Pada mulanya, kami—saya dan Missika— berencana akan melakukan perjalanan ulang tahun ke Goa Langse, Parangtritis. Kemudian, dengan banyak pertimbangan seperti, lokasi yang jauh dan citra saya sebagai anak gunung agar tetap berdiri teguh, kami memutuskan untuk merayakan hari jadi di Bukit Turgo. Bukit Turgo sendiri berada di Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta.
Rencana itu juga tidak berjalan mulus. Rencana berangkat pada subuh untuk mengejar Matahari terbit, berubah menjadi jam sebelas siang. Jeda waktu yang jauh bukan? Namun, seorang Sagitarius akan tetap menjadi Sagitarius, walau banyak kendala, kami tetap manusia setengah kuda yang berkomitmen melakukan rencana pemburuan dengan membawa busur dan panah sampai titik darah penghabisan.
Syedaaap.
Mari!
Tepat pukul sebelas siang seperti yang sudah saya tulis di atas, dengan sepeda motor saya yang hitam legam seperti kuda Sumbawa, melaju menuju Turgo, desa paling utara lereng Merepi. Dari Jalan Monjali, saya terus malaju gas motor sembari berdoa agar si hitam manis kuat menggerus kejamnya jalanan yang sama sekali tidak terdapat turunan.
Sampai di simpang Desa Candi, kami bingung mengambil arah yang mana. Insting saya mengatakan bahwa kami harus mengambil arah utara, sedangkan Missika berpendapat mengambil arah barat. Ini aneh, sudah jelas Turgo itu berada di utara, mengapa kembaran saya beda tahun ini berteguh hati mengambil arah barat? Namun saya sudah terbiasa dengan absurditas yang ia miliki.
Kami berhenti di simpang itu. Maksud hati melihat peta penunjuk jalan. Namun apa daya, setelah membuka telepon genggam, kok ya tidak ada sinyal. Ealah, Jon!
Saya berkata kepada Missika, “Mbak, logikanya ya kalau mau ke Turgo itu ya belok kanan ke utara, mosok iya ke barat.”
“Ya sudah, coba itu tanya ibu yang lewat itu,” jawab Missika.
Perempuan berwajah Sumba berlogat Jawa itu kemudian bertanya kepada seorang ibu yang sedang berjalan dengan sunggian kayu bakar di punggungnya.
“Nderek langkung, Bu. Nek menawi ajeng nang Turgo arah pundi?”¹ tanya Missika.
“Ngalor bablas. Ampun menggok-menggok!”² jawab si ibu dengan suara lantang hampir teriak sambil terus berjalan.
“Inggih, Bu. Suwun,”³ balas Missika.
Missika kemudian berjalan menghampiri saya yang menunggu di seberang jalan sambil mendumal, “Asyemik, aku malah diseneni.”⁴
Saya terkekeh. Nada suara si ibu memang terdengar keras, seperti sedang memarahi. Mungkin pikirnya, wong sedang gendong kayu berat-berat kok malah diberhentikan.
“Ampun menggok-menggok!” ucap Missika mengulang kata-kata si ibu.
“Ampun, Mbak,” canda saya.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan terus ke utara menuju Turgo. Kami sebenarnya tidak begitu tahu tujuan jelas kami, pokoknya ke Bukit Turgo. Di Bukit Turgo itu ada apa juga kami tidak begitu tahu, hanya satu informasi yang saya dapat bahwa di sana ada kuburan Mbah Turgo.
Sebentar. Kuburan? Mbah Turgo? Sagitarius memang aneh.
Tenang, Pemirsah. Kami tidak sepenuhnya memiliki niat untuk berwisata religi ke makam Mbah Turgo. Kami hanya ingin merayakan ulang tahun! Sekaligus, saya berencana melakukan riset tentang kopi untuk kebutuhan naskah fiksi saya yang entah kapan akan selesai.
“Sik, mandek sik!”⁵ seru Missika ketika kami hampir melewati gapura bertuliskan Sugeng Rawuh Ing Turgo.
“Halah! Kakehan mandek,”⁶ jawab saya kesal sembari berhenti mematikan mesin si hitam. Walaupun ya baru sekali ini juga berhenti, tapi tidak apa-apa, yang penting marah-marah dulu. Ciri khas nitizen masa kini.
