Melawan Keangkuhan di Puncak Abadi Para Dewa

Di antara kapas-kapas putih bergelantungan pada buaian biru angkasa, ada bola api yang mengintip dengan jarak lima ratus milyar kaki dari Bumi, yang dipandangi dari tebing jurang yang curam. Ini momen hening, hanya saya dan ruang waktu.

***

Hari belum benar-benar berganti. Masih malam sebelas derajat yang sama. Saya akhirnya memutuskan untuk benar-benar bangun dari tidur, duduk di dalam tenda. Sedikit kesal, karena tidak bisa tidur, entah gugup atau tidak terbiasa tidur sore. Padahal seharusnya saya tidur, memulihkan tenaga untuk summit. Bahkan setelah Tukul membuatkan susu jahe hangat pun tidak mempan. Jam sebelastigapuluh malam, persiapan menuju Mahameru.

Tukul—yang memang tidak tidur karena menyiapkan makanan—mempersilakan kami untuk segera mengisi tenaga. “Makan yang banyak. Habiskan! Biar kuat sampai puncak,” ucapnya sangat baik.

Saya makan sangat lahap, meski tidak begitu lapar. Menghabiskan semua nasi dan lauk di piring, karena saya sadar, perut harus dalam keadaan terisi, perang sesungguhnya telah menanti.

Selesai makan, kami berdoa meminta keselamatan dan harapan keberhasilan mencapai Mahameru. Doa yang, kali ini, lebih khusyuk daripada yang lalu. Saya melihat arloji di tangan ketika memasuki hutan, waktu menunjukkan pukul duabelasduapuluhlima menit dini hari. Malam yang pekat, dingin yang menusuk, dan ketakutan yang menghantui, saya bergumam sluman slumun slamet.

Yang bisa dipandang dengan mata melalui bantuan sèntêr kepala hanyalah jarak satu meter. Semua kelam bagai rasa takut. Debu beterbangan di antara tebing dan jurang tanpa batas yang jelas, hanya napas dalam dan derap langkah yang terdengar di jalan sempit.

Bertanya kepada diri sendiri, buat apa saya di sini? Mengapa saya melakukan ini? Tidak tahu jelas. Jawaban akan terlihat ketika Matahari sudah terlukis di peraduan, di mana saya ketika saat itu tiba? Tapi kali ini hanya bisa merayap serta menjamah akar yang menjuntai, menyerahkan nasip pada kegelapan.

Satusetengah jam berselang ketika kami sampai di batas vegetasi. Di depan, tidak ada lagi hutan yang melindungi, hanyalah pasir dan kerikil gembur pada tebing curam. “Kalau terjadi apa-apa nanti, dan kita ternyata terpisah dari rombongan, ingat pohon ini,” Angga berkata sambil menunjuk satu pohon cemara yang dililit kain kuning; Cemoro Tunggal. Ia melanjutkan seraya menunjuk jalan, “Ada jalan bercabang dua, ambil kanan dari arah puncak. Ini jalan menuju Kalimati.”

Saya dan Mbak Nik memperhatikan petunjuk dari Angga dengan saksama, merekam baik-baik. Saya takut luar biasa dan lagi-lagi bergumam, sluman slumun slamet.

“Ada tiga cara berjalan di medan berpasir. Pertama, berjalan zig-zag. Kedua, mengikuti bekas tapak orang di depan, karena sudah lebih keras. Ketiga, berjalan dengan menancapkan ujung sepatu ke dalam pasir, goyang sepatu agar tertancap dengan kuat, lalu melangkah,” Angga memberi petunjuk.

***

Perang dimulai. Pasir dan kerikil yang sangat gembur berhamburan tak terbatas pada tebing Semeru dengan kemiringan bervariasi antara empatpuluhlima sampai tujuhpuluhlima derajat. Setiap menapak dua langkah, merosot satu langkah. Naik lagi satu langkah, merosot satu langkah namun panjang. Begitu terus. Saya berdesah masygul. Seorang laki-laki di belakang saya ternyata mendengar geraman saya itu, “Ikuti bekas tapak orang di depan, Mbak. Lebih keras.” begitu nasihatnya. “Iya, Mas. Terima kasih,” jawab saya singkat menutupi kekesalan.

“Gimana kabarnya?” pertanyaan yang Angga lontarkan sering kali. Saya sempat menjawab, “Bisa lebih pendek langkahnya, Ngga?” Angga kemudian memperpendek langkahnya.

