Mimpi Bermula di Tunggilis

Kopi. Barangkali hanya ialah yang ingin saya pelajari. Bagaimana ia akan berbuah hijau lalu menguning lalu memerah dan matang. Ada cita-cita sederhana; tentang sebuah rumah kecil di tengah hutan kopi dengan pohon-pohon tinggi lain, yang ingin saya miliki, kelak.

Di Tunggilis, cita-cita itu bermula.

Taksi online yang kami tumpangi berbelok ke kiri dari Jalan Raya Puncak, menyusuri jalanan kampung nan sempit. Di beberapa sudut, warga yang sedang duduk-duduk di pinggiran jalan, terpaksa harus lebih menepi untuk mempersilakan mobil yang kami-saya, Ika, dan Mas Rey-tumpangi, bisa lewat. Tak terbayangkan oleh saya andai saja berhadapan dengan mobil lain dari arah yang berlawanan.

“Kira-kira Mamang bisa putar arah tidak, ya?” tanya Ika khawatir kepada supir taksi.

“Bisa, Neng. Di depan sekolahan,” jawab supir yang sepertinya, mengenal baik tempat ini.

Ketika tiba di ujung jalan, tepat di depan bangunan sekolah sekolah dasar, mobil berhenti. Lantas, lepas mobil itu memutar arah lalu menghilang dari pandangan, kami bertanya lokasi Saung Kang Dudu kepada dua orang ibu yang sedang duduk-duduk di warung. Kami pun kemudian menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah warga.

Deretan rumah itu semakin jenjang, berselang-seling dengan ladang sayur. Gunung Gede berdiri perkasa di hadapan kami, dengan beberapa gerombolan awan bersatu menutupi puncaknya. Jika sedang cerah, Pangrango, saudaranya, akan tampak di balik punggung kanan Gede.

Lepas ladang terakhir, di suatu sudut tanah desa, ketika kami hendak memasuki sebuah halaman dengan dua bangunan kayu semi permanen, tiba-tiba kami mendengar salak anjing. Saya sontak kegirangan. Begitu juga dengan Ika.

“Ada anjing!” saya berseru.

Tampak seekor anjing kampung berbulu putih belang cokelat. Gagah ia berdiri di depan saung sebelah kiri halaman sambil terus menyalak. Anjing itu mendekat ketika kami memasuki halaman lalu berhenti menyalak. Ia berputar-putar, mengendus-endus, hendak berkenalan. Buntutnya mengibas.

Seorang lelaki-berkaus oranye, mengenakan caping bambu di kepalanya dan sepatu bot karet pada kaki-muncul dari balik saung. Dialah Kang Dudu.

“Namanya siapa, Kang?” tanya Ika setelah kami saling bersalaman dan berjalan menuju saung.

“Bram,” jawab Kang Dudu, “ada tiga sebenarnya. Namanya Bona dan Boni.”

“Terus, sekarang di mana?” Ika bertanya.

“Kalau enggak di kebon, ya mungkin tidur di kandang kambing di belakang. Si Boni lagi hamil.”

“Oiya? Siapa bapaknya, Kang?” tanya saya iseng.

“Kalau enggak Bona, ya mungkin Bram,” kelakar Kang Dudu.

Saya dan Ika terkikih.

Kami duduk di beranda depan. Saung Kang Dudu sangatlah sederhana. Terbuat dari bilah-bilah bambu yang saling kait. Pelapis atapnya menggunakan lembaran terpal bening yang membuat sinar matahari mampu menembus tempat kami duduk. Di dinding, terpampang foto-foto kegiatan yang pernah dilakukan di saung ini. Kami bercakap ditemani dengan berbagai hasil ladang Kang Dudu seperti jagung hitam, ubi ungu, dan tentu saja kopi sarongge.

“Kang Dudu mengolah kopi sendiri?” tanya saya.

“Panenan langsung disetor ke Pak Santosa, diolah di Sarongge. Sisanya yang dikonsumsi sendiri, ya diproses sederhana saja,” jawab Kang Dudu.

Selain budidaya kopi, Kang Dudu sebagai kepala kelompok tani, juga membuka sanggar seni Sunda untuk anak-anak desa setempat. Ia mengajar pencak silat dan karawitan.

Kang Dudu bercerita tentang proses membuka saung ini. Barangkali cita-citanya sederhana, ingin menghutankan kembali ladang-ladang atau lahan mentah, sama seperti visi Pak Tosca Santosa, seseorang yang menjadi gurunya ketika di Sarongge dulu. Singkat cerita, Kang Dudu menerima bantuan bibit untuk bisa diolah menjadi kebun di tanah kas desa yang dihibahkan.

Lepas bercakap, kami berjalan menuju jalan setapak antar ladang. Kang Dudu mengajak kami berkeliling kebun kopi garapannya. Bram memimpin kami. Tubuhnya yang tinggi dan ramping itu begitu lincah mengayuh empat kakinya. Dalam sekejab, ia sudah hilang dari pandangan, entah di mana.

Seekor anjing lain muncul dari balik ladang. Tidak lebih tinggi dari Bram, namun bulunya lebat berwarna cokelat.

“Itu siapa, Kang?” tanya Ika.

“Bona,” jawab Kang Dudu singkat.

Ika memanggil Bona, tapi anjing cokelat itu sepertinya malu-malu. Ia kembali hilang di antara ladang.

Lepas parit terakhir, kami berjalan sedikit menanjak. Menuju tanaman kopi tumbuh di lahan yang miring. Ia berseling dengan tanaman lain yang lebih tinggi.

