Jam dua dini hari. Sejak mematikan lampu kamar jam sepuluh malam, saya masih saja terjaga. Nyeri tak tertahankan terasa pada kaki kanan. Saya sadar, butuh bantuan kali ini. Dari kamar lantai atas, saya menelepon Ika yang berada di kamar bawah. Tersambung, tapi tak terangkat. Saya mengaduh dan air mata mulai menetes. Namun beberapa saat, telepon saya berdering. Dari Ika.
“Punya obat anti nyeri enggak?” ucap saya tersedu-sedu, “kakinya sakit banget.”
Cerita bermula dari satu hari sebelumnya.
Di ruang tengah, terjadi kegaduhan. Akar dan Ranting sedang berebut makanan dari uluran tangan Ika. Sifat Akar yang lebih dominan, membuat Ranting sering mengalah. Saya yang berdiri dekat Ika, lalu mengulurkan sepotong tempe kepada Ranting. Namun, secara cepat, entah karena apa, Akar berhasil mendaratkan gigi dan cakarnya di kaki kanan saya. Darah keluar dari sela jari manis dan kelingking. Luka sepanjang satu sentimeter dengan kedalaman sekitar setengah sentimeter.
Siang setelah dini hari itu, meski sudah berusaha diobati oleh Ika, saya memutuskan untuk ke klinik. Nyeri tak terbendung dan saya tidak bisa berjalan. Kang Asep, berinisiatif menyewa angkot untuk mengantar saya pergi ke klinik. Dia pun yang juga akhirnya menggendong saya.
Anehnya, setibanya saya dari klinik, Akar dan Ranting mengikuti saya sampai kamar lantai atas. Bahkan Akar sampai naik ke kasur yang lalu menjilati badan saya. Tubuhnya yang besar itupun berhasil mendarat di atas badan saya. Barangkali dia tahu saya kesakitan. Barangkali tahu, dia bersalah. Akar merajuk.
Sebagai seorang pencinta anjing, ini kali pertama diserang anjing sampai terluka, lebam, dan menangis kesakitan. Maka ini perlu dituliskan.
Akar kecil kulitnya teriris. Daging putih tampak di balik bulunya yang cokelat. Darah tak sungkan juga keluar. Dia diserang oleh anjing lain yang lebih besar. Usianya belum genap tiga bulan waktu itu. Awalnya, Akar adalah salah satu anjing peliharaan Kang Dudu, seorang petani dari Tunggilis. Akar hanya dibiarkan begitu saja oleh Kang Dudu. Ika berpesan kepada Kang Dudu untuk membawa Akar ke rumah jika kondisinya semakin parah.
Keesokan malamnya, sesuai pesan Ika, Kang Dudu membawa Akar ke rumah Ika. Esok harinya, Akar dibawa Ika menuju rumah sakit hewan di Cianjur, juga ditemani Kang Asep. Syukurlah, Akar cepat ditangani. Jika tidak, mungkin nyawanya tak tertolong.
Begitu juga yang terjadi dengan si putih Ranting. Oleh pemilik sebelumnya, Ranting kecil diletakkan di bawah bakul nasi. Dengan alasan, agar tak mengganggu tamu yang datang ke rumah pemilik. Cukup lama Ranting kecil berada dalam keadaan sedikit cahaya dan oksigen yang membuat matanya mudah sekali basah.
Akar dan Ranting. Dua ekor anjing dengan trauma, yang nyawanya diselamatkan oleh Ika. Maka, pusat hidupnya hanyalah Ika. Apapun yang dirasa dapat mengancam Ika, Akar akan menyerang. Barangkali itu yang dirasa hingga akhirnya menyerang saya siang itu; posisi saya yang terlalu dekat dengan Ika. Mereka juga merasa terancam oleh gerakan tangan dan kaki manusia. Ika harus meminta kepada ibu-ibu pekerja komplek untuk meletakkan segala peralatan yang sedang dipegang, jika Akar dan Ranting sedang berada di sekitarnya.
Seturut yang diceritakan Ika, sampai saat ini ia masih terus belajar, banyak membaca, bagaimana memelihara anjing dengan trauma. Saya mafhum, itu tidak mudah.
Ketika menulis ini, tepat seminggu saya berada di rumah Ika bersama Akar dan Ranting, belum berhasil juga saya bisa menyentuh dan mengusap lembut bulu mereka. Terlebih Akar. Malahan, ia kembali menggigit tangan saya yang sedang berusaha mengusap lehernya ketika Akar menjilati kaki dan tangan saya di suatu waktu. Bersyukur tidak luka. Sepertinya memang segala keputusan tidak ada pada saya, melainkan mereka. Mereka yang menentukan ingin berkehendak seperti apa, meskipun saya paham bahwa ini sebenarnya salah.
Syahdan, ketika saya berjalan-jalan menghabiskan pagi bersama Akar dan Ranting, di tiap langkah yang diikuti atau mengikuti, dengan tertatih, ada kepuasan tersendiri sambil terus memupuk kepercayaan mereka kepada saya.