Mengapa batu?
Karena sebuah peradaban berawal dari batu dan akan begitu pulalah ia akan berakhir.
***
Wot Batu, sebenarnya tidak masuk dalam rencana perjalanan Bandung kami—saya dan Bulan. Saya menemukannya di mesih pencari daring, ketika kami bingung hendak ke mana lagi setelah dari Tahura.
“Dekat kok. Enggak sampai 1km,” ucap saya kepada Bulan. Maka bergegaslah kami menuju Wot Batu dengan sepeda motor sewaan.
Ihwal cerita mengenai Wot Batu:
Ini adalah sebuah karya dari perjalanan spiritual Sunaryo sebagai seniman. Pada mulanya ia kumpulkan beberapa jenis material alam seperti batu, semen, minyak, dan lainnya. Sang seniman kemudian berpikir, manakah dari material-material tersebut yang mampu merepresentasikan perjalanan spiritualnya. Hingga akhirnya ia memilih batu.
Ingatkan kalian mengenai penciptaaan alam semesta? Menurut teori astronomi, Ledakan Besar mengawali terjadinya alam semesta. Teori yang biasa disebut dengan Big Bang itu, mengisahkan sebuah superatom padat dan panas yang bergerak secara perlahan menjadi besar. Ia berputar seperti gasing, dengan satu titik panas di tengahnya. Ia pun semakin memadat dan terus memanas. Ia kemudian meledak. Memuntahkan seluruh isinya, dan terjadilah alam semesta.
Batu juga tercatat sebagai peradaban pertama dalam sejarah purba. Batu juga menjadi penanda berakhirnya peradaban itu sendiri. Bagaimana seorang arkeolog bisa menghitung usia sebuah peradaban adalah dengan meneliti sebuah batu.
Batu, adalah material sebagai tanda awal dan akhir sebuah peradaban. Ia adalah tanda zaman.
Itu sebabnya, mengapa pada akhirnya Sunaryo memilih batu sebagai media dalam medium perjalanan spiritualnya itu.
Memasuki Wot Batu, saya seolah melewati semacam lorong waktu yang membawa saya pada dimensi yang lain, masuk ke ruang hampa alam semesta; ruang kosong pada rongga perut; masuk ke peradaban purba. Menelanjangi diri dari segala pakaian modernitas. Membiarkan telapak kaki menyentuh batu-batu kerikil yang berserakan, sama seperti Adam dan Hawa untuk pertama kali turun ke Bumi. Berjalan memutar melawan arah jarum jam, seperti perjalanan planet-planet berevolusi pada Matahari.
Memasuki Wot Batu, saya disambut oleh Batu Abah Ambu. Ialah lingga dan yoni, sebagai simbol energi maskulin dan feminin. Dalam mitologi Hindu, lingga dan yoni merupakan simbol sakral sebagai petanda awal terciptanya sebuah kehidupan. Bukankah Dewa Syiwa dan Dewi Tara adalah lingga dan yoni itu sendiri? Dan bukan sebuah kebetulan, setelah ditelusuri silsilahnya, batu yang Sunaryo letakkan di awal medium perjalanan spiritualnya itu, berasal dari India dan Bali, rumah mitologi Hindu.
***
Berada di Wot Batu seperti berada di ruang hampa alam semesta. Yang terdengar hanyalah dengung suara yang entah dari mana asalnya. Apakah ia angin atau ia air.
Setelah dari Batu Abah Ambu, saya berjalan menuju Batu Mandala. Mandala, pun erat hubungannya dengan mitologi Hindu dan Buddha. Ia adalah simbol mikrokosmos, dengan bagian tengahnya merupakan pusat meditasi menuju Sang Makrokosmos.
Mandala, juga merupakan alam semesta itu sendiri. Ia adalah gasing spiritual yang di akhir zaman akan meledak, lalu lahir kembali. Ia akan terus berputar pada poros yang seimbang. Mandala adalah satu siklus kehidupan.
Di depan Batu Mandala, saya bergerak menuju Batu Perahu. Batu, sebagai media manusia dalam mengarungi samudera kehidupan. Sebuah perahu batu dengan arah haluan memandang Barat, Kota Bandung, kota tempat ia hidup dan berkarya selama ini; kota yang, barangkali, ia cintai sepenuh hatinya.
Satu hal yang juga menarik, di dekat Batu Mandala ada sebuah garis merah yang mengarah sejajar dengan arah haluan. Jika ditarik garis lurus secara imajiner, garis itu akan menerus sampai menuju Mekkah.
Bukan sebuah kebetulan ketika Sunaryo pernah dengan sengaja mengambil batu dari Gua Hira untuk dimasukkan dalam karyanya. Padahal, barang siapa yang mengambil batu dari Gua Hira, akan mengalami masalah atau musibah dalam perjalanan berikutnya.
Namun, mitos itu ia patahkan. Sebuah niat baik menuntunnya pada keselamatan. Kini, batu itu berada di dalam mushola, bangunan yang awalnya tidak ada dalam rencana.
Lepas dari Batu Perahu, saya masuk lebih dalam. Melewati Lawang Batu, gapura batu dengan ukiran sidik jari sang seniman sendiri. Setiap manusia lahir dengan sidik jari yang berbeda-beda. Menandakan kehidupan setiap individunya pasti berbeda. Sementara, dalam dunia teknologi modern, sidik jari merupakan tanda pengenalan manusia itu sendiri.
Saya terus menyusur Wot Batu. Melewati Lawang Batu menuju sebuah kolam, Infinity Pool, dengan jajaran batu di tengahnya yang diberi nama Batu Air. Air adalah salah satu elemen pencipta alam semesta. Ialah satu dari Panca Mahabhuta. Air si Apah atau Rasa Tanmatra; darah, keringat, liur manusia.
