Take nothing but picture.
Leave nothing but foot print.
Kill nothing but time.
-Baltimore Grotto Org.-
Kata orang, Surya Kencana dan Mandalawangi adalah rumah terakhir untuk senduro. Di Bromo, bunga itu sudah punah. Habis dimakan oleh tangan-tangan jahil manusia yang memetik dan menaruhnya di pot dan diletakkan pada sudut rumah. Ia juga pernah menjadi pengganti mawar sebagai lambang keabadian cinta. Rumahmu bukan rumahnya. Maka, jangan pernah memetik senduro. Biarkan ia mekar abadi di rumahnya sendiri, di Surya Kencana.
***
Cibodas dini pagi ini dihiasi oleh temaram sisa purnama kemarin. Bulan yang masih menyisakan sedikit cahaya kuning pucat di angkasa. Angin dingin pegunungan berembus sederhana, tidak sampai menusuk kulit. Di sini, orang-orang tetap lalu lalang. Warung-warung tetap buka, walaupun tidak ramai, namun tetap menyala, mempersilakan siapa saja untuk singgah kapan saja. Beberapa orang mengenakan sarung dan kupluk menawarkan villa, serta para pendaki hilir mudik entah hendak mendaki atau baru turun gunung. Di Warung Umi, saya mengamati itu semua dengan segelas teh manis panas.
Pagi ini, sekitar jam tiga dini hari, saya dan si Bontot, Drian, beserta dua orang sepupu, Dewi dan Nug, sampai di Cibodas setelah melakukan perjalanan selama tiga jam dari Jakarta. Dengan motor! Perjalanan yang cukup membuat pantat pegal. Kami sempat berhenti di jalan selang beberapa saat memasuki kawasan Puncak untuk memakai jaket yang lebih tebal dan sarung tangan.
Di Warung Umi, salah satu dari banyaknya warung yang berada di kawasan Cibodas, kami menunggu terang. Ada kelompok lain tengah bersiap untuk memulai pendakian. Waktu masih menunjukkan pukul setengahempat pagi. Dalam lesapan teh panas, saya menerawang memikirkan apa alasan mereka untuk memulai pendakian begitu dini. Mungkin mereka akan mendaki melewati jalur Cibodas, mencoba menjawab pertanyaan sendiri. Jalur Cibodas memang lebih landai dibanding dengan Putri, tetapi trek-nya lebih berkelok-kelok dan tentu saja lebih lama. Mungkin mereka berharap sampai di Kandang Badak—pos terakhir sebelum Puncak Gede— tidak sampai malam hari. Masuk akal.
***
Seperti pasar malam. Riuhnya menyamarkan gemericik pengairan perkebunan sayur warga, pintu masuk Gunung Putri subuh itu. Para pendaki memenuhi jalanan, warung-warung, dan rumah-rumah penduduk yang menjadi tempat persinggahan. Ya, Gunung Gede memang tempat favorit para pendaki untuk didaki. Selain akses yang mudah dijangkau, gunung yang memiliki punggung yang sama dengan Pangrango itu memiliki jalur yang direkomendasikan untuk pendaki pemula. Tak arang, Gunung Gede selalu dipenuhi para pencari ketinggian, terlebih pada hari libur seperti saat ini.
Kami berempat memulai pendakian dengan melewati jalan setapak di antara kebun-kebun sayur warga. Sawi, kubis, dan bawang hampir panen. Matahari masih malu-malu. Ia masih bersembunyi di balik awan di ujung Timur. Hanya bias cahaya oranye mulai menyinari langit biru. Di ujung kebun warga, sebelum masuk hutan, kami menunggu detik demi detik bola emas itu naik bersinar bulat.
Ini adalah ketiga kalinya saya mendaki Gunung Gede. Waktu pertama kali, boro-boro senduro mekar, Surya Kencana dan Puncak Gede hanyalah kabut putih dengan rasa kelu oleh dingin. Yang kedua, nasib sedikit beruntung. Senduro mekar waktu itu, walaupun Puncak tetap kabut. Setidaknya, kala itu, untuk pertama kalinya saya melihat langsung bunga abadi. Limabelas tahun berselang, di dalam langkah pelan, melewati gerbang selamat datang, saya masuk hutan untuk mendapatkan keberuntungan melihat senduro mekar di antara langit cerah Gunung Gede.
Trek Gunung Putri didominasi oleh jalan setapak tanah dan akar yang menukik tajam. Tanah landai atau yang biasa disebut dengan “bonus” sangat jarang ditemukan. “Gila, bonusnya cuma lima meter doang.” celoteh seorang pendaki yang seketika diikuti tawa riuh pendaki lain yang mendengar. Sesama pendaki memang selalu bertegur sapa jika kebetulan bersama-sama atau berpapasan di tengah jalan. Itu sudah pasti. Jangankan berbagi tawa, mereka juga pasti saling berbagi makanan dan minuman serta pertolongan antar kelompok. Ini yang saya suka dari mendaki gunung. Rasa yang tidak ditemukan di tempat lain. Rasa yang mengubah hawa dingin yang menusuk kulit menjadi sesuatu yang hangat menyenangkan. Rasa adiktif untuk rindu kepada gunung.
Mendaki gunung adalah cara saya untuk “sembuh” sekali lagi. Setiap tanah yang dipijak ada pelajaran bahwa ego harus dikubur. Setiap akar yang digapai adalah tangan-tangan yang selalu mengulurkan pertolongan. Setiap batu yang angkuh di puncak sana, bisa saja jatuh dan pecah menjadi butiran pasir tanpa arti. Gunung, buat saya mengingatkan bahwa manusia hanyalah pasir kecil dan tetap akan menjadi pasir walaupun sedang di puncak sekalipun.
Mencapai puncak bukan tujuan saya mendaki gunung. Menikmati setiap detik petualangan adalah nyawa perjalanan itu sendiri. Tidak ada yang mesti diburu. Bukan pula ajang adu cepat. Di dalam hutan ini, saya berjalan pada tanah dan akar pohon yang menukik dengan sangat perlahan. Setiap napas yang terhirup adalah kaki kanan yang terangkat dan setiap embusan yang keluar adalah kaki kiri yang kembali pada tanah, adalah tempo yang konstan namun perlahan.
Pendamlah dirimu sesekali saja di dalam hutan, berjalan dengan tempo yang konstan walau perlahan, merayap di antara tanah dengan akar-akar yang menjulur, membiarkan sinar Matahari menyusup di sela-sela rapatnya ranting pohon, pun kicauan burung dan derik jangkrik yang terdengar bagai orgel gereja yang meneduhkan hati, maka kau akan ingat atas rasa syukur yang sepatutnya kau lantunkan.
***
Enam jam di dalam hutan pun berlalu. Terdengar suara adzan yang dikumandangkan orang-orang. Suara itu kemudian dibawa angin dan digaungkan oleh dinding-dinding lembah. Pohon hutan sudah tidak tinggi dan rapat lagi, berganti dengan senduro yang terlihat lamat-lamat. Batangnya kuat, daunnya yang hijau muda sebagai tempat persemaian malai putih bunga abadi. Tersebar di seluruh penjuru lembah. Saya tiba di Alun-alun Surya Kencana.
Senduro mekar Juli ini. Di antara April hingga September, ketika Matahari memancar puas pada Khatulistiwa, senduro memesona. Kelopaknya terbuka oleh angin kemarau, memperlihatkan serbuk sari kuningnya. Senduro tumbuh pada tempat dengan ketinggian duaribu di atas permukaan air laut, seperti pada lembah ini. Ia hidup dengan suhu udara dan lembab gunung.
Saya menyusuri kelompok tiap kelompok senduro tumbuh. Ada yang masih malu-malu, ia masih muda nan pendek; ada pula yang liar seperti remaja akil balik; ada pula yang tumbuh secara wibawa seperti manusia dewasa tigapuluhan; lalu ada pula yang tua di ujung sana, memperlihatkan pengalamannya yang telah melalang buana, menjulang setinggi dua meter, melindungi kami semua.
“Mbak, kita mendirikan tenda di sini saja.” ucap si Bontot yang keluar dari semak. Ia melanjutkan, “Banyak pohon, jadi terlindung kalau ada angin kencang dan hujan. Tenda tidak ada flysheet.” Kami mendirikan tenda pada tanah landai yang dikelilingi sendaru dewasa. Tali temali kami ikatkan pada batang sendaru yang kuat, membantu pasak yang tertanam di tanah.
Semilir angin sore, di antara senduro dewasa, kami bercakap tentang pendakian tadi, serta pengalaman demi pengalaman yang telah kami lalui masing-masing. Tidak ada deru berisik kota, hanya ada ruang di antara senduro; di antara kepulan uap hangat dari gelas plastik berisi kopi, cerita mengalir tanpa henti. Angin menemani kami dengan suara senggama pada malai senduro, di sudut Surya Kencana.
***
Sementara senduro adalah sebuatan untuk Edelweiss jawa. Ia mekar abadi di puncak-puncak gunung. Gunung Gede dan Pangrango adalah rahim senduro, tempat ditemukan untuk pertama kalinya, dua abad yang silam, rumah pertamanya.
***
Baca juga: Sembuh Sekali Lagi di Gunung Gede
Wakakakakakakak. Bodoh! Food. Duh, makasih dikoreksi. Pasti saling berkunjung. Kan web lo udah gue subscribe, jadi pasti muncul di email.