Tapi itupun tidak begitu membantu. Semua sama saja dan serba salah. Jika saya mengikuti bekas tapak, hampir semua jarak antar tapak itu jauh-jauh, langkah mereka terlalu besar. Sempat mendumal dalam hati, Kenapa sih orang jauh-jauh sekali langkahnya? Belum lagi debu-debu yang bikin sesak. Buff jika terlalu lama dipakai pun bisa bikin pengap. Jadi, bolak-balik saya buka-pakai. Kesal!

Saya pun sempat menggunakan metode berjalan ketiga, tetapi tidak konsisten, karena memerlukan tenaga yang lebih besar untuk menancapkan sepatu pada pasir. Semua teknik berjalan di pasir yang saya lakukan ketika mendaki Rinjani tahun lalu, bubar jalan di Semeru. Waktu di Rinjani kala itu, saya berjalan dengan langkah kecil-kecil konstan. Lumayan, naik lima langkah, melorot satu langkah. Saya pikir bisa dilakukan pada Semeru, ternyata salah. Semua tidak berlaku! Semua sama saja. Pasti melorot! Ya sudah, akhirnya saya pasrah mengikuti jejak Angga yang berjalan di depan; mengalah.

Di tengah perjalanan, kami sempat istirahat. Duduk di sisi pinggir jalur pendakian. Bahkan meletakkan pantat di pasir saja pakai acara melorot. Menghilangkan rasa kesal dengan makan adalah jawaban yang paling benar, snack bar dan jahe hangat! Walaupun sedikit mendapat taburan debu-debu dari langkah orang berjalan. Lumayan, vitamin d, hibur saya dalam hati.

Saya bertanya dalam hati, apakah ini sudah setengah perjalanan? Saya rasa belum. Malam masih pekat dan saya berusaha untuk tidak memikirkan, berapa lama lagi akan sampai. Cukup dengan terus berjalan.

“Lanjut?” tanya Angga. Saya berdiri. Lagi-lagi melorot. Ya Tuhan! Kalau sedikit-sedikit melorot, jalan melorot, duduk melorot, berdiri melorot, kapan sampainya? Tetapi saya teringat ucapan Angga sore lalu di Ranu Kumbolo, “Kuncinya sabar.” Baiklah, saya akan sabar.

Kekesalan demi kekesalan itu, pada akhirnya saya nikmati setiap detiknya. Trek yang sulit, debu yang bikin sesak, kaki yang sakit kerena banyak kerikil masuk ke dalam sepatu, angin dingin, gelap malam, saya nikmati itu semua. Saya akan pendam dalam hati sampai Matahari keluar dari peraduan. Pasrah.

***

Ini adalah awal dunia. Berdiri pada tebing dengan kemiringan tujuhpuluhlima derajat, di samping tebing sisi kiri. Di ujung cakrawala sana, kapas-kapas putih bergelantungan pada buaian biru angkasa. Perlahan, bola api mengintip dengan jarak lima ratus milyar kaki dari Bumi. Di belakang saya, hamparan hijau gunung-gemunung Tengger yang tak habis-habinya bersenggama, dan di balik langit lazuardi, Arjuna, Welirang, serta Anjasmara, tak mau kalah. Saya melihat segala sesuatu yang sejak semalam tua itu dengan kagum. Menghiraukan segala suara manusia yang entah bicara apa. Diam. Memandang saujana yang tidak mungkin hadir begitu saja. Mafhum, ada tangan-tangan jahil bak anak kecil bermain malam. Saya berada kembali pada momen hening, hanya saya dan ruang waktu.

Tapi ini belum selesai, masih tersisa sepertiga perjalanan. Lepas Matahari mengangkasa, kami melanjutkan setapak demi setapak menuju Mahameru. Rasanya semakin sulit. Tapi saya masih sabar. Sedikit lagi, saya memberi semangat pada diri sendiri.

“Itu puncaknya, Kak. Yang batu belah, sama seperti Rinjani.” Angga menunjuk. Saya mencari batu yang dimaksud dengan kedua mata. Dengan sisa semangat, mengulur jarak di belakang Angga dan Mbak Nik, saya kembali berjalan zig-zag, masih dengan sabar. Semakin lama semakin dekat, sampai akhirnya Angga menunjuk bendera Merah Putih yang mulai tampak.