Duduk di atas batu yang berada di tepian kolam, yang diperlukan hanyalah diam sembari memandang pemandangan yang terhampar dengan bunyi gemericik air. Sunyi. Hening. Batu itu memberi kesempatan kepada saya bahwa kita semua menjadi bagian dalam sebuah semesta, menjadi penghubung antara manusia dengan alam raya secara nyata.
Begitu besar dan dalam makna yang ingin disampaikan oleh sang seniman, bukan?
***
Setengah bagian telah lewat. Saya, lalu menapaki jembatan batu-batu dengan aliran air di bawahnya, memasuki setengah bagian lainnya.
Saya kemudian memasuki ruangan gelap dengan gemuruh suara. Sebuah visual tentang Ledakan Besar ditembakkan pada satu batu di ruangan Batu Ruang. Di sini, saya melihat, bahwa Bumi yang kita tempati saat ini hanyalah satu yang terkecil dari material yang berserakan di alam semesta. Saya berpikir, begitu dahsyat alam raya semesta kita, dan sudah semestinya, manusia tidak boleh angkuh untuk menetapkan bahwa hanya kitalah kehidupan. Tidak.
Batu Ruang juga mengingatkan saya pada elemen lain Panca Mahabhuta. Ialah Akasa, ruang tanpa oksigen; rongga perut di bawah hati manusia; Sabda Tanmatra.
Selesai dengan Batu Ruang, di sisi kiri terdapat tumpukan sepuluh batu yang tersusun secara vertikal. Ialah Batu Sepuluh.
Di sini Sunaryo sekali lagi ingin mengingatkan bahwa sejatinya, hidup itu harus seimbang. Keseimbang antara otak kiri dan otak kanan, bahwa hidup itu harus seimbang antara emosi dan logika; seimbang antara hubungan vertikal dan horizontal, terhadap sesama manusia serta makhluk hidup lainnya dan kepada Tuhan. Maka dari itu Batu Sepuluh ia buat sebagai penyeimbang susunan batu-batu horisontal lainnya.
Menurut cerita, ada beberapa tamu yang bertanya, apakah Batu Sepuluh merepresentasikan 10 Perintah Allah. Di Wot Batu, orang boleh merepresentasikan secara bebas, tergantung dari rasa yang berhasil ditimbulkan. Namun yang pasti, instalasi batu di Wot Batu dibuat secara organik. Ketika menyusun Batu Sepuluh, Sunaryo merasa cukup ketika batu kesepuluh berhasil diletakkan. Maka jadilah Batu Sepuluh. Ketika ada orang lain menganggap Batu Sepuluh sebagai representasi dari 10 Perintah Allah, itu boleh saja. Toh, dengan begitu, Wot Batu berhasil memberi tempat pada agama-agama yang ada di Indonesia melalui susunan batu-batu, dan itu baik adanya.
Baik.
Saya terus maju, menuju Batu Seke yang berada di balik di depan Batu Sepuluh. Seke berarti mata air. Batu Seke itu Sunaryo dapatkan dari sebuah gunung dengan sungai mengalir di lerengnya. Dalam proses perpindahan batu itu, Sunaryo banyak menemukan kendala, seolah batu itu tidak mau berpindah tempat. Sunaryo percaya setiap benda yang berada di alam semesta ini memiliki rohnya sendiri, maka, batu itu ia perlakukan seperti di tempat asalnya, di sebuah sungai dengan air yang mengalir. Jadilah Batu Seke.
Air dari Batu Seke kemudian mengalir pada sebuah kolam, dengan pohon bodi di seberang, dekat dengan Batu Mandala. Air itu terus mengalir sampai ke Infinity Pool.
Batu-batu di Wot Batu merupakan batuan vulkanik, karena menurut Sunaryo, batu vulkanik adalah batu yang benar-benar berasal dari dalam perut Bumi. Ia batu gunung. Sementara, kebanyakan mata air, berada di atas gunung. Wot Batu juga memberi tanda mitologis bahwa gunung, dengan bentuknya yang segitiga, adalah sebuah jembatan penghubung antara mikrokosmos menuju makrokosmos di atas.
Pada akhirnya, lepas semua batu, ada Batu Waktu. Batu dengan roda gir yang berputar sebagai penanda waktu itu sendiri. Di atas Batu Waktu, sebuah amanat Gunung Galunggung terukir dalam bahasa Sansekerta “hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke,” yang memiliki arti “ada sekarang ada nanti, tidak ada sekarang tidak ada nanti,” bahwa hidup yang sekarang adalah akibat dari hidup terdahulu. Adalah benar, adanya hubungan sebab akibat dari sebuah keberlangsungan hidup.
Itulah sekelumit perjalanan menyusuri batu-batu di Wot Batu. Selain batu yang saya sebutkan di atas, ada juga instalasi batu sebagai pelengkap Panca Mahabhuta. Batu Api melambangkan Tedja atau panas tubuh manusia; Wot Batu atau Jembatan Batu atau Pratiwi atau Gandha Tanmatra, bumi itu sendiri; dan Batu Angin atau Bayu atau napas manusia. Semuanya berhasil membawa saya mengarungi alam semesta yang sudah terbentuk dari milyaran tahun lalu.
Pada akhirnya, saya duduk termenung di atas Batu Merenung yang berada di dekat Batu Abah Ambu, di bawah sebuah pohon bayan. Batu itu berbentuk seperti sandaran tangan. Melihat semuanya dengan diam.
Sementara, Wot, dalam bahasa Jawa berarti jembatan. Di Wot Batu, sang seniman berusaha membuat jembatan, dengan segala konsepnya, sebagai peralihan untuk memasuki dunia tanpa oksigen atau alam purba.
https://www.instagram.com/p/Bw6njueD–R/