“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”
—Pramoedya Ananta Toer—
***
Ini hari Minggu. Mentari malu-malu menyibakkan malai-malai edelweiss yang bergerak menari, membentuk bayang-bayang di balik tenda. Suara orang berbincang sederhana di luar, berusaha mencari kehangatan dari kopi pagi hari. Di dalam kantung tidur, saya sekuat tenaga meluruskan kaki yang linu luar biasa. Meregangkan otot-otot yang sejak kemarin bekerja keras. Masih di Surya Kencana, di awal Juli.
Saya berkeliling di lembah Surya Kencana. Tenda-tenda semakin banyak. Di dekat kami, yang berlindung pada edelweiss yang sama, ada sekitar tujuh tenda. Belum termasuk tenda di luar sana, di setiap sudut Surya Kencana, dari Timur sampai Barat.
Tenda terpal besar milik warga yang berjualan pun tak mau kalah. Di beberapa gunung, selain menjadi porter, warga sekitar memang berprofesi sebagai pedagang makanan dan minuman. Mereka menggelar lapak di pos-pos pemberhentian bahkan ada yang di puncak. Seperti di Gunung Gede ini, satu gorengan dihargai Rp2.000. Bahkan, di Rinjani, satu kaleng minuman ringan dijual dengan harga Rp50.000! Harga yang dirasa pas untuk segala perjuangan hidup.
Berkeliling pada satu tanah lapang di sisi timur Surya Kencana, mengambil foto demi foto dari gawai, seraya menyaksikan Matahari yang bergerak ke atas, menyembul di antara semak-semak. Mencari kehangatan dari riuhnya dingin udara, membiarkan sinarnya masuk melalui pori-pori kulit. Matahari adalah momen terbaik di atas gunung.
Orang-orang pun melakukan hal yang sama, menikmati lembah dengan bunga edelweiss yang tumbuh menyebar, pada Minggu pagi yang cerah. Seperti acara hari tanpa kendaraan jalan protokol di kota-kota besar saja. Tetapi di sini lain. Di Surya Kencana, udara yang dihirup terasa berbeda. Saya mencintai tempat ini.
Hari ini, kami akan melanjutkan pendakian menuju Puncak Gede, dan dilanjutkan turun menuju Cibodas, rute yang berbeda dari kemarin. Tepat jam sembilan pagi, kami bergegas membelah lembah dari timur menuju barat, meninggalkan Surya Kencana.
Trek menuju Puncak Gede tidak jauh berbeda dari jalur Gunung Putri kemarin. “Sama-sama berat!” saya bergumam dalam hati. Tapi saya tak patah arang. Jalan setapak curam dengan akar-akar yang menjulur ke atas tanah itu seolah tangan yang mengulurkan pertolongan. Jalanan dengan tangkai-tangkai pohon kecil namun kuat itu memberi pegangan pada tubuh yang lunglai. Jalanan dengan pohon-pohon besar tempat bersandar di kala istirahat. Mereka baik adanya, penolong wajah-wajah pucat namun tak lepas semangat.
Tidak pernah sekali saja saya meremehkan satu gunung pun. Berusaha untuk tidak mentang-mentang berhasil mencapai Puncak Rinjani, lalu menganggap gampang Gede atau gunung lain yang, katanya, lebih mudah didaki. Tidak, tidak begitu. Beberapa hari sebelum mendaki saja saya masih berpikir, bagaimana jika saya tidak mampu? Bagaimana jika saya kalah atas diri sendiri? Itu bisa saja terjadi. Mungkin sekali. Saya tidak tahu. Bahkan, saya tidak tahu apa yang akan terjadi lima menit di hadapan. Menghadapi yang tanda tanya.¹
Bagi saya, setiap gunung punya energinya sendiri. Dalam urusan mendaki, bukan hanya fisik yang dipersiapkan, mental harus kuat. Ego dikubur, congkak dilebur. Yang ada hanyalah jiwa yang siap diisi energi yang diberikan oleh gunung tadi. Fisik takkan ada artinya jika tidak memiliki kekuatan mental.
Di tengah hutan ini, setengah perjalanan menuju puncak, bersandar pada sebuah pohon, saya beristirahat, menahan segala umpat. Satu teguk air putih membasahi mulut dan kerongkongan yang mengering. Mengendurkan sejenak jantung yang berdegub kencang. Membuat semua kembali normal, mengumpulkan segala sesuatunya untuk terus berusaha mencapai puncak.
Kembali berjalan pada ketukan langkah yang sangat pelan. Langkah pelan yang saya jaga untuk tetap konstan. Setiap napas yang terhirup adalah kaki kanan yang terangkat dan setiap embusan yang keluar adalah kaki kiri yang kembali pada tanah. Saya berjalan menunduk dengan sesekali melihat trek di depan, berpegangan pada akar yang menjulur ke luar, menarik tubuh, mengangkat dan meletakkan kaki di tanah yang lebih tinggi dari sebelumnya, lalu berdiri lagi. Begitu saja terus. Terus dan terus sampai akhirnya saya tiba di ketinggian duaribusembilanratuslimapuluhdelapan meter di atas permukaan air laut, masih pada satu hari Minggu.
