syukurlah,” saya menimpali.
Di antara aroma tak sedap dari Tempat Pembuangan Sampah Gowa yang kami lewati, saya memuai harap, agar segala yang direncanakan Kebun Tetangga berjalan baik. Lahan telang berkembang dan menghasilkan. Teman-teman Kebun Tetangga pun semakin sadar akan ritme hidup, akan harapan-harapan yang seharusnya dipetik pada pagi hari. Menyadari, bahwa harapan ada di tiap sisi kehidupan, pada kopi, bunga telang, dan barangkali pada sampah yang menggunung, dan segala sesuatu yang bagi sebagian orang dianggap tak ada artinya, adalah harapan untuk menghargai suatu ritme hidup.