Setelah mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan. Keadaan jalanan yang semula sepi, kini bertambah sepi. Hutan di kanan-kiri semakin lebat. Embun mulai turun. Sempat melewati sebuah kedai kopi, tapi kedai dalam keadaan tutup. Pikir saya, nanti lepas selesai berwisata, mungkin kedai akan buka dan kami dapat mampir. Selalu banyak kemungkinan bukan?
Kami terus melaju. Jalanan amat sepi. Pemandangan hanya berisi hutan-hutan kopi, salak, nangka, pakis, dan jati. Rintik hujan sudah mulai turun. Suasana cukup mencekam, seperti film-film horror yang sangat laku di Indonesia.
Pada akhirnya, kami memasuki sebuah desa. Jalanan membelah rumah-rumah penduduk dengan material kayu dan gedhek yang tidak berjumlah banyak; seorang nenek sedang duduk di bale-bale depan rumah. Kabut tebal. Rintik lembut menderas.
Ini aneh. Bulu di leher tiba-tiba meremang. Seolah saya memasuki ruang dan waktu masa lampau. Menyusuri lubang hitam dengan pusaran yang entah apa namanya. Menjadi seorang pengelena waktu. Saya menarik napas panjang, terus melajukan si hitam.
Kami terus melaju membelah desa itu. Ketika dirasa sudah terlalu jauh melewati desa yang menjadi semakin sepi dan jalanan yang dirasa salah, kami memutuskan untuk kembali bertanya kepada penduduk sekitar.
Berhenti pada suatu rumah, lalu bertanya arah menuju Bukit Turgo kepada si empunya rumah. Penduduk desa memang luar biasa ramah. Itu kelebihan mereka dibanding dengan orang kota yang dingin. Dengan baik hati mereka memberi petunjuk jalan menuju Bukit Turgo. Kami disuruh memutar arah lalu mengambil arah utara pada simpang yang tadi telah kami lalui. Tuan rumah juga menawarkan untuk kami singgah di rumahnya terlebih dahulu, “Lenggah rumiyen, Mbak,”⁷ ucap perempuan yang masakannya mengganggu indera penciuman kami.
“Inggih, Bu. Mangke mawon nek masak’an ne sampun mateng,”⁸ jawab Missika sambil terkekeh.
Kami memutar arah sesuai petunjuk dan terus melaju pada jalanan menanjak sehingga pada akhirnya kami tiba pada sebuah rumah terakhir dengan halaman yang cukup lapang. Papan informasi pun terpasang pada sisi halaman rumah bagian luar. Berhentilah kami di rumah dengan kebun kecil di sudut timur halaman itu.
“Parkir mriki, Mbak, ben ora kudanan,”⁹ sapa bapak tuan rumah sambil menunjuk area parkir motor yang beratapkan seng.
Setelah berbincang sebentar, kami mulai berjalan untuk memasuki hutan. Seketika saya membaca papan informasi sebelum jalan masuk menuju hutan.
“Selamat Datang di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Sebelum Melakukan Aktivitas (Kemah, Penelitian, Trekking, Hiking) Lengkapi Dulu Dengan SIMAKSI (Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi)” begitu tulisan pada papan.
Saya berkata kepada Missika, “Mbak, ini harus pakai SIMAKSI piye?”
“Lha, piye?” sambil terus berjalan memasuki hutan yang kemudian saya ikuti juga seraya bergumam dalam hati, “sluman slumun slamet.”
Sepi. Hanya kami berdua yang ada di hutan itu. Jalan setapak dengan banyak pohon bambu dengan batang-batangnya menjulang seperti penjor-penjor yang berlomba paling unggul. Pohon-pohon besar dengan beragam jenis juga menaungi jalan kami.
Kami terus berjalan memasuki hutan. Kali lahar kering, tebing Plawangan Turgo di seberang mengembuskan halimun di sela-sela pepohonan. Rintik masih turun. Pada sisi pinggir tebing kali lahar itu, kami sempat berhenti untuk mengambil beberapa foto dari gawai.
Saya selalu menulis ini: saya selalu merasa damai ketika berada di dalam hutan. Selalu merasa berada di rumah di antara pohon-pohon, mendengarkan kerisik daun, suara jangkrik atau segala binatang yang entah bertengger di mana, merasakan udara yang berbeda menyentuh kulit, mendengar nyanyian-nyanyian yang dilantunkan oleh pohon, hewan, dan angin tadi. Benar yang pernah ditulis oleh Shakesphere, “The Earth has music for those who listen.”
Lepas dari tebing kali lahar, kami semakin masuk ke hutan. Bambu semakin banyak dan pohon-pohon semakin pekat. Rintik tak juga mau berhenti. Namun kami cukup terlindungi oleh lebatnya hutan itu. Hingga pada akhirnya, kami kembali harus memilih jalan pada sebuah simpang. Di sebelah barat, ada jalanan yang menukik tajam dan pada arah utara, ada tanah landai dengan pemandangan yang lebih lapang.
“Kayaknya ke atas deh, Mbak,” ucap saya kepada Missika, kemudian melanjutkan, “tapi ke situ dulu yuk, foto-foto lagi,” ucap saya kemudian sambil menunjuk ke arah tanah lapang tadi. Maka berjalanlah kami ke arah utara. Sebuah distraksi.
Di tanah lapang yang sedikit naik itu, kami istirahat sejenak. Duduk di pinggir setapak, membuka bungkus gitarlele lalu memainkan satu tembang lawasa dari New Kids On The Block berjudul Happy Birthday.
Jangan tebak usia kami.
Hutan memang tempat paling sempurna untuk sejenak hilang. Ini titik hening kedua bagi saya. Siulan udara semakin sejuk; ciutan burung semakin nyaring, sambil menerka, jenis burung apakah itu, membayangkan warna bulunya, paruhnya, dan bagaimana ia bertengger pada pohon; menyaksikan halimun keluar dari jelah hutan seberang.
Ini menyenangkan! Lebih menyenangkan karena ini hari ulang tahun. Walaupun jatah usia semestinya berkurang, tapi ulang tahun selalu menjadi hari yang menyenangkan bukan? Apalagi diberi kesempatan untuk merayakan di tempat yang dianggap sebagai rumah; hutan gunung tropis.
“Shooting di sini bagus nih,” ucap Missika.
Shooting?
Begini. Kami ini duo kuda yang suka sekali merekam aktivitas gitaran dan nyanyi-nyanyi dan lalu diunggah di media sosial untuk menarik pengikut. Nah, perjalanan ke Bukit Turgo kali ini juga dimaksudkan untuk membuat video clip untuk lagu ulang tahun kami. Kok ya ndilalah dapat tanah lapang dan kami dapat merekam aktivitas gitaran dan nyanyi-nyanyi kami.
Syahdan, rencana mulia kami itu tidak sepenuhnya direstui karena tak lama berselang, saya mendengar suara seperti gemuruh air di balik hutan utara sana tanpa kami melihatnya.
“Wah, udan,” ucap saya kepada Missika.
Dan benar. Hujan turun lebih deras dari sebelumnya. Suaranya cukup keras, membuat saya yakin, bahwa hujan itu bergerak turun ke arah kami itu akan turun dengan deras. Seketika kami mengambil telepon genggam, gitarlele, dan tas kami lalu berlari.
Tak cukup lama bagi hujan untuk membuat kami tunggang langgah menyusuri jalan pertama ketika masuk tadi, kembali ke rumah tempat kami memarkirkan si hitam, dan membatalkan rencana naik ke puncak Bukit Turgo, ke makam Mbah Turgo.
Keputusan yang tepat! Hujan deras. Kami kembali diberikan halangan kegiatan kami yang, sebenarnya tidak berizin serta kami telah menimbulkan suara dengan alat musik di tengah hutan, yang bisa mengganggu binatang di dalamnya. Terima kasih, Tuhan!
“Aku baru sadar kalau masih mens. Makanya dikasih hujan, tidak diberi kesempatan sowan ke makam Mbah Turgo,” ucap Missika ketika kami duduk berteduh di teras rumah.
Di hadapan, dua gelas kopi hitam yang kami pesan dari ibu tuan rumah menemani waktu kami kemudian. Jengkel? Tidak. Sedih? Pun tidak. Menyesal? Sama sekali tidak. Saya tidak pernah menyesal melakukan perjalanan walau tidak berjalan mulus, walau alam tidak mendukung. Keadaan yang sama ketika melakukan perjalanan ke Bromo beberapa waktu lalu. Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa, selalu ada catatan dari bekas jejak kaki. Nikmati saja. Sembari menunggu jaket-jaket kami yang tergantung pada tembok sedikit mengering.
Memandang hujan yang turun lebat dengan kembali bersenandung dengan gitarlele. Kami beberapa kali mendengar cuitan burung di atas pohon entah di mana. Menerka, jenis burung apakah itu.
“Kayaknya jalak,” tebak Missika.
Saya beranjak dari duduk, melihat-lihat, mencari sumber suara, tapi nihil. Jarang memang, manusia melihat hewan liar bersarang pada habitat aslinya. Namun, tidak apa, ada halimun keluar dari sela ranting pohon datang mengobati.
Lama berselang, waktu menunjukkan pukul tiga sore dan hujan belum juga reda. Halimun terus turun membuat hari yang hendak beranjak sore itu menjadi seperti sebuah petang.
“Mbak, setengah jam lagi, reda atau tidak, kita turun ya,” ucap saya kepada Missika, melanjutkan, “gelap banget soalnya.”
“Oke,” jawab singkat Missika.
Setengah jam kemudian, hujan sedikit reda. Kami bergegas turun menuju kota, menyusuri jalan raya yang pertama tadi. Melewati kedai yang masih tutup. Aneh, pikir saya. Desa ini sepi sekali.
Motor melaju turun tanpa mesin yang dinyalakan. Hujan semakin deras. Sepertinya Yogyakarta rata diguyur hujan.
“Gimana? Dapat tidak lokasi untuk naskah?” tanya Missika apakah saya berhasil melakukan riset untuk naskah.
“Dapat. Itu tadi rumah Sagara,” jawab saya sembari menunjuk salah satu rumah yang baru saja dilewati.
Benar bukan? Selalu ada hikmah dari sebuah perjalanan meski perjalanan itu tidak berjalan mulus.
Bahkan di sepanjang perjalanan turun menuju kota, kami sempat memetik beberapa tanaman di pinggir jalan. Di tengah hujan deras! Missika pun sempat terjerembab ke dalam selokan air.
“Azab mencuri tanaman itu,” saya berceletuk.
“Ora nyuri ya, izin kok,” ucap Missika.
“Izin karo sapa?” tanya saya kemudian.
“Ya, karo embuh sapa. Pokokmen izin,” jawab Missika.
Alhasil, kami mendapat beberapa tanaman yang sebenarnya tidak kami curi, hanya berpindah tempat, dari rumah satu ke rumah lainnya. Termasuk tanaman kenanga yang terpaksa digigit oleh Missika karena batangnya yang besar sulit dipotong meski sudah diputar-putar dan ditarik-tarik.
“Pahit!” ucap Missika mengecap bibirnya setelah berhasil memutus batang tanaman kenanga.
“Ya menurut ngana?” jawab saya kemudian.
Baik.
Rencana kami yang awalnya juga hendak mampir ke Taman Kaliurang setelah dari Turgo pun batal. Jari-jari tangan saya sudah tidak terasa karena udara yang sangat dingin. Gejala hipotermia. Obatnya cuma satu, turun ketinggian! Akhirnya, kami menentukan titik perjalanan kami pada warung burjo di Jalan Kapten Harijadi. Semangkuk mie instan dan segelas teh manis panas adalah segalanya. Hakiki!
Ketika menulis ini, saya teringat perkatan Mas Vey, seorang teman, yang berkata bahwa Turgo memang sepi. Mas Vey menceritakan kepada saya tentang percakapannya dahulu dengan pemuda setempat yang pernah beberapa kali berusaha menjadikan Turgo sebagai kawasan wisata komersil sama seperti Cangkringan, tapi selalu gagal.
“Sepertinya memang sudah di-plot-kan bahwa Turgo sebagai kawasan wisata religi,” begitu ucap Mas Vey.
“Ada baiknya juga. Agar tetap ada tempat-tempat yang tetap perawan, lugu, dan jujur,” saya menimpali.
***
Sementara, Bukit Turgo adalah batas paling utara desa di lereng Merapi. Bukit yang di atasnya terdapat petilasan Syekh Maulana Muhammad Jumadil Qubro, Mbah Turgo. Bukit yang berdampingan dengan Bukit Plawangan, yang tampak dari Kota Yogyakarta, bersama-sama memangku anaknya yang perkasa. Bukit Ibu Gunung Merapi.
***
- Permisi, Bu. Kalau mau ke Turgo arah mana ya?
- Ke utara terus, jangan belok-belok!
- Baik, Bu. Terima kasih.
- Sial! Aku malah dimarahi.
- Sebentar, berhentik dulu.
- Selamat Datang di Turgo.
- Halah! Kebanyakan berhenti.
- Baik, Bu. Nanti saja kalau masakannya sudah matang.
- Parkir sini, Mbak. Agar tidak kehujanan.