Sarongge yang terik. Kami-saya, Ika, dan Mas Rey-melompat naik ke mobil bak terbuka, menumpang sampai ke pondok karyawan kebun stroberi, tujuan akhir mobil. Di hadapan kami, hamparan cokelat tanah ladang yang ditanami hijau, kuning, merah sayur dan buah. Jauh di sana, membentang Gunung Geulis, yang morfologinya seperti seorang perempuan tertidur. Sementara sudut lain, Gunung Gede dengan gelayut awan menutupi puncaknya.
Jalanan yang kami lalui berupa jalan mortar yang tidak rata. Bergelombang dan mengelupas. Wajar. Tiap hari, jalanan yang memiliki kontur itu dilalui mobil bak terbuka, mengangkut penuh hasil ladang. Di atas bak terbuka mobil tumpangan, kami duduk bergelinjang dengan pemandangan yang amatlah amboi.
Pada suatu masa, hutan Sarongge merupakan ladang garapan warga di Sarongge Girang. Lepas Keputusan Menteri yang mengharuskan menghutankan kembali ladang yang masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango itu, masyarakat lantasturun gunung.
Bukan perkara yang mudah. Tak semua kembali menjadi petani. Ada yang berubah haluan menjadi peternak. Ada pula yang kemudian membuat program ekowisata guna menghutankan kembali ladang tadi.
Lepas turun dari mobil, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Rumah Pohon, di hutan Sarongge. Masih jauh dari pondok.
Saya membentangkan payung dan berjalan menyusuri jalan mortar selebar kurang lebih dua depa, yang membelah ladang sayur milik warga. Ika terkikih lalu mengambil foto aksi saya itu dengan gawainya di bawah sebuah pohon yang rindang.
“Luar biasa,” celotehnya.
Kami terus berjalan. Terik matahari dan angin berhasil mengaburkan debu-debu. Ditambah lalu lalang motor-motor yang seolah tidak ada masalah dengan kodisi jalanan rusak. Barangkali mereka sudah terbiasa.
Lepas satu kelokan, kami rehat sejenak di bawah suatu pohon. Bayangannya mampu merimbunkan kami dari panas. Beberapa teguk air putih berhasil masuk melalui kerongkongan sembari kami mengatur napas yang, ternyata, tersengal.
“Lo lihat rumah paling atas itu, Wid,” pinta Mas Rey seraya menunjuk satu titik di kaki gunung.
Saya mengangguk tanpa bicara.
“Nah, Rumah Pohonnya di dalam hutan setelah rumah itu,” Mas Rey melanjutkan.
“Oooh,” gumam saya yang kemudian disambut kikihan Ika.
“Tiga sampai empat kilometer mungkin,” sahut Mas Rey.
Saya masih membisu, berpikir, kemudian berceloteh, “Ah, perkara ringan,” alih-alih membayangkan jarak perjalanan dengan setapak yang tentunya berkontur naik, di bawah sinar matahari Sarongge, saya memilih untuk menyemangati diri sendiri. Lagi-lagi Ika terkikih.
“Dulu, ladang warga sampai hutan di atas lereng miring itu,” ucap Mas Rey sembari menunjuk sudut lain.
“Wah, jauh juga ya,” sahut saya, melanjutkan, “batas hutannya itu di mana sih, Mas?”
“Jajaran pohon bambu tinggi itu,” jawab Mas Rey, lagi-lagi, seraya menunjuk tempat yang dimaksud, “di bawahnya itu ada sungai sebagai batas Taman Nasional.”
Ketika tiba di sebuah simpang jalan, saya dan Ika berhenti sejenak. Mas Rey yang berjalan terlebih dahulu untuk bertanya kepada seorang petani, berbalik arah sambil menunjuk jalan lain untuk menuju Rumah Pohon, lalu bersama-sama meniti jalan setapak yang ditunjuk oleh petani tadi.
Jalanan yang kami lalui kali ini, dirasa berbeda oleh Ika dan Mas Rey dengan kala sebelumnya. Kali ini, lebih curam. Untungnya saya tidak salah memakai sepatu. Saya memakai sepatu trekkingyang sudah terkena jarum jahit di sepanjang sol karena sempat menganga oleh pasir gembur Gunung Semeru, 2018 silam.
Kami menemui jalanan setapak di antara ladang yang lebih miring dari sebelumnya. Tentunya, berkontur tinggi. Beberapa petani tampak menggarap ladang sayurnya. Kami juga sempat berisitirahat kembali di suatu pondokan kosong.
“Kayaknya tempat petani menyimpan pupuk ya,” saya berceletuk yang disambut kekehan Ika dan Mas Rey. Pasalnya tercium aroma yang cukup sedap masuk ke indera penciuman.
Program ekowisata memang sudah tak se-aktif seperti dulu. Hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika Festival Sarongge digelar tiap tahunnya. Kini, tampak dari kejauhan, pohon-pohon adopsi telah meninggi, hutan kembali lebat.
Melewati petak ladang terakhir, kami sampai di batas hutan, memasuki jalanan setapak dengan pohon-pohon tinggi di kanan dan kiri, lalu akhirnya tiba di Rumah Pohon.
