Tempat ini adalah saksi bisu orang-orang bergelut dengan batinnya sendiri. Berpikir, apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Tempat ini juga sebagai tempat rebah bagi mereka yang telah pulang dari berjuang, di balik tenda-tenda.
Kalimati yang semula ramai, beranjak sepi. Seekor Elang jawa terbang rendah di atas Kalimati. Beberapa kelompok pendaki mulai mengemas tenda dan peralatan masing-masing untuk melanjutkan perjalanan turun kembali ke Ranu Kumbolo. Kami masih bercakap di depan tenda, bersama beberapa pendaki lain, sembari menghabiskan semua makanan yang Tukul buat. Seperti mengamuk, ia memasak semua bekal makanan. Ia juga membagikan sayuran yang tidak termasak kepada pendaki lain. “Biar enteng!” katanya merujuk pada tas carrier-nya yang seberat kulkas. Kalimati yang hangat.
Masih terbayang betapa berat pendakian yang baru saja usai. Kalimati berada di ketinggian duatujuhnolnol meter, sedangkan puncak Mahameru tigaenamtujuhenam meter. Kami hanya mendaki sepanjang sembilantujuhenam meter. Tidak terlalu panjang, tidak ada satu kilometer, tetapi mengapa mencapai enam jam? Sedangkan waktu tempuh turun hanya satu jam. Bayangkan! Ini tidak adil. Saya menyebutnya Trek Sakit Hati, naik enam jam turun satu jam. Sangat perhitungan sekali ya saya ini.
Masih terbayang juga magisnya Mahameru dengan wedhus gembelnya itu. Mahameru sebuah legenda tersisa, puncak abadi para dewa.
Hei! Itu lirik lagu Dewa 19!
***
Tepat pukul sebelas siang, kami pergi meninggalkan Kalimati. “Sampai bertemu di puncak-puncak berikutnya!” teriak Mas Rifa’i—lelaki yang sedari kemarin berjalan berbarengan dan bertemu kembali di puncak tadi pagi—ketika kami berjalan melewati tendanya.
Kami akan langsung menuju Ranu Pani, rencana perjalanan yang semula empat hari tiga malam—bermalam kembali di Ranu Kumbolo—terpaksa harus dipersingkat menjadi tiga hari dua malam. Melewati jalur aduhai kemarin, saya memungut kembali sisa-sisa kenangan yang tertinggal di dalam belantara.
Kabut turun ketika sampai di Pos Jambangan. Melewati Oro-oro Ombo, kami berjalan pada jalur yang memutar, tidak sama dengan yang kemarin. Dari atas bukit, Oro-oro Ombo tampak kelabu. Tidak ada Matahari yang membentuk gradasi hijau kekuningan dengan cahayanya, seperti yang lalu. Begitu juga Ranu Kumbolo, yang dulu semarak warna-warni, sekarang hanyalah kabut tebal yang perlahan bergerak kencang menjadi rintik hujan.
Kami istirahat sejenak di Ranu Kumbolo, melepas sedikit lelah dan memandang sekali lagi danau air dewa yang kali ini benar-benar berselimut kabut. “Ngga, boleh minta air Ranu?” saya meminta air kepada Angga yang baru saja mengambil air danau. “Boleh. Buat apa?” tanyanya kemudian seraya menyodorkan botol minumnya. “Buat minum lah. Mau minum air dewa. Barangkali gue bisa lebih cakep sedikit,” jawab saya cekikikan.
Tukul membelikan segelas kopi untuk saya dan Mbak Nik. Berteduh di shelter, berbicang dengan sekelompok pendaki dari Bogor yang dijumpai di Pos Jambangan lalu, tetangga kampung Tukul. Mereka, yang semalam berkemah di Ranu Kumbolo, memberi tahu bahwa Ranu Kumbolo terkena badai tadi malam.
