Don’t you know it’s alright to be alone? You can make it on your own. (Candy by Ash)
***
Ini adalah kali ketiga saya dan Bulan melakukan perjalanan. Setelah berhasil mendaki Rinjani dan dilanjutkan menyeberang ke Sumbawa dua tahun lalu, tahun berikutnya Bulan bertanya kepada saya, “Tahun ini kita mendaki ke mana, Wid?”
“Gue belum pernah ke Bromo sih,” jawab saya kemudian.
Alhasil, tahun lalu kami melakukan trip Bromo – Surabaya – Madura.
Tahun ini, sebenarnya saya tidak berencana untuk berpergian. Saya punya keinginan membeli laptop baru, untuk menunjang pekerjaan saya yang semakin berat. Saya pikir, menjadi gila untuk sementara waktu karena tak bepergian tidak akan menjadi masalah buat saya. Saya merasa mampu untuk menahan hasrat itu, pikir saya.
Namun ternyata meleset. Saya tidak mampu menolak ajakan Roro, teman saya dan Bulan, untuk bertandang ke Bandung. Saya sempat dilema, apakah harus melakukan trip Bandung atau tidak demi menabung untuk membeli sebuah laptop idaman. Setelah melakukan meditasi, saya putuskan untuk melakukan trip Bandung bersama Bulan. Laptop bisa menunggu. Sementara saya tidak ditakdirkan Tuhan untuk menjadi gila karena kurang jalan-jalan.
Seorang teman pernah berkata sinis kepada, kalau saya terlalu banyak jalan-jalan. Saya hanya meringis dan bergumam dalam hati, “Peduli apa?”
Ada juga yang beranggapan bahwa saya sok menjadi anak gunung subkultur dengan kutipan-kutipan Soe Hok Gie. Silakan hakimi saya.
Saya pun tidak peduli anggapan bahwa perjalanan yang saya lakukan hanya untuk mengisi konten media sosial. Ikut-ikut, menjadikan budaya jalan-jalan sebagai gaya hidup semata. Saya tidak peduli. Apa yang saya dapatkan dari sebuah perjalanan, melebihi foto-foto Instagram yang kalian lihat.
***
Tiga trip yang saya jelaskan di atas adalah perjalanan yang saya lakukan bersama seorang rekan. Sebelumnya, dan kadang masih dilakukan, saya adalah seorang pejalan solo. Beberapa orang heran dan bertanya, “Tidak takut?” ketika mereka tahu saya pernah melakukan perjalanan solo ke Flores dan napak tilas Jalan Raya Pos.
“Tidak,” jawab saya, “takut apa?”
Sebagian lagi juga heran ketika saya bercerita pendakian solo saya ke Gunung Merapi dalam acara Labuhan Merapi.
“Loh, itu ‘kan acara besar, banyak yang ikut serta. Relawan pun ada di setiap tikungan. Enggak ngoyo juga harus sampai di pos terakhir Srimanganti. Kalau enggak kuat ya turun saja,” saya berucap.
Percayalah, jika perjalananmu punya niat baik, semua yang akan terjadi akan baik adanya.
***
Singkat cerita, inilah hari kedua saya dan Bulan di Bandung. Kali ini kami berada di Taman Hutan Raya Djuanda (kemudian akan disebut Tahura) setelah mengunjungi Tebing Keraton.
Ketika di Tebing Keraton, kami, lagi-lagi, mengalami nasib sial seperti di Bromo; kabut! Bisa saja saya protes, kenapa sih selalu kabut kalau jalan-jalan sama Bulan? Mau protes juga tidak bisa. Lagi pula, saya harus protes ke siapa? Bulan? Bulan ‘kan bukan tuhan. Dia hanya seorang sahabat yang punya guesthouse yang saya buatkan desainnya. Dia hanya seorang pemilik guesthouse yang disuruh bikin kopi oleh salah satu tamunya. Hihihi.
Saya tidak pernah mengeluh tentang apa saja yang alam berikan kepada saya dalam sebuah perjalanan.
Syedap!
Baik.
Sama seperti trip Surabaya, ketika kami harus berpisah sementara karena kesukaan kami berbeda, di Tahura, kami melakukan hal yang sama. Saya mau melalui jalan di dalam hutan sementara Bulan memilih jalan utama Tahura. Kami sepakat akan bertemu kembali di Café Dalem Wangi.
Maka jadilah saya berada di atas jalan setapak di tengah pohon-pohon besar di dalam Tahura.
Menyeramkan?
Sedikit.
Bunyi kerisik dahan, gemericik air sungai entah di mana, rengekan tongeret, cuitan entah burung apa, dan nyanyian kera. Saya sempat berdoa Bapa Kami, Salam Maria, lengkap dengan Kemulian ketika mulai memasuki jalan setapak yang sepi. Benar-benar sepi. Warung-warung penjual madu hutan pun tutup. Keramaian di Plaza Tahura benar-benar redam oleh pohon-pohon. Namun anehnya, saya berada di dalam posisi paling nyaman; di tengah hutan. Meski hanya sebuah hutan raya, tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal buruk menimpa saya, bukan? Saya percaya, jika kita berbuat baik terhadap alam, itu pulalah yang akan alam berikan kepada kita.
Alam juga tidak pernah mengeluh ketika manusia berlomba mengeruk tanahnya, pasirnya, pohonnya, batunya. Bahkan ketika ada bencana, manusia pun dengan mudah menuduh alam murka, padahal itu dampak atas apa yang manusia lakukan sendiri.
Tidak ada makhluk yang lebih beringas selain manusia.
***
Semakin dalam saya memasuki setapak hutan raya. Saya melihat dinding batu paras tinggi semi putih. Itulah Goa Jepang. Barulah kemudian, ketika saya semakin mendekat, tampak beberapa orang penjaga pintu masuk goa.
Saya berhenti di satu titik. Mengambil beberapa gambar dengan gawai sampai tak sadar bahwa seseoang menghampiri saya, bertanya apakah berminat masuk ke goa?
“Tidak, Kang. Saya hanya ingin jalan-jalan saja. Terima kasih,” jawab saya.
Seorang yang ternyata pemandu itu belum mau kalah merayu. Ia terus membujuk saya untuk masuk ke goa, katanya, mumpung ada barengannya.
Saya tetap menolak. Saya katakan sekali lagi kalau saya hanya ingin berjalan di tengah hutan raya.
Melihat tidak adanya harapan untuk mengajak saya masuk ke goa, pemandu itu kemudian berusaha menggoda saya. Sambil terus berjalan di depan saya, berusaha menutup-nutupi jalan.
“Sendirian, Neng Geulis?” “Siapa namanya?” “Rumahnya di mana?” “Minta nomer telepon?” tanyanya bertubi.
Saya kemudian berhenti. Memandang matanya secara tajam tanpa kata. Seketika, ia memberi saya jalan.
Kadang kala saya lebih merasa takut kepada manusia dibanding makhluk lainnya, baik yang kasat ataupun tak kasat mata.
***
Saya melanjutkan berjalan. Berusaha menghabiskan setapak tanah dengan susunan batu-batu. Kerisik semakin nyaring, binatang semakin gaduh, dan gemericik seolah mendekat. Ingin rasanya saya mencari aliran sungai atau curuk itu, tapi apa daya, saya tidak punya keberanian ekstrem untuk masuk lebih dalam, sendirian. Lagi pula, mungkin Bulan sudah lama menunggu di Dalem Wangi. Maka saya memilih jalan sebelah kiri, menaiki tangga berbatu sembari memadang jalan tanah lainnya.
***
Di tempat inilah, saya benar-benar mendapatkan kekuatan. Di balik batang-batang pohon, di antara suara-suara. Saya melakukan apa yang benar-benar ingin saya lakukan, dengan cara saya. Berjalan menikmati semuanya dengan kesunyian hati, sendirian, meski sedang berada dalam perjalanan bersama seorang teman. Bukankah teman sesungguhnya adalah membiarkan diri kita untuk memilih? Toh, kita pun memberinya kesempatan untuk menikmati pilihannya.
Jangan sungkan untuk berbeda.
Setiap makhluk punya keinginan dan kebutuhannya masing-masing. Jika saja tidak ada orang lain yang punya pemikiran yang sama denganmu, maka berjalanlah sendiri. Tidak apa. Tidak dosa. Selama sembilan bulan kita sendiri di dalam rahim gelap ibu. Anggap saja berjalan sendiri di tengah Tahura seperti berada di dalam perut ibu dulu. Bukankah alam adalah ibu pertiwi itu sendiri yang senantiasa akan menjaga dan melindungi?
Perjalanan, tidak harus jauh, tidak harus mahal. Tidak harus terbang berjam-jam dengan pesawat, tidak harus menyeberang lautan dengan kapal, tidak harus melawan ketakutan terombang-ambing di atas perahu untuk menuju suatu tempat tidak bersinyal, meski itu boleh-boleh saja. Silakan. Namun, melaju dengan sepeda motor menuju kedai kopi di lereng gunung kotamu, pun itu perjalanan. Hidupmu, adalah perjalanan. Percayalah, sesederhana apapun perjalananmu, kau akan mendapatkan sesuatu yang tak kalah berarti.
***
Singkat cerita, di Café Dalem Wangi, di hadapan saya tersedia secangkir kopi susu yang disajikan dengan vietnam drip, Bulan memesan green tea latte, dan sepiring rujak cireng. Sayup-sayup terdengar Black Rebel Motorcycle Club diputar. Kera-kera bergerombol di tengah jalan, menghadang dua perempuan yang hendak lewat.
Akhir kata, jika ada pertanyaan, apa yang telah saya dapatkan dari sebuah perjalanan? Jawabannya telah kalian baca baru saja.