Ramai sekali Puncak Gede. Orang-orang berjejalan berfoto, berlomba mencari pemandangan yang bagus sebagai latar belakang. Di ujung sana, Pangrango tak kalah megah berdiri, gunung yang belum pernah saya jejaki. Mungkin lain kali. Gunung dengan lembah Mandalawangi, rumah lain untuk bunga abadi. Di bawah sana, kawah berwarna hijau mengeluarkan asap tipis. Dinding-dinding kaldera yang menawan. Edelweiss di kanan kiri. Indah. Saya bersyukur, untuk pertama kalinya saya melihat cerah mentari di Puncak Gede.
Dewi, sepupu yang baru pertama kali mendaki gunung, pun berhasil mencapai puncak. Dia menangis terharu. Terharu atas perjuangannya mencapai tempat tertinggi. Tempat dengan pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya, “Lebih bagus dari pemandangan yang dilihat dari hotel, Mbak.” ujarnya dengan napas yang masih tersengal.
Saya tertawa geli. Dia membandingkan pemandangan yang bisa dilihat menggunakan lift dengan yang digapai dengan keberanian hidup. Tetapi biarlah, biar dia melihat dan merasakan karya kebesaran Tuhan. Membiarkan dia menjadi butiran pasir tanpa arti di atas sini, seperti yang saya rasakan.
Mungkin ada sebagian orang tidak tahu apa yang benar-benar saya rasakan ketika berada di atas sini. Mereka bertanya, apa yang dicari? Bagi saya, mendaki gunung bukan soal keangkuhan atas puncak-puncak, tapi bahwa setiap yang dipijak, saya belajar untuk turun satu tangga lagi dalam hal keegoisan manusia. Bahwa ada rasa cinta dan kekuatan yang timbul pada bunga edelweiss; pada hutan dan jurang; pada danau dan tanah sepi yang dingin; pada langit dan kabut; dan pada keberanian. Kekuatan untuk selalu rindu dan kembali ke gunung, untuk “sembuh” sekali lagi.
***
Lalu siang itu, masih hari Minggu, kabut mulai menyusup ke atas melalui hutan-hutan, keluar, menaiki lereng-lereng kawah, menandakan kami semua harus bergegas meninggalkan puncak dan kembali berada di dalam hutan. Matahari yang sedari tadi memancar puas, kini meredup oleh pohon-pohon. Tanah lembab kembali menyisakan jejak-jejak yang tertinggal dan kaki yang mulai gemetar, yang terasa lebih sakit.
Berjalan turun itu memang lebih sakit dibanding naik. Ketika naik, beban terbantu oleh tangan yang menggapai apa saja. Tetapi kalau turun, semua bertumpu pada kaki. Jadi bisa saja, waktu turun lebih lama ketimbang naik. Keringat mengucur deras, saya berharap penderitaan ini segera berakhir.
Alangkah bahagianya saya ketika akhirnya sampai di Kandang Badak. Kami beristirahat di pos pertama setelah menuruni puncak di rute Cibodas itu. Kandang Badak yang ramai. Orang merebah pada tanah. Tanah yang lembab, merasakan kulit menyentuh tanah merah itu. Menyeka keringat yang mengucur dengan udara yang segar; berlindung pada hutan yang ramah. Di antara aroma kopi panas yang menguap menuju pinus-pinus tinggi, kami berlindung dan melepas lelah.
Saya melihat sekitar, pada lebat hutan yang, entah mengapa, mengingatkan kembali ketika pertama kali mendaki gunung. Kira-kira pertengahan tahun 1999, kelas satu SMA, Gunung Ciremai. Itu adalah perkenalan saya dengan gunung dan lalu jatuh cinta. Ya, saya mencintai gunung dan segala energi dan kekuatannya.
Kami juga sempat beristirahat di Air Panas. Merendam kaki pada aliran air hangat, mengendurkan otot-otot kaki yang mengencang, pun bersenda gurau dengan pendaki lain yang juga berada di sana. “Wah, ini sih kasihan Mas yang di paling bawah. Paling banyak terkena daki.” gurau seorang pendaki yang diikuti tawa renyah lainnya. Sungguh, sesuatu tak ternilai yang hanya dijumpai ketika mendaki gunung.
Lalu kembali menapaki hutan.
Hutan yang tak terputus. Hutan dengan jalanan batu landai tapi menyakitkan. Memberi tekanan pada telapak kaki yang sedari tadi lemah, pada hari yang mulai gelap. Saya kembali berharap agar semua ini cepat berlalu.
Lambat waktu, suara adzan dan deru kendaraan yang terdengar jauh di sana. Makin lama makin dekat, sehingga akhirnya kami melihat sebuah bangunan dengan terang lampu neon. Kami sampai di Cibodas.
Suara air yang mengalir pada parit di sepanjang jalan menyelesaikan segala perjuangan. Lapak-lapak pedagang masih ramai bergeliat menawarkan penganan dan cinderamata. Mengantarkan kembali ke tempat pertama kali kami memulai.
Di Warung Umi, di Minggu malam, dalam lesap demi lesap kopi panas, saya mengulang memori, bahwa saya berhasil mencapai Puncak Gede dengan sinar Matahari yang mencerahkan pemandangan serta harapan akan bertemu dengan Pangrango dan Mandalawangi di waktu yang akan datang.
***
Sementara, Gede dan Pangrango adalah dua saudara yang kadang tampak kejauhan di balik polusi Ibukota.
***
¹. Mandalawangi – Pangrango oleh Soe Hok-gie.
Baca juga: Bunga Senduro di Surya Kencana