Di suatu tepian jurang. Kang Dudu menunjukkan kepada kami ceri kopi yang sudah menghitam di pohon harus dibuang, agar tempatnya digantikan dengan yang baru untuk tumbuh. Ia pun juga menjelaskan bahwa tanaman kopi harus memiliki tanaman penyangga. Kopi tidak bisa menerima sinar matahari secara utuh.

“Tanaman kopi itu cuma butuh sinar matahari 60%, makanya perlu pohon yang lebih tinggi. Bisa pohon sengon, lamtoro, jeruk, nangka,” melanjutkan, “nah, tanaman penyangga itu yang menciptakan aroma kopi. Aroma, ya, bukan rasa.”

“Bedanya apa, Kang?” saya bertanya.

“Aroma itu bau ketika kita seduh kopi. Kalau rasanya ya tetap kopi. Jadi enggak ada tuh kopi rasa jeruk,” jelas Kang Dudu.

Bram muncul entah dari mana. Ia bisa saja berpindah dari bukit lalu menghilang ke lembah dan kembali ke bukit. Kakinya kuat, tenaganya tak habis.

Kali ini, ia rebah di antara ilalang. Lidahnya menjulur ke luar. Napasnya tersengal. Matanya awas entah kepada apa. Barangkali ia sedang menjaga kami yang sedang beristirahat di bawah pohon ara, memandang Gunung Gede yang tampak di depan mata.

Dari bukit sebelah kiri, kami beranjak ke bukit lain, di sisi kanan saung. Kali ini Bram tidak sendiri. Ia ditemani seekor teman. Namanya Boni. Badannya tidak segagah Bram, tapi bulunya yang putih itu menjurai lebat dari kulitnya. Satu kupingnya kerap sekali terangkat naik. Lucu sekali.

Namun, ke mana Bram? Lagi-lagi ia menghilang. Di suatu kelokan, hanya Boni yang rebah sembari mengulurkan lidahnya. Napasnya tersengal. Wajahnya yang tampak Lelah muncul di balik ilalang.

Saya tertawa melihat polah Boni yang lucu. Ia sepertinya mencari Bram. Tak mau melanjutkan perjalanan tanpa Bram.

Saya memandang sekitar, berusaha mencari Bram. Ke mana dia? Saya dan Ika bersahutan memanggil nama Bram. Lalu, Bram yang ternyata sudah berada di lembah, di dekat saung pertama, muncul dari balik semak. Ia lantas mengayuhkan kakinya cepat menyusul kami, dan Boni kembali bersemangat.

Ladang kopi di atas bukit ini lebih tinggi dan lebih luas dari yang pertama. Ada sebuah pondokan lain yang dipergunakan Kang Dudu untuk menyimpan pupuk dan segala perlengkapan.

Kami bercapak di bawah pohon jarak yang tidak begitu tinggi, tapi sanggup meneduhkan kami dari panas. Gunung Gede tidak begitu luas dipandang.

“Beda tanaman arabika dan robusta itu apa, Kang?” saya bertanya.

“Tekstur daun arabika lebih lembut,” jawab Kang Dudu seraya menunjukkan helai daun dari kedua tanaman kopi.

“Kalau hama kopi itu apa?” saya masih penasaran.

“Kumbang dan ulat. Kalau ada bintik-bintik hitam di daun, tandanya diserang kumbang. Yang bahaya itu ulat. Dia bisa masuk ke batang. Bikin keropos. Enggak kelihatan. Tiba-tiba patah,” jawab Kang Dudu yang kemudian mengambil satu patahan tanaman kopi yang berongga pada tangkainya karena ulat.

Kang Dudu bercerita tentang tahun-tahun awal adalah masa terberat dalam budi daya kopi. Panen yang tidak maksimal, kebutuhan pupuk yang banyak, serangan hama ke pohon-pohon kopi remaja, serta penyulaman tanaman yang mati. Kambing dan motornya pernah ia jual, agar cita-citanya bisa diraih.

“Petani kopi itu baru bisa menabung setelah tanaman kopi berumur lima tahun,” ia melanjutkan, “satu pohon kopi cuma panen kurang dari satu kilogram, tapi kalau sudah lima tahun, bisa panen lebih dari satu setengah kilogram. Di atas 10 tahun, sekali panen bisa beli motor.”

Kang Dudu juga berkeluh kesah tentang keadaan kampungnya yang mengalami kekurangan tenaga tani sementara lahan garapannya luas. Ia merasa para pemuda lebih memilih menjadi pekerja kantoran dibandingkan dengan petani. Bagi Kang Dudu, para pemuda itu beranggapan petani adalah sebuah pekerjaan hina.

“Kalau di kebon ‘kan pasti kotor. Kalau enggak kotor, bukan petani.”

Saya melihat lesu di wajahnya. Namun tidak dengan hutan kopinya. Cita-citanya barangkali hampir sempurna. Hutan kopinya hampir jadi. Menunggu sampai mereka meninggi dan melebat.

Saya menyapu pemandangan dengan kedua mata. Melihat hutan kopi dan buah, melihat anjing-anjing kesayangan yang setia menemani dan sudi mengusir kera-kera, melihat ladang sayur di bawah sana. Melihat sebuah gunung yang tinggi menjulang.

Ini yang juga menjadi mimpi saya di kemudian hari. Tinggal di sebuah kaki gunung, di antara hutan pohon kopi dan buah, serta ladang sayur di sudut lain. Halimun gunung yang bercampur dengan asap dan aroma kayu bakar dari rumah kayu sederhana, namun nyaman. Bukan, bukan di kota, melainkan desa.

Syahdan, saya teringat ucapan Ibu Sarinah, seorang petani kopi yang sekaligus pemilik warung Kopi Turgo, bahwa petani adalah pekerjaan berupah besar di surga, selain guru dan orang tua.

Ya, cita-cita saya sederhana; menjadi petani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *