Langkahnya cepat seperti berlari. Antara kaki kanan dan kirinya ia ayun pendek-pendek tapi cepat. Jantungnya berdegub cepat seperti seseorang remaja yang sedang jatuh cinta.
Ia memang sedang jatuh cinta. Namun jatuh cintanya itu bukan jatuh cinta biasa seperti kepada seorang pria. Ia baru saja meninggalkan Gereja Kathedral Larantuka setelah mendapatkan berita tentang dirinya yang terpilih menjadi pelantun Ovos Omnes atau nyanyian ratapan pada perayaan Jumat Agung di Semana Santa, sebuah tradisi menjelang Paskah yang rutin tiap tahun digelar di Larantuka, tahun ini. Maka ia tak sabar ingin cepat sampai rumah untuk memberitahukan kabar baik itu kepada neneknya.
Ia susuri jalan raya kotanya yang tepat berada di sisi kanan pantai Larantuka dengan hati bergelimang bahagia. Terik matahari yang selalu setia menyinari kota di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, tak terasa kali ini.
Maria, nama gadis itu. Rahangnya persegi, kulit sawo matang, rambutnya yang ikal sebahu ia ikat seperti buntut kuda. Ia berjalan meniti Tikan Turo atau pagar bambu tempat lili-lilin yang terpasang di sepanjang jalan kota yang berada di kaki Gunung Ile Mandiri itu.
Ketika ia melewati Kapela Tuan Ma, matanya yang bulat dengan alis tebal hampir terpaut itu ia palingkan pada bangunan gereja yang terkunci dan terus terkunci hingga tiba waktunya dibuka pada suatu Jumat di Semana Santa.
Pandangannya menerawang menembus dinding putih – biru bangunan di sisi kanan. Di dalam bangunan itu tersimpan patung Tuan Ma, atau Tuan Mama, sebutan untuk Maria yang Agung, Ibu Yesus, mengenakan jubah megah beludru biru tua. Patung Tuan Ma dengan raut wajah yang bisa berubah-ubah antara duka dan suka, tergantung rasa yang dimiliki oleh manusia yang menatapnya.
Setiap Maria memandang patung itu pada satu Jumat menjelang perayaan Paskah, ketika tiba waktunya kapela itu dibuka, ia melihat patung yang hidup. Bahkan di suatu Jumat, Maria melihat patung itu menangis. Dari mata Tuan Ma, Maria melihat air mata menetes dari pelupuk mata yang mengalir pada pipi. Usia Maria 10 tahun waktu itu.
“Mama, mengapa Kau menangis?” gumam Maria dalam hati.
Gadis 10 tahun itu heran, ada patung bisa menangis. Apa sebabnya? Apakah karena ratapan duka yang dilantunkan oleh seorang perempuan di depan armida¹? Atau karena roh Tuan Ma yang merasa sedih karena AnakNya mati di kayu salib sungguh menjelma pada patung itu? Atau karena nyala api lilin yang terpasang di Tikan Turo?
Seketika Maria memalingkan wajah menuju perempuan di depan armida yang sedang memegang gambar wajah Tuhan Yesus bermahkota duri. Wajah yang menempel di sapu tangan Veronika. Maria mendengar lantunan,
“O vos omnes qui transitis per viam, attendite et videte: Si est dolor sicut dolor meus.”
Maria kecil bertanya kepada sang nenek tentang arti lagu berbahasa Portugis itu. Neneknya yang kerap mendongeng itu kemudian menjelaskan tentang sebuah kisah kesedihan Tuan Ma atas kematian Tuan Ana, atau Tuan Anak, Yesus itu sendiri.
“Wahai kau yang melintasi jalan ini, padanglah dan lihatlah, adakah kedukaan seperti kedukaan-Ku?” ucap nenek.
Mendengar ucapan sang nenek, hati Maria kecil menjadi sendu, ikut merasakan kesedihan mendalam Tuan Ma karena melihat Yesus disiksa, disalib, dan mati untuk menebus dosa manusia.
Perempuan di depan armida itu menyanyi dengan begitu merdu. Angin pantai dan deru ombak malam hari tiada menyurutkan gelegar suara yang mengaumkan kesedihan. Lagu ratapan kesedihan itu menjadi semakin sedih, seperti ada jiwa yang masuk ke tubuh pelantun, yaitu jiwa Tuan Ma sendiri. Pada malam magis itu terbesit cita-cita sederhana di relung hati seorang gadis 10 tahun yang duduk di samping neneknya, berharap bisa menjadi perempuan pelantun di depan armida. Ya, Maria ingin menjadi pelantun Ovos Omnes.
Kelak, delapan tahun berselang. Langkahnya yang cepat itu telah berbelok menuju jalan kecil di samping kapela menuju rumahnya. Tiada sabar dirinya ingin mengabarkan kepada satu-satunya keluarga itu tentang sebuah cita-cita yang kali ini, berhasil ia gapai.
Perayaan Semana Santa di kotanya sudah menginjak usia lima abad. Legenda tentang keberadaan patung Tuan Ma sangat melekat di jiwa warga Larantuka, termasuk Maria. Neneknya tercinta yang menceritakan kisah itu pada Maria.
Di Tanah Nagi, ihwal peristiwa terjadi;
Angin mati menyusutkan laut menjauhkan ombak dari bibir pantai. Kapal-kapal kayu berjajar di tepi sebuah pantai berpasir hitam. Seorang nelayan suku Resiona yang hendak membersihkan jala tiba-tiba terhenyak melihat sesuatu yang asing di tepi pantai. Matanya mengernyit menajamkan pandangan.
Nelayan itu mempercepat langkahnya setelah menyadari bahwa yang ia lihat adalah tubuh manusia tersungkur, di pinggir pantai. Tubuh dengan pakaian panjang berwarna biru tua yang ujungnya tersapu-sapu ombak kecil.
Ketika Nelayan tiba, dilihatnya seorang gadis berkulit putih, tidak seperti orang lokal yang berkulit sawo matang, Wajahnya oval, bermata sayu, hidungnya mancung, bibirnya merah.
Ia pegang pergelangan tangan si gadis untuk mencari denyut nadi. Ia dekatkan juga wajajahnya ke hidung gadis untuk merasakan napas. Gadis itu masih hidup.
Sekonyong-konyong Nelayan memindahkan tubuh lunglai menjauhi bibir pantai. Merebahkan tubuh si gadis di tempat yang dirasa lebih aman. Memberikan bekal minuman dan membantunya meminum air ketika akhirnya gadis itu siuman.
“Nona kenapa?” tanya Nelayan.
Dengan terbata, gadis itu berbicara tanpa si nelayan itu tahu artinya. Sebuah bahasa asing yang tidak dipahami.
“Nona tunggu sini e, saya panggil warga untuk bantu saya tolong nona.”
Gadis itu mengangguk dan seketika Nelayan pergi meninggalkan pantai untuk mencari bantuan. Ia berlari meninggalkan pantai memasuki kota dan mengarahkan derap kakinya ke rumah kepala suku.
“Bapa,” teriak Nelayan di halaman rumah Tetua, “ada gadis terdampar di pantai! Ia terluka.”
Bersama beberapa orang, Nelayan dan Tetua berbondong-bondong menuju pantai. Tak dinyana, sesampainya mereka di tepi pantai, gadis cantik dengan wajah sayu yang berselimutkan jubah beludru biru tua itu telah berubah menjadi patung dengan susunan kerang mengitarinya, mengukir kata-kata asing, sebuah nama; Mater Dolorosa Reinha Rosari.
Mereka lalu memindahkan patung itu ke korke¹ secara beramai dan menjadikannya sebagai benda keramat. Sementara kata-kata asing dari susunan kerang itu dijadikan rapal mantra.
Sungguh aneh, keberadaan patung dan tulisan mantra itu menjadi sebuah berkah sendiri untuk warga suku Reasiona. Tanah subur dan air melimpah. Patung itu semakin dipuja.
Hingga pada akhirnya seorang misionaris Katholik dari Portugis datang dan menjelaskan arti dari kalimat itu; Santa Maria Reinha Rosari.
Kedatangan bangsa Portugis ke Larantuka bukan hanya untuk menyebarkan agama Katholik semata, tapi juga menjajah. Bangsa Barat itu ingin menguasai tanah air Nagi. Sang nenek juga pernah bercerita kepada Maria, bahwa suatu kala, ketika bangsa Portugis ingin meracuni sumber mata air Nagi yang berada di atas bukit, seorang tentara yang diberi emban itu melihat kota Larantuka berselimut kain beludru berwarna biru tua, seperti yang dikenakan patung Reinha. Kain beludru biru itu menyaru menjadi kabut tipis yang lalu disambut oleh biru lain di laut. Kota Larantuka dilindungi jubah beludru biru sang Reinha.
Begitulah Maria mendengar dongeng-dongeng tentang tanah kelahiran dari neneknya. Orang yang begitu ia kasihi. Satu-satunya keluarga yang ia miliki karena ibunya meninggal saat melahirkan Maria.
Neneknya itu juga yang mengajarkan Maria menyanyi. Dengan tekun melatih Maria jika gadis itu bertugas menyanyikan Mazmur Tanggapan pada sebuah misa mingguan. Ya, sejak kecil Maria memang rajin menjadi pelayan di kapela sebagai anggota paduan suara.
Jangan tanya bagaimana gadis itu bernyanyi. Suaranya merdu sekali. Ia pun bisa melengkingkan nada-nada tinggi. Oleh sebab itu, menjadi pelantun Ovos Omnes adalah cita-cita kecil yang ia deraskan pada darahnya. Ia ingin ikut meratapi kedukaan sang Reinha, gadis berjubah beludru biru tua yang terdampar di pantai Larantuka, lima abad silam.