Kaki saya sudah terasa sakit. Sedikit gemetar, karena memang belum benar-benar istirahat semenjak turun dari puncak. Orang-orang yang berdatangan dari Ranu Pani hampir semua menggunakan jas hujan, sepatu penuh dengan lumpur. Saya bergumam dalam hati, perjalanan berikutnya akan cukup berat.
Tepat jam tiga sore, kami meninggalkan Ranu Kumbolo yang semakin berkabut. Saya pun sudah mulai kedinginan, harus kembali bergerak untuk memperoleh panas tubuh. Kami berjalan dengan ritme yang lebih cepat, mengejar agar tidak terlalu terkena malam.
Jalanan licin sekali. Angga yang berjalan paling depan sempat terjatuh. Ia yang tergeletak di sisi kanan jalan melambaikan tangan meminta pertolongan. Tukul yang berjalan di belakang saya segera berlari membantu Angga berdiri. Saya hanya diam, kaget, sedikit panik. Khawatir, semoga Angga baik-baik saja. Ia kepala tim kami. Saya berpikir, jika sesuatu terjadi pada Angga, bagaimana nasib kami selanjutnya? Untungnya, Angga segera berdiri dan kami kembali berjalan. Puji Tuhan, tidak ada apa-apa.
Kami sempat membantu para pendaki yang berjalan berlawanan arah, ketika berpapasan di tanjakan dekat Pos 3. Tidak adanya akar yang mencuat di permukaan tanah sebagai pegangan serta jalan yang menikung, mempersulit mereka yang hendak naik, terpeleset terus. Angga, Tukul, dan dua orang pendaki dari kelompok Bogor tadi berestafet menjadi pegangan untuk mereka, membantu mereka naik. Saya, yang kebetulan berdiri paling belakang, masih berada di atas, hanya kebagian menarik tangan saja. Mbak Nik, menonton dari bawah. Hihihi.
Ketika akhirnya tiba di Pos 3, hari mulai gelap. Hujan pun perlahan menuju deras. Ramai sekali Pos 3. Shelter penuh sesak. Saya tidak kebagian tempat untuk berlindung. Saya dan Tukul berdiri di bawah terpal yang terpasang, sembari melompat-lompat kecil agar tubuh tetap hangat, dingin sekali sore itu.
Setelah mengenakan jas hujan dan menyalakan sèntêr, kami meninggalkan Pos 3, melanjutkan perjalanan turun menuju Ranu Pani. Sungguh, perjalanan yang membutuhkan konsentrasi lebih. Gelap, licin, dan jalanan berkelok-kelok tidak sampai-sampai! Berkali-kali kami berpapasan dengan pendaki yang baru naik, berpesan kepada mereka untuk lebih berhati-hati. “Jangan dipaksa untuk sampai Ranu Kumbolo. (Ranu Kumbolo) Masih jauh. Lebih baik mendirikan tenda dulu di Pos 3.” Angga berpesan kepada seorang pendaki yang bertanya perjalanan menuju Ranu Kumbolo.
Sebenarnya saya merasa takut. Banyaknya pohon-pohon yang dibalut kain kuning atau putih dengan beragam sesaji, membuat bulu kuduk beberapa kali berdesir. Tidak berani meliarkan mata melihat sekeliling, padangan hanya terpusat pada jarak satu meter di depan. Berdoa dan menjaga sikap serta tetap fokus berjalan. Ingin sekali rasanya cepat sampai Ranu Pani, mencari Coki, mengucapkan terima kasih, serta memesan mie instan di Warung Bagus. Mie instan adalah penyemangat saya turun gunung.
***
“Di depan Pos 1, Kak. Kita bisa istirahat lama di sana.” ucap Angga memberi semangat. Saya berharap warung di Pos 1 buka. Mau beli gorengan! Dalam keadaan dingin begini, rasanya ingin makan melulu, buat tambah tenaga.