Tidak terhitung berapa banyak kerikil yang masuk ke dalam sepatu. Jika terlalu lama berhenti, kaki semakin sakit dan bisa kedinginan. Saya memutuskan untuk berani berjalan terlebih dahulu, Matahari telah membukakan mata. Mengamati orang-orang di depan yang sudah tidak sebanyak sebelumnya, mengikuti jejak mereka menuju bendera.

Ketika berjalan sendirian itulah detik-detik paling menyebalkan dalam perjalanan. Semakin curam dan semakin gembur. Berjalan, sakit. Berhenti terlalu lama, semakin sakit, semakin sering merosot. Sepatu yang saya pakai tidak memadai untuk berjalan di Semeru. Jalur pun berkelok dan memberi banyak pilihan. Saya berada di momen tidak peduli menentukan jalur mana yang lebih mudah dari yang lainnya, semua sama saja. Bendera yang sedari tadi tampak tak juga mendekat. Jengkel! Saya memutuskan untuk berhenti di tebing sisi kanan, diam, bernapas dalam, bergumam, Sabar, Widi. Sabar. Semeru benar-benar menguji mental.

Akhirnya, enam jam berlalu, pasir tidak gembur lagi, tebing tidak curam lagi, saya sampai di Mahameru, pukul enamtigapuluhlima menit. Di kepala, hanya terbersit mencari tempat untuk duduk, membuka gaiter, sepatu, lalu mengeluarkan kerikil-kerikil jahat. Wedhus gembel yang keluar dari kawah Jonggring Saloko saja saya hiraukan, orang ramai merayakan. Saya tidak peduli, toh masih akan keluar tiap limabelas menit sekali. Yang penting, kaki dulu urusi! Ternyata benar, sepatu saya isinya kerikil, kalau ditimbang, mungkin mencapai lima ons. Jari kaki semua hitam sampai masuk ke kuku-kuku. Menjijikkan!

Lalu ada seorang lelaki mendekati saya, “Mbak, terima kasih sekali lagi ya, sudah bawa jaket saya kemarin,” saya tersenyum, ia melanjutkan, “Kalau tidak, mungkin saya tidak sampai di atas sini.” katanya. “Iya, Mas, sama-sama. Senang bisa membantu,” saya menjawab bahagia. Ternyata ia adalah lelaki pemilik jaket yang tertinggal kemarin. Rasa sebal pada kaki sedikit memudar.

Tak lama Mbak Nik dan Angga tiba di puncak. Rasa haru tampak dari raut wajah tante saya waktu itu. Baginya, ini adalah pencapaian besar. Di umur menjelang setengah abad, dia berhasil mencapai puncak Mahameru. Latihan fisiknya menuai hasil. Saya ikut bahagia.

***

Lepas menikmati roti lapis yang dibawa Angga,—iya, kami adalah kelompok pendaki yang hobinya makan terus di gunung, saya berjalan berkeliling Mahameru. Para pendaki bergantian berfoto pada bendera yang tertancap di tengah-tengah. Antreannya mengalahkan para penumpang Commuter Line Tanah Abang di jam kerja.

Saujana masih buas. Jonggring Saloko setia dengan wedhus gembelnya. Biasanya, sebelum awan panas itu keluar, didahului bunyi gemuruh dari perut kawah. Kalau sudah begitu, para pendaki berlomba mengambil foto untuk mengabadikan momen ciri khas Mahameru. Termasuk saya!

Lepas itu, saya duduk-duduk di dekat plakat dengan banyak bendera doa warna-warni khas Nepal. Lumayan untuk tipu-tipu, seolah di Annapurna, padahal di Lumajang. Di sisi kiri saya duduk, ada empat umpak bekas plakat “in memoriam” Soe Hok-gie. Aktivis, penulis, sekaligus pendaki gunung itu mengembuskan napas terakhirnya di gunung vulkan tertinggi ketiga Indonesia ini. Saya senang, bisa menapaki jalan yang pernah dilalui oleh seseorang yang mengajarkan saya untuk cinta pada keberanian hidup itu, empatpuluhsembilan tahun yang lampau. Bagi saya, Catatan Seorang Demonstran, adalah buku yang wajib dibaca untuk seluruh anak muda Indonesia.