Duduk di salah satu saung depan Rumah Pohon, membuka segala bekal yang dibawa. Mas Rey bercerita tentang Pak Toska ketika menulis novel tentang Sarongge. “Jadi di buku itu ada cerita tentang kedai kopi di atas bukit yang bisa melihat desa di bawah, ya lokasinya di sini.”
“Ada cerita lucu,” Ika menyahut obrolan, “dulu, ketika ada kabar Pak SBY mau berkunjung ke Sarongge, warga sibuk menyiapkan banyak hal. Tapi ternyata Pak SBY enggak jadi datang.”
Saya tertawa, menyahut, “Kasihan banget.”
Obrolan kami lanjutkan dengan berkeliling hutan adopsi. Dari saung depan, Mas Rey dan Ika menunjukkan kepada saya tempat lain, seperti dapur, area api unggun, kemah, dan satu saung besar di sisi kanan. Saung besar itulah yang dinamakan Rumah Pohon.
Dari area kemah, saya melihat pohon-pohon adopsi yang telah tinggi. Ki Hujan paling tinggi. Meski belum tua, pohon trembesi itu tetap menaungi pohon-pohon lain. Ia selalu menjadi peneduh bagi makhluk lain yang berada di bawahnya.
Meninggalkan Ki Hujan, kami berjalan menuju sudut paling luar area Rumah Pohon. Sungai yang entah di mana, barangkali di balik jurang, gemericiknya terdengar deras menemani suara burung. Saya membayangkan, alangkah asyiknya berkemah di tempat ini, di dalam hutan dengan segala habitatnya, pada udara pegunungan.
“Benar-benar sudah jadi hutan,” celoteh Mas Rey ketika kami berjalan meninggalkan sudut sungai menuju Rumah Pohon.
Kami mencoba masuk ke Rumah Pohon. Hati-hati sekali kami melangkah, memilih bilah bambu yang dirasa kuat untuk kami tapakkan kaki. Kaki-kaki penopang pun dirasa sudah lapuk termakan usia, oleh lumut dan serangga. Kondisinya sudah tak lagi kokoh. Bangunan bambu sudah benar-benar tak layak. Takut, kalau tiba-tiba roboh, kami pun segera balik arah ketika sampai di ruang tengah Rumah Pohon.
“Lo enggak berniat motret, Mas?” tanya saya ke Mas Rey ketika kami kembali di saung pertama.
“Malas ngeluarin kamera, Wid,” jawab Mas Rey.
“Padahal gue mau nyuri obyek lo. Habisnya bingung mau motret apa.”
“Ya motret hutan.”
Saya terkekeh, berujar, “Ya, seenggaknya dapat angle yang bagus. Enggak cuma gitu-gitu doang.”
Saya dan Ika berjalan memutar saung. Mengambil beberapa foto sekenanya. “Ada cantigi,” seru Ika lalu memotret tanaman favoritnya itu. Sementara saya mengambil satu foto pohon yang berbunga merah lainnya, senggani.
Lama berselang, ketika dirasa sudah cukup berada di Rumah Pohon, kami menyusuri jalan pertama untuk kembali pulang. Di pintu hutan, seekor elang jawa terbang rendah di atas kami. Pekiknya nyaring. Seolah memanggil-manggil nama kami.
Kami kegirangan. Kepala kami tengadahkan mengikuti arah terbang sang garuda. Seekor lagi menyusul yang pertama. Barangkali pasangannya.
Mereka memekik lagi.
“Hei, apa?” Ika menyahut pekikan elang.
Saya tidak sempat mengabadikan dua elang itu. Mereka lekas hilang dari pandangan, bersama. Barangkali kembali menuju sarangnya, membawa makanan untuk anaknya.
Perjalanan kami ke Sarongge tidak ada tujuan khusus. Ika dan Mas Rey telah berulang kali bercerita tentang sekelompok masyarakat yang rela turun gunung agar Hutan Sarongge kembali lebat oleh hijau hutan. Juga tentang Rumah Pohon yang termasyur itu, begitu besar keingintahuan saya, seperti apa bentuknya. Apakah ia layaknya rumah pohon yang selalu digambarkan pada dongeng? Yang menancap pada suatu batang pohon besar. Yang bisa melihat pemandangan luas lalu tertidur oleh siul angin.
Meski Rumah Pohon Sarongge yang akhirnya saya datangi tidak seperti yang saya bayangkan, tapi sepertinya ia lebih mulia. Saksi bisu sebuah kelompok masyarakat yang peduli akan hutannya, alamnya. Teman yang akan menemani pohon-pohon adopsi meninggi dan hutan melebat.
Maka, perjalanan kali ini begitu membekas di hati saya. Bukan hanya mengobati rasa rindu terhadap hutan, juga membuka pikiran saya bahwa apa yang dilakukan warga Sarongge adalah sebuah perilaku humanis yang dilakukan manusia kepada alamnya.
Lepas elang menghilang, kami kembali menyusuri jalanan mortar dengan ladang sayur warga. Sayang, tidak ada mobil bak terbuka yang kembali lewat. Maka, ketika dirasa langkah mulai gontai, kami berhenti di salah satu warung.
“Punten, Teh, aya Indomie?”