Tetapi setelah kami tiba di Pos 1, keadaan gelap gulita. Warung tutup. Udara pun semakin dingin. Angga berinisiatif menyalakan api di tempat sisa pembakaran dekat shelter. Kami berkumpul di situ, bersama pendaki Bogor yang sedari tadi berjalan saling susul dengan kami. Mereka adalah orang-orang yang sangat menyenangkan. Suka sekali bercanda. Suatu waktu, kain tenun saya menyambar api dan sedikit terbakar. Salah satu dari mereka dengan sigap mengangkat kain tersebut, mematikan api yang mulai melumat. “Awas, Mbak. Kainnya terbakar,” ucapnya kala itu. Kelakuan lelaki yang berdiri di samping saya itu, sontak mendapat respon jenaka oleh teman-temannya. “Kalau sama perempuan saja cepat. Coba kalau itu kain gue, dibiarkan terbakar,” salah satu dari mereka berceloteh. Kami semua tertawa.
Mumpung ada api unggun, kami berisitirahat cukup lama di Pos 1, menghabiskan sisa bekal sembari menunggu, barangkali hujan mereda. Semua berdiri mengitari api. Berbincang sederhana. Seorang pendaki Thailand bersama pemandu meminta ijin kepada kami untuk bergabung. Tukul berusaha berinteraksi , ia berkata dengan bahasa isyarat untuk melepas sarung tangan yang dipakai perempuan itu agar lebih hangat, kendala bahasa. Saya cekikikan melihat adegan lucu tersebut lalu membantu menjelaskan apa yang dimaksud Tukul.
Saya sempat berkata kepada teman-teman Bogor, “Main-main ke Yogyakarta, Mas, mendaki Merapi atau Merbabu,” ajak saya. “Wah, boleh tuh, Mbak. Nanti temani kami ya?” jawabnya dengan wajah melas. Kami kembali tertawa. “Gue punya nomer telponnya nih. Bayar pajak ke gue kalau mau minta,” kata Angga. Lagi-lagi tertawa. Sungguh, sederhananya mendapat teman.
***
Tiba-tiba Angga berhenti ketika kami hampir sampai di warung pertama dekat perkebunan warga. “Ada burung hantu,” katanya sambil menunjuk ke atas pohon. Saya yang tidak berani menyorotkan sèntêr, hanya berusaha mencari-cari hewan nokturnal yang dimaksud itu. Panasaran, seperti apa wujud aslinya. Tetapi nihil.
***
Sekitar pukul delapan malam, akhirnya kami sampai di Ranu Pani. Coki tidak ada; Warung Bagus tutup, memupuskan harapan saya untuk menyantap mie instan telur rebus dengan irisan cabai tiga butir. Sedih rasanya, tetapi saya lega, kami telah menyelesaikan pendakian Semeru ini dengan baik.
Ketika menulis ini, saya teringat kejadian Minggu sore lalu. Saya sebenarnya tidak ada niatan mau pergi ke gereja, sedang merampungkan tulisan tentang Kalimati. Terlebih, hujan besar sejak jam tiga sampai jam lima tidak reda. Setengah jam berselang, ternyata hujan mereda. Saya bergegas cuci muka, tidak mandi, siap-siap ke gereja, misa jam enam. Di perjalanan, hujan menderas. Masuk ke dalam gereja dengan keadaan sedikit basah dan pusing. Kesal! Misa dimulai. Di ritus pembuka, romo memberi pengantar tentang tema misa, bagaimana manusia menjadi makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Saya terperangah, bukan kebetulan tema tersebut adalah sama dengan tulisan yang baru saja selesai ditulis. Sepenggal lagu Mazmur Tanggapan pun begitu menyentuh. “Tuhan, siapa diam di kemah-Mu? Siapa tinggal di gunung-Mu yang suci?” Nadanya pun indah, berhasil membuat bulu kuduk saya berdesir. Ketika khotbah, romo bicara tentang tema yang, kisah nyatanya, benar-benar saya alami ketika di Semeru. Pada akhir misa, romo kembali memberi wejangan dengan mengutip Injil Matius 11:28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan bagimu.” Sungguh, saya bersyukur ke gereja waktu itu.
Hendaklah benar Injil itu ditulis, memberi jawaban atas pertanyaan sendiri, untuk apa naik gunung? Untuk merasakan damai di atas gunung serta mendapatkan kelegaan dari Tuhan. Itu jawaban yang saya dapatkan.
Saya pun kemudian setuju apa yang pernah ditulis Soe Hok-gie, bahwa kadang kala manusia menjadi lebih religius dan puitis ketika di puncak gunung.
***
Matahari menyembul naik, tampak dari bale kayu Hamur Nawak, penginapan kami. Saya keluar kamar, menuju dapur. Mas pemilik penginapan memberi salam, “Hallo, Mbak, apa kabar? Bagaimana Semeru? Sampai puncak?” tanyanya bertubi. “Puji Tuhan sampai, Mas,” saya menjawab. “Wah, selamat, Mbak. Kopi?” ia menawarkan sesuatu yang memang ingin saya minta.
Tak lama Angga keluar, menghampiri saya duduk, lalu secara tiba-tiba meminta maaf kepada saya. Saya agak kaget, berpikir, ada masalah apa lagi? Lalu ia bercerita kalau sebenarnya kami diputar-putar di dalam hutan kemarin.
“Aaaaahhh!” saya sontak berteriak panjang, punya pikiran yang sama dengan Angga.
“Pas mau ke …”
“Lo sebenarnya ga beneran jat … ?”
“Bukan burung han … ?”
“Gue sebenernya lihat po …”
Ah! Itulah percakapan kami yang tidak akan saya ceritakan di sini. Saya akan cerita kalau kita bertemu ya, Pembaca. Kisah yang menjadi bumbu perjalanan kami yang, secara keseluruhan, bagi saya sendiri, lagi-lagi, memberi pelajaran berharga. Ya, akan selalu ada hal yang bisa dipetik dari mendaki gunung. Kali ini, saya belajar menjadi manusia di Semeru, berinteraksi dan peduli kepada sesama dan alam semesta; ada damai di antara kemah-kemah, dan yang utama, di balik kesabaran dan perjuangan melawan keangkuhan diri sendiri, ada sesuatu di atas sana yang sudah disediakan oleh Tuhan; kelegaan.
Terdengar begitu naif memang. Tetapi sungguh, saya benar-benar lega telah berhasil mendaki Semeru, karena pada akhirnya semua akan menjadi kisah yang tidak akan habis-habisnya diceritakan.
***
Sementara, di masa lampau, alkisah Jambudvipa adalah tanah yang sangat berat, sedangkan ada tanah yang terombang-ambing di tengah lautan bernama Jawa. Batara Guru yang melihat itu memerintahkan para Dewa dan Asura bahu membahu memotong Gunung Mandara yang tingginya sebelas ribu yojana, mencapai langit, mengentaskan puncak Mahameru menuju Jawa, menjadikannya pasak. Dewa Wisnu yang waktu itu menjelma menjadi kura-kura meletakkan Mahameru di atas cangkangnya, dengan bantuan lilitan seekor naga raksasa jelmaan Dewa Brahma agar tidak jatuh, berenang menyeberangi lautan menuju Jawa, meletakkan Mahameru di bagian Barat. Tak disangka, ujung Timur Jawa terangkat ke atas. Tidak seimbang. Mahameru terlalu berat. Dewa dan Asura kemudian mengangkat kembali Mahameru lalu meletakkannya di Timur. Pengangkatan itu membuat tanah Mahameru tercecer. Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuna, dan Kemukus dipercaya sebagai tanah ceceran dan menjadi gunung-gunung di Pulau Jawa saat ini. Jonggring Saloko adalah ayah dari Gunung Agung dan Rinjani.
Mahameru, puncak abadi para dewa.
* Paragraf terakhir adalah saduran dari Indian Mythology – Hindu Mythology Articles
Baca juga:
- Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo
- Mengukir Cinta Menuju Kalimati
- Melawan Keangkuhan di Puncak Abadi Para Dewa