Di sini, saya melihat bagaimana manusia menjadi manusia. Saling berbicang, membagi dan dibagi, menikmati alam dan menjaga agar tetap lestari, serta tidak lupa melantunkan puji untuk Sang Ilahi. Kalimati.
***
Pagi di Ranu Kumbolo. Mata saya terbuka oleh riuh sederhana suara manusia. Bayangan orang lalu lalang tampak samar dari dalam tenda. Saya melihat ke arah pintu tenda, tampaknya pagi belum begitu menyerngitkan panasnya. Seketika saya bangun lalu membuka pintu tenda tadi, udara dingin gunung saya hirup secara dalam, membasahi segala kekeringan dalam tubuh. Kata orang, momen Matahari terbit di Ranu Kumbolo adalah salah satu yang terbaik. Jelas, saya tidak mau melewatkan itu.
Saya berdiri di depan tenda dengan segelas kopi panas dan sepiring pisang bakar. Perlahan Matahari muncul dari dua punggung bukit di belakang danau, sangat menawan. Panasnya memberi kehangatan bagi kami semua yang diselimuti dingin sedari malam. Sinarnya memulas warna-warni pada setiap permukaan, membuat segalanya lebih hidup dipandang, padahal Matahari tidak pernah merasa berbuat sesuatu untuk kehidupan.
Suara-suara orang berdengung, tanda berbincang. Angin bergemuruh, tanda bergerak.
Lepas Matahari yang perkasa di angkasa, saya berkeliling Ranu Kumbolo yang sejak kemarin belum sempat. Berjalan mulai dari depan sisi kiri lalu menyusuri danau menuju sisi baliknya, melewati segerombolan orang yang sedang santai di bibir danau mencari kehangatan. Batu prasati dengan beragam sesaji dipagari kawat yang dililit kain hijau berada di tengah bibir danau. Ada pula orang-orang mengambil air dewa dengan botol-botol plastik. Menyisir sisi kanan menuju bibir bukit di belakang—dengan rumput hijau kekuningan dan pohon-pohon yang seolah mengawasi dari atas, melihat segalanya lebih luas, lalu kembali menuju tenda, melewati api unggun semalam yang pagi ini hanya menyisakan abu. Semua baik adanya.
Ini adalah sebuah momen hening bagi saya. Memperhatikan secara dalam apa yang ada di depan mata tanpa bicara.
***
Berat bagi saya untuk meninggalkan Ranu Kumbolo, rasanya ingin berlama-lama. Tetapi Tanjakan Cinta sudah menunggu di atas sana. “Tante!” teriak Angga memanggil Mbak Nik. Dengan polos, tante saya itu menoleh ke belakang menuju keluarnya suara. Saya dan Angga sontak tertawa, karena sebelumnya sudah dibilang, kalau melewati Tanjakan Cinta dengan pandangan fokus ke depan tanpa menoleh ke belakang seraya memikirkan seseorang yang sangat dicintai, niscaya seseorang itu akan jatuh ke pelukan. Maka gagallah sudah. Lagian, tante saya itu sudah punya suami dan dua anak yang sudah remaja. “Mau miliki siapa lagi sih, Mbak?” celetuk saya kemudian.
Jika dilihat dari Ranu Kumbolo, menurut saya Tanjakan Cinta tidak begitu seekstrem yang dibayangkan. Tetapi ketika saya berjalan melewatinya, lumayan juga. Sempat istirahat sebanyak dua kali seraya bersandar pada batang pohon; berlindung dari panas! Pada saat itulah, saya menoleh ke belakang, melihat pemandangan Ranu Kumbolo yang tampak lebih indah dari biasanya. Nyesal kalau tidak menoleh!
“Mau lewat mana, Kak?” tanya Angga kepada saya ketika kami sampai di hadapan Oro-oro Ombo. Saya berpikir lama, bingung mau lewat mana. Memang ada dua jalan, yang pertama membelah padang savana itu, tetapi harus melewati turunan tanah yang cukup curam. Kedua, menyusuri dinding bukit tetapi jauh memutar. “Gue tahu lo pengin lewat bawah kan?” potong Angga sebelum saya sempat menjawab. Saya, yang merasa ditodong dengan senapan laras panjang hanya cekikikan sambil mengangguk-angguk. Jadilah kami main perosotan menuju Oro-oro Ombo. Hanya saya yang main perosotan kok, yang lain tidak. Bukan mau gaya, tapi tidak berani.
Ihwal bermula di Semeru:
Adalah verbena, tanaman cantik dengan bunga berwarna ungu. Ia mekar pada medio Mei sampai Juli. Indah. Tapi sayang, ia musuh bagi beragam ekologi. Ia menyerap air rawa menjadikan Oro-oro Ombo kering kerontang. Ia parasit yang bisa saja melahap habis kehidupan edelweiss atau cantigi. Dalam hati saya bergumam resah, tanaman ini dekat sekali dengan Ranu Kumbolo, yang, andai saja benihnya menyebar sampai danau sumber air itu, bisa-bisa nama ranu hanya kenangan. Jangan sampai! Mungkin lebih baik tidak usah dipetik, mempersempit kemungkinan benihnya menyebar.
Lepas Oro-oro Ombo, kami sampai di Pos Cemoro Kandang, siap memasuki hutan kembali, menuju Jambangan. Treknya aduhai! Naik turun, belak-belok tidak ada ampun. Terlebih debu yang tersibak oleh hentakan kaki para pendaki bisa membuat hidung sesak.
Kami berjalan sangat santai. Setiap interval sepuluh menit kami beristirahat satu sampai dua menit. Jika mendapati area landai yang cukup besar, kami beristirahat lebih lama. Pada waktu itulah kami berbincang dengan pendaki lain yang kebetulan berisitrahat bersama. Semeru ramai siang itu. Para pendaki berjalan saling susul, sampai-sampai bosan juga ketemu orang yang sama melulu sampai akrab. Tapi lumayan, tambah teman.
Ada yang lucu, salah satu pendaki memakai celana ketat bermotif bunga-bunga. Kami kerap berpapasan sejak kemarin di hutan menuju Ranu Kumbolo. Lelaki itu jelas menjadi bahan guyonan. Suatu saat Angga menyentuh bokong lelaki tambun itu dari belakang secara mendadak. Lelaki pemilik bokong yang disentuh itu kaget mengucap “Auw!”. Sontak kami semua yang melihat tertawa terbahak, termasuk saya. “Duh, maaf ya, Mas, saya tertawa. Habis, Masnya lucu sih.” ucap saya ketika berjalan menyusul.
Saya sempat buang air kecil di semak-semak, menahan sejak Ranu Kumbolo. Sebenarnya di Ranu Kumbolo ada toilet. Pun ada airnya dan cukup bersih. Tapi, biaya yang harus dikeluarkan untuk buang air kecil dan besar adalah limaribu rupiah. “Dilarang Mandi!” juga tertera di tiap pintu toilet. Lagian, siapa yang mau mandi? Wong cuci muka saja malas. Dingin! Dalam satu malam berkemah di sana, saya sudah mengeluarkan uang sebanyak duapuluhribu rupiah hanya untuk kencing. “Tidak bayar, disunat!” begitu tulisan yang tertera di bawah harga tiket masuk toilet Ranu Kumbolo. Saya tidak mau disunat!
Agak takut juga buang air di semak-semak, takut ketemu macan tutul. Ya, Semeru adalah rumah bagi habitat macan tutul. Pada briefing kemarin, Saver menyarankan untuk jangan melakukan pendakian di sore hari sampai malam, karena kadang kala macan-macan itu mencari makan sampai batas jalur pendakian. Seram!
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang ketika kami tiba di Jambangan. Edelweiss semakin banyak, bermekaran di tiap inci savana, selalu cantik; lereng menuju puncak sudah tampak dari sini; pendaki memenuhi sudut-sudut rimbun. Kami sitirahat sejenak di tempat ini, Tukul sigap mengulurkan segelas kopi, Angga selesai mengupas nanas, dan saya duduk termangu melihat keagungan puncak gunung yang menjulang di sana. Sesekali awan keluar dari mulut puncak, indah sekali.
Tiba-tiba seorang pendaki berdiri di samping Mbak Nik, entah berbicara apa tidak jelas, tetapi ia mengarah kepada kami. Saya dan Mbak Nik saling pandang, heran, apakah orang ini gila? Suara cekikikan terdengar dari belakang, sontak saya menengok. Ternyata ada seorang temannya sedang merekam video ke arah kami. Jadi maksudnya, ingin membuat video yang bercerita bahwa mereka sok-sok’an memberi wejangan kepada kami. Lucu sekali.
Rasa heran lumer, kami semua tertawa dan dengan mudah menjadi akrab. Ternyata, kelompok tadi adalah pendaki dari Bogor, tetangga kampung rumah Tukul! “Main jauh-jauh sampai Semeru ketemu Kopi Liong juga.” celetuk salah satu dari mereka, menyebutkan merk kopi adalan Bogor.
Sama seperti Gunung Gede, di tiap pos di Semeru pasti ada warungnya. Yang dijual pun kurang lebih sama, gorengan dan semangka. Harga per potong semangka adalah duaribulimaratus rupiah! Uniknya, semakin tinggi titik ketinggian pos, potongan semangka pun semakin tipis. “Nanti di Kalimati, potongan semangka sudah kayak agar-agar, Kak. Lemas!” celoteh Angga yang membikin tertawa kembali.
Terik menggeliat, tetapi terasa kesejukkan pada tiap tawa, ada keringat dan letih yang memudar oleh canda. Saya cinta momen ini. Saya cinta pada manusia-manusia yang masih saja bisa berbagi di balik letihnya, yang hanya terjadi di atas gunung-gunung tinggi.
***
Dua jam berlalu setelah lepas dari Jambangan, kami tiba di Kalimati. Savana yang sangat luas; edelweiss di mana-mana, dan puncak yang semakin tampak. Kami mendirikan tenda di suatu sudut dekat pintu jalur menuju puncak. Banyak pohon.
“Puncaknya kelihatan dari mana sih, Ngga?” tanya saya kepada Angga, penasaran mau lihat puncak dari Kalimati. “Dari tengah situ, Kak.” jawab Angga sambil menunjuk area savana di depan sana.
Saya bergegas berjalan menuju tengah savana. Tanpa sepatu! Saya suka sekali jalan nyeker, menyentuh Bumi, karena kaki terasa sangat gerah sedari tadi. Matahari menusuk kulit di tengah udara yang dingin. Rasanya nikmati sekali. Ya, Matahari adalah sesuatu yang dinanti ketika berada di gunung. Saya berjalan dengan berhati-hati, banyak ranjau darat terselip di sela-sela rumput. Masih banyak pendaki malas untuk membuat lubang sebagai tempat buang hajat. Kalaupun ada lubang, mereka pun malas menutupnya kembali dengan tanah. Aneh sekali mereka, pikir saya dalam hati. Jadi manusia jangan seegois itu lah!
Menikmati ladang edelweiss dengan diam. Memandang dari jauh puncak yang menjulang curam. Rasa takut yang menghantui sebulan terakhir kembali membuncah. Kata orang, jalur menuju Mahameru lebih sulit dibanding Rinjani, pasir dan kerikil yang lebih gembur dan derajat kemiringan yang lebih curam. Saya teringat ketika mendaki puncak Rinjani tahun lalu, hampir menangis putus asa. Tidak terbayangkan bagaimana nasib saya di atas sana. Bertanya pada diri sendiri, apakah saya sanggup? Apakah saya sudah terlalu banyak melihat dan membaca banyak artikel yang menyebutkan bahwa tidak mudah untuk seseorang mendaki sampai Mahameru? Angga pernah bilang, “Buat apa takut? Pasti bisa!” ketika saya mengutarakan ketakutan saya sebelum mendaki. Saya pandangi terus puncak itu dengan seksama, membuang segala ego sembari meminta untuk bisa menapak di atas sana. Saya pasti bisa!
Lama berselang, kabut mulai beranjak keluar dari bukit menuju savana. Mereka bergerak cepat. saya bergegas kembali menuju tenda. Di tengah jalan saya disapa oleh seseorang yang merasa memiliki jaket yang Angga temukan di Jambangan, “Mbak yang tadi menemukan jaket biru di Jambangan ya?” tanyanya kepada saya. “Iya, Mas. Jaketnya ada di tenda, mari ikut saya.” jawab saya kemudian.
Sesampainya di tenda, saya mengambil jaket yang tadi dibawa oleh Angga lalu memberikannya kepada si pemilik. “Terima kasih, Mbak.” ucap lelaki itu kemudian.
Bayangkan jika jaket tersebut tidak kami bawa, si pemilik akan kedinginan, menggigil di malam hari, dan mungkin saja tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak karena tidak ada jaket. Sempat ragu, apakah kami akan menemukan pemilik jaket itu karena tidak ada sinyal. Tetapi alam itu tidak mati, mereka menyebarkan melalui kerisik dan embusan, menyampaikan pesan melalui suara-suara kelelahan. Alangkah bahagianya bisa berbuat baik, menolong sesama. Begitu seharusnya hakekat tugas manusia.
Kabut yang bergerak gemulai di atas savana, menutup segala celah pada tiap daunnya. Bunyi gemuruh angin; kerisik dahan; dan Matahari yang menyelinap dari rimbun pohon berusaha menembus tanah. Saya bernapas dalam.
Orang-orang duduk berkelompok berbincang di tiap sudut; saling berinteraksi, tanpa gawai dan perhiasan; ada pula yang shalat melantunkan syukur kepada Yang Esa. Di sini, bukan tempat untuk sombong, egois, dan sibuk dengan diri sendiri. Di sini, tempat manusia menjadi makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
***
Sementara Kalimati adalah camp terakhir menuju Mahameru, tempat segala kegelisahan dan ketakutan menderu, berharap bisa mencapai puncaknya. Duaribuenamratus meter di atas permukaan air laut. Sebelas derajat selsius.
***
Baca juga: Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo
Waduh menarik banget nich !
Btw,, apakah ada tugas pengaman disana ?
Halloo..
Petugas pengamanan maksudnya? Ngga ada sih kalo itu.