Di depan umpak, ada batu prasasti yang dibalut kain kuning dan putih lengkap dengan sesaji. Sempat bertemu anggota Saver pemberi briefing lalu. Kali ini, ia memakai jaket hitam bertuliskan “Save Our Semeru”. Rasanya pengin saya minta. Tapi, mana saya berani?

Kami bercakap sederhana. “Selamat ya, Mbak,” ucapnya. “Terima kasih, Mas,” saya menjawab ramah. “Sudah berapa kali ke Semeru, Mbak?” ia bertanya lagi. “Cukup satu kali ini saja, Mas,” saya menjawab dengan intonasi humor. “Kenapa?” tanyanya penasaran. “Treknya menyebalkan!” saya menjawab disambut dengan tawa kami semua.

Jonggring Saloko bersenggama kembali, mengeluarkan awan putih semu kelabu. Magis! Tiada yang lebih indah dari negeri ini. Alamnya yang dahsyat, manusia yang sederhana, dongeng yang melegenda, dan keberagaman segala makhluk yang bernaung di Zamrud Khatulistiwa.

Berlutut di samping sesaji, tangan menyentuh pasir, melantunkan syukur dan puji kepada Tuhan. Saya melompat kecil ketika berdiri, bahagia bisa berada di tigaenamtujuhenam meter di atas permukaan air laut ini; Mahameru. Angga yang melihat kegirangan kecil saya itu, tersenyum tipis. “Gue senang banget!” saya berteriak.

Tos!

***

Kami kembali menyusuri tebing curam. Ini momen terasyik dalam hidup saya: bermain perosotan di gunung! “Masih ingat caranya, Kak?” tanya Angga kepada saya. “Masih,” jawab saya singkat. Kemudian Angga memberi tahu teknik menuruni trek pasir kepada tante, “Pertama, jalan dengan badan tegak menggunakan tumit. Tumit akan otomatis berhenti menahan. Kedua, kaki agak diayun. Ketiga, kalau kira-kira mau jatuh, kaki dan badan dimiringkan. Jadi, jatuhnya ke samping, bukan ke depan.”

Selama satu jam berjalan turun, kami mempraktikkan teknik itu. Asyik sekali. Tetapi tidak sembarang asyik, harus tetap fokus. Sama seperti anjuran ketika naik; hindari batu! Tebing curam membuat batu mudah sekali menggelinding. Telinga harus peka, jika terdengar teriakan “rock/batu”, harus segera mungkin menghindar ke sisi pinggir jalur, karena arah jatuh batu itu pasti lurus. Begitu juga ketika tidak sengaja menginjak batu, wajib untuk berteriak kata yang sama, memberi peringatan kepada pendaki di bawah.

Kami sempat bertemu dengan pendaki yang kehausan dan meminta air minum. Untungnya, Angga memutuskan membawa satu botol besar air kemasan yang ditemukan di puncak tadi. “Bawa saja, Mas. Pasti nanti ada yang minta,” ucap anggota Saver tadi.

Kami juga bertemu dengan pendaki dari China dan seorang fotografer yang tertinggal dari kelompok. Wajahnya pucat pasi. Perempuan itu tampak putus asa. Mereka meminta ikut menuju Kalimati, dan kami akhirnya berjalan bersama masuk hutan.

Segala usaha yang tidak kenal lelah pasti ada hasilnya. Mendaki gunung buat saya bukan hal yang main-main, bukan pula unjuk kesombongan di puncak-puncak gunung. Segala persiapan, latihan fisik selama satu bulan sebelum pendakian saya selesaikan di kota. Di atas gunung, tugasnya hanya bergelut dengan mental. Pemenang adalah mereka yang mencintai keberanian hidup, sabar berjuang melawan diri sendiri, di Mahameru.

***

Sementara, Tukul sudah rampung menyiapkan semua makanan ketika kami sampai di Kalimati. Sepertinya segala bahan makanan dimasak olehnya. Nasi, soto, ikan asin, telur sosis, tempe, kerupuk, sambal, buah nanas, semua tumpah ruah di atas meja. “Habiskan!” perintahnya lantang.

Makan lagi!

Baca juga:

  1. Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo
  2. Mengukir Cinta Menuju Kalimati

2 thoughts on “Melawan Keangkuhan di Puncak Abadi Para Dewa

  • September 17, 2018 at 8:55 am
    Permalink

    Trekk ke summit ini aja sih yang berat menurut gue. Disabar-sabarin.

    Kemping Ranu Kumbolo aja, Bim. Cuantik!

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *