Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo

Tidak perlu nama untuk sekedar berbagi. Datang dari berbagai negeri, duduk mengelilingi api unggun, berbagi cerita dan tawa tanpa syarat. Di depan sana, danau yang senantiasa berselimut kabut, Ranu Kumbolo, menemani kami di malam penuh bintang.

***

Warung masih kosong, pintu belum sepenuhnya terbuka, hanya satu daun. Kami—saya, tante saya Murni, beserta guide dan seorang kru dari Dome Explorers, Angga dan Tukul— duduk di kursi meja depan dapur, biar hangat dekat kompor. Pagi baru saja jadi, tetapi Matahari sudah memancar puas. Sinarnya memantul keras, memberi halo-halo pada kaca jendela. Kami memesan beberapa menu untuk sarapan. Tujuhbelas derajat selsius di Warung Bagus, Ranu Pani.

Rencana perjalanan saya ke Semeru kali ini menemui banyak hambatan. Gagalnya registrasi sebanyak dua kali, mengakibatkan kami harus mundur tiga hari dari rencana awal tanggal 6 Agustus 2018. Semeru sangat ketat, semua calon pendaki diwajibkan melakukan registrasi secara daring paling lambat tiga hari sebelum pendakian, informasi yang tidak sepenuhnya kami terima.

Tiga hari lewat, hari ini 9 Agustus 2018, walaupun sudah mendapat SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi), saya masih gugup sebelum benar-benar memasuki gapura selamat datang. Berdiri di depan warung, mencari kehangatan sinar Matahari sembari menyesap kopi panas. Angga yang sedari tadi ijin sebentar untuk menyerahkan SIMAKSI ke Pos Ranu Pani tampak gontai berjalan kembali ke warung.

“Bisa masuk, Ngga?” tanya saya ketika ia sudah tiba.

“Belum buka, Kak.” jawabnya singkat.

“APA? Kita rela berangkat dari subuh sampai sini pos belum buka?” saya melontarkan candaan dengan intonasi seolah marah.

Angga tertawa lalu menjawab, “Buka jam delapan, Kak.”

Lalu kami berbicang sederhana sembari menggerak-gerakkan tubuh yang mulai kedinginan.

Pada interval tiga hari penantian lalu, di tanggal seharusnya kami memulai pendakian, kami menerima kabar dari Saver (Sahabat Volunteer Semeru) bahwa suhu Ranu Kumbolo mencapai titik terendah minus tujuh derajat selsius, bergerak turun dari sebelumnya minus nolkomasatu derajat selsius, membuat saya sangat was-was. Saya sebenarnya tidak begitu kuat dingin, takut sekali terkena hipotermia, tapi suka sekali mendaki gunung.

Permasalahan SIMAKSI yang menimpa membuat saya bersyukur, Tuhan selalu punya rencana untuk setiap makhluk, Ia tahu kelemahan saya dan lindungi saya dari suhu ekstrem. “Tadi dapat kabar kalau di sini tujuhbelas derajat, Mbak. Di Kalimati lebih hangat.” ucap seorang pendaki yang baru saja turun gunung. Horeluya!

***

Pada jam sembilan, kami berjalan meninggalkan warung menuju Ruang Briefing. Antusias, akhirnya satu tahap melangkah lebih maju mendekati bibir Semeru.

Hal yang membuat Semeru berbeda dari gunung lainnya, setiap pendaki diwajibkan mengikuti briefing setelah melapor di Pos Ranu Pani, membawa serta semua barang bawaan agar bisa diperiksa. Briefing yang diberikan oleh Saver itu berisi pengarahan segala tata cara untuk mendaki Semeru. Briefing diberikan setiap satu jam sekali, di tiap harinya mulai jam sembilan pagi sampai lima sore. Berkas SIMAKSI pun sudah diserahkan ke Saver, maka dipastikan sudah bisa masuk ke area TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru), walaupun saya pribadi belum seratus persen lega hingga benar-benar bisa melewati gapura selamat datang. Pokoknya sampai gapura!

Halo Matahari masih berpendar melalui kaca-kaca. Beberapa kelompok pendaki mengantre masuk menuju ruangan. “Bawa Kembali Sampahmu” ulisan pertama yang saya baca dari plakat plastik di atas meja di depan ruangan. Lalu, pandangan saya bergerak pada papan tulis di belakang meja, “Tujuan Utama Bukanlah Puncak, Melainkan Kembali ke Rumah dengan Sehat dan Selamat,” tulisan besar di sudut kiri atas papan tulis juga mencuri perhatian. Saya pun mengamini dalam hati. Mendaki gunung bukan aktivitas main-main, perlu persiapan fisik dan mental, karena di atas sana, nyawa berada di ujung kuku.

Ruang Briefing tidak begitu ramai. Pernah saya melihat unggahan seseorang di media sosial yang menunjukkan ruangan penuh sesak oleh para pendaki, sampai-sampai banyak sekali yang duduk lesehan. Kami duduk di sisi kiri ruangan.

Selama kurang lebih setengah jam, anggota Saver memberi pengarahan mengenai jalur pendakian, peraturan dan larangan, serta tanda-tanda alam Gunung Semeru yang perlu diperhatikan. Antara lain adalah tidak diperkenankan untuk menebang pohon dan membuat api unggun. Mereka menjelaskan bahwa sudah ada penduduk lokal yang dilatih untuk memilih pohon untuk ditebang dan membuat api unggun di tempat yang sudah ditentukan. “Di Ranu Kumbolo dan Kalimati ada api unggun. Silakan bergabung. Selain untuk kehangatan, juga bisa memperoleh teman-teman baru bahkan mungkin jodoh.” ucap lelaki berjaket biru yang kemudian disambut oleh gelak tawa kami semua.

Dalam hati saya bergumam, alangkah baiknya jika sistem ini diterapkan di seluruh gunung di Indonesia. Semeru mengajak kami semua pendaki untuk bertindak baik selama pendakian dan sebagai manusia. Salah satu kesulitan terbesar manusia adalah menjadi manusia.

Suwun, Mas. Pareng.”¹ saya berpamitan kepada anggota Saver ketika meninggalkan ruangan usai briefing. “Monggo, Mbak. Semoga sukses!”² jawab singkat lelaki itu.

***

“Yeay! Akhirnya masuk!” saya berteriak ketika sudah berjalan menyusuri perkebunan milik warga. Angga dan Mbak Nik, begitu saya biasa menyebut tante saya, sontak tertawa. “Akhirnya ya, Wid?” Mbak Nik menanggapi.

Segala kekhawatiran musnah sudah, waktu yang dinanti-nanti telah tiba. Daun bawang, sawi, dan tanaman hijau lain yang tertanam pada tanah subur Ranu Pani seolah menyambut gempita dengan malainya. Seekor anjing berwarna cokelat muda berjalan lincah di depan, “Namanya Marvel, Mbak.” ujar seorang penjaga ketika saya bermain bersama anjing cokelat itu. Di bawah gapura!

Semeru, saya datang!

Anjing cokelat tadi terus berjalan memasuki hutan. Kadang ia berlari, masuk ke semak-semak, lalu keluar lagi di jalur setapak. Sesekali menengok ke belakang seraya mengibaskan ekornya yang panjang, lalu kembali hilang ke dalam belukar.

Ketika tiba di Pos 1, saya melihat anjing itu lagi. Ia mendekati satu per satu pendaki yang datang, mengendus tanda perkenalan. Ekornya mengibas senang. Saya berjalan mendekat, mengelus-elus bulunya yang tebal. “Hallo, Coki.” sapa saya ramah kepada si anjing. Ya, saya memanggilnya Coki. Selain warna bulunya yang cokelat, ia mengingatkan saya pada Coki-coki, kudapan kesukaan kebanyakan pendaki.

“Main dekat sini, Coki!” ajakan agar Coki mendekati saya duduk. Ia menurut. Berjalan santai memutari saya duduk. Memperhatikan segala gerak-gerik berharap sesuatu. Saya mengambil wafer cokelat yang diberikan Angga. Mata anjing jantan yang semula lunglai, terbelalak seketika. Ia mendekati saya dengan muka yang melas, berharap dibagi. “Aku tidak akan kasih kamu. Kamu tidak boleh makan cokelat.” ucap saya pada pemilik mata sayu itu.

Lucunya, ia seolah tahu maksud perkataan saya, pergi meninggalkan saya, berjalan menuju tas ransel yang saya letakkan di dekat semak-semak. Saya tertawa melihat tingkah lucu si Coki. Kadang ia pergi masuk menuju semak-semak ketika dirasa terdengar bunyi kerisik, lalu kembali rebah di dekat tas. Bunyi kerisik terdengar lagi, ia kembali mengendus semak-semak, lalu kembali. Begitu terus. Seolah ia ingin menjaga tas saya. Ketika Angga membelikan saya gorengan tahu di warung, saya cuil sedikit lalu diberikan kepada Coki. Tapi ia menolak, mungkin sadar kalau itu cuma tahu goreng.

Saya teringat cerita Mahabharata ketika Pandawa Lima bersama Drupadi mendaki Mahameru untuk menuju Swarga Loka. Di tengah hutan, mereka bertemu dengan seekor anjing putih dengan mata menyala. Dalam cerita tersebut, empat Pandawa Lima lainnya terkubur ke dalam pasir bersama kesombongannya. Drupadi kedinginan. Mereka mati, hanya si Bijaksana dan anjing putih itu yang berhasil mencapai puncak Mahameru. Ketika akhirnya pintu Swarga Loka terbuka dan mempersilakan Yudhistira masuk, ia menolak, karena Batara Indra melarang seeokor anjing masuk. Yudhistira mau masuk jika dengan si anjing. Permintaan si tua Pandawa Lima itu dikabulkan, ia membawa anjing putih masuk menuju Swarga Loka.

Saya mengelus lembut Coki sembari bergumam dalam hati, mungkin Coki adalah jelmaan anjing Yudhistira yang melepas saya untuk mandaki Semeru. Ah, Coki yang baik.

***

Trek Ranu Pani menuju Ranu Kumbolo cukup landai. Kami berjalan santai pada tanah yang lembut ditapaki, berkelok-kelok, perlahan membawa kami masuk dan semakin masuk. Ada beberapa lokasi dengan trek menanjak membuat jantung berdetak berlipat-lipat, tetapi tidak banyak. “Kalau degub jantungnya cepat, istirahat sampai kembali normal ya, Kak” ucap Angga memberi tahu.

Ada rasa damai yang saya rasa ketika kembali berjalan di dalam hutan. Ah, saya pulang ke gunung, gumam saya waktu itu. Berjalan seraya membelai lembut daun-daun yang terlewat, merasakan malainya menyentuh telapak tangan yang kasar. Ini semua tentang rindu. Bagi orang yang gemar mendaki gunung pasti paham rasa itu; candu. Candu atas dingin yang damai, atas Matahari yang selalu dinanti kulit yang kering, dan atas momen ketika manusia benar-benar menjadi manusia. Terlebih Semeru, gunung yang empat bulan saya nanti. Rasa senang yang membuat saya tersenyum sendiri dalam hutan, siang itu.

Lima setengah jam berselang, akhirnya kami sampai di Ranu Kumbolo. Tukul yang lebih dulu sampai sedang sibuk menyiapkan makanan untuk kami. “Tukul masak apa?” tanya saya. “Tumis kangkung, ikan asin, dan sambal terasi.” jawabnya. Ia melanjutkan, “Biar tidurnya nyenyak.”

Seraya menunggu Tukul memasak, saya berkeliling danau, mengambil beberapa foto untuk diabadikan. Danau yang diam-diam mengeluarkan kabut tipis, seperti selendang penari Jawa yang gemulai beberapa sentimeter di atas permukaan bersama pancaran surya yang mulai tenggelam di balik Barat. Dua bukit berjajar bagai pintu gerbang, menghirup segala rasa lelah manusia yang mulai rebah. Beberapa orang duduk di bibir danau. Saya melihat itu semua dengan damai seperti seangkir kopi, ia hanya diam masuk ke tubuh manusia. Tidak ada beku.

Dari pinggir danau, saya bergerak pada segerombolan orang yang duduk mengitari api unggun. “Gabung ya, Mas?” saya menyapa. “Monggo, Mbak.” sahut mereka hampir bersamaan. Saya berdiri di sudut terluar dalam lingkaran. “Mendekat sini lho, Mbak. Biar hangat.” salah satu pendaki membaca rasa sungkan saya, bergeser sedikit memberi tempat. “Terima kasih, Mas.” balas saya sopan sembari bergerak menempati tempat yang dipersilakan tadi.

Seorang lelaki lain tertawa, mungkin temannya, berkata, “Nek karo wedhok kok kowe apik’an tho?”³ ucapnya mengejek yang disusul oleh derai tawa kami semua. Kemudian lelaki yang diejek itu membalas, “Mbak’e ki nggawa kopi. Aku meh njaluk.”⁴

Saya otomatis menyodorkan gelas plastik yang sedari tadi digenggam. Ia menerima dengan wajah sumringah yang nampak jelas oleh cahaya api. “Kopi apa ini, Mbak, kok enak?” tanya lelaki itu setelah sekali menyesap. “Sidikalang, Mas.” jawab saya ramah.

Enak tenan lho iki.”⁵ ucapnya sekali lagi sambil menyodorkan gelas kopi kepada teman tadi. Temannya tadi itu juga menyodorkan kepada orang di sebelahnya. Begitu terus. Jadilah kopi saya jadi menu bersama.

“Omong-omong, kok tahu saya minum kopi?” saya bertanya tiba-tiba. “Aromanya kentara, Mbak.” jawabnya yakin. Ya, aroma kopi memang tidak pernah bohong.

Pada hangatnya api unggun, saya bergumam dalam hati, tempat ini adalah tempat sempurna manusia benar-benar menjadi manusia. Tanpa perlu nama untuk saling berbagi. Kami datang dari segala pelosok negeri, duduk mengelilingi api. Berbagi cerita, tawa, dan kehangatan tanpa syarat di keriuhan balok-balok kayu panas yang terus menyala sampai puing terakhir. Tak ada bising kemunafikan kota, polusi hanyalah asap dari api yang akan dihirup oleh pohon. Ini adalah barang berharga yang hanya bisa dibayar dengan sabar atas lelahnya berjalan.

Lama berselang, Mbak Nik memanggil saya untuk segera ke tenda karena makan malam sudah siap. Nasi, tumis kangkung, ikan asin, sambal terasi, siap disantap. Tidak selesai di situ, selepas makan, Tukul membuatkan kami roti bakar sebagai kudapan penutup hari. Saya, Angga, dan Tukul bercengkerama di dalam tenda. Mbak Nik memutuskan untuk berisitirahat di tenda lain.

Udara dingin memang membuat perut gampang kembung. Kentut demi kentut saling saut. Pertama Angga, lalu saya, lalu saya lagi, sedikit bau. Tak lama Tukul ikut kentut. Saya kentut lagi, lebih bau dari yang sebelumnya. Angga dan Tukul ngomel-ngomel, saya tertawa puas. Roti bakar habis. Tukul kentut lagi, kali ini benar-benar bau. Saya sontak menutup hidung dengan kedua tangan dan bergegas ingin keluar tenda, tetapi Angga mencengekeram kuat kedua lengan saya sehingga tidak bisa tutup hidung. Tukul berusaha menutup tenda, menghalangi saya keluar, “Tutup, Kul! Biar dia makan tuh kentut!” ucap Angga sebal.

***

Sementara air Ranu Kumbolo dipercaya sebagai air dewa. Berselimut kabut. Duaribuempatratus meter di atas permukaan laut. Empatbelas derajat selsius.

***

¹ “Terima kasih, Mas. Mari.”

² “Silakan, Mbak. Semoga sukses”

³ “Kalau sama perempuan kok kamu baik sih?”

⁴ “Mbaknya ini bawa kopi. Aku mau minta.”

⁵ “Enak sekali lho ini.”

***

Baca juga:  Mengukir Cinta Menuju Kalimati

2 thoughts on “Kopi di Selimut Kabut Ranu Kumbolo

  • September 15, 2018 at 12:30 pm
    Permalink

    Hai! Terima kasih sudah bersedia mampir dan membaca tulisan saya. Di tulisan ini ada link mountain organizer yang saya pakai kok. Dome Explorers, mungkin bisa membantu. Thanks.

    Reply
  • September 21, 2018 at 2:18 am
    Permalink

    Terima kasih artikelnya menarik.
    Btw,, butuh berapa lama waktu perjalanan ke sana ?

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *