“Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang”, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia. (Pramoedya Ananta Toer, 2002:181)
Surat yang bertarikh 6 November 1989, ditulis oleh Raden Adjeng Kartini kepada salah satu sahabat penanya, Stella Zeehandelaar. Surat itu kemudian dikutip Pram dalam buku Panggil Aku Kartini Saja. Dalam surat itu, R.A Kartini menceritakan kecintaannya pada bidang seni. Baginya, seni merupakan alat perjuangan bagi mereka-mereka yang tidak memiliki kebebasan.
***
Pagi hari di Jogja.
Pagi ini berbeda dari pagi lainnya. Saya bangun lebih dari pagi dari biasanya. Pada pukul enam, alarm gawai yang sengaja dipasang semalam berbunyi. Sesuai dengan janji yang sudah dibuat, saya hendak mengikuti kelas yoga di FrogHouse, salah satu rumah komunitas Jogjakarta yang berada di Bangunjiwo.
Sinar Matahari yang menyusup melalui celah-celah jendela berusaha memberikan kehidupan bagi manusia-manusia yang tinggal di Bumi. Padahal, Matahari tidak pernah merasa melakukan sesuatu dalam urusannya memberi kehidupan. Ia, secara alami memberi kuasa pada kokok ayam, pada embun pagi. Saya bergegas membuka daun jendela kamar yang berwarna hijau itu, mempersilakan sinar mentari itu masuk tanpa malu-malu.
Menyusuri jalanan Kasongan, menuju FrogHouse, Jogjakarta masih tersisa udara sejuk semalam. Sepintas aroma sederhana kayu bakar yang keluar dari tungku bengkel-bengkel gerabah, membuat bias-bias cahaya di udara. Anak-anak beramai bersepeda menuju sekolah, seorang nenek dengan telanjang kaki berjalan menyunggi seikat kayu bakar di pundak, dengan sehelai jarik. Sederhana.
Sesampainya di FrogHouse, Yohana, guru yoga saya menyambut dengan hangat. Ia sedang mempersiapkan matras-matras yang akan dipergunakan. Selain saya, kelas yoga kali ini akan diisi oleh dua tamu FrogStay, penginapan di bawah naungan FrogHouse. Jadilah kami berempat.
Saya mengenal FrogHouse kurang lebih dua satu tahun lalu. Kala itu, saya yang mengikuti kelas yoga di salah satu restoran di kawasan Prawirotaman, berkenalan dengan Yohana yang kebetulan menjadi guru yoga saat itu. Seusai kelas, kami berbincang sejenak, lalu ia memberi tahu bahwa ia pun membuka kelas yoga secara pribadi di kediamannya.
“Kalau kamu mau, yoga di FrogHouse saja. Toh lebih dekat dari rumah, ‘kan?” ucap Yohana malam itu. Semenjak itu, jadilah saya kerap datang ke FrogHouse untuk yoga. Saya juga sempat menonton acara musik yang diadakan secara sederhana oleh mereka.
***
Seperti pagi ini, kami melakukan yoga di atas panggung kayu yang berada di area tengah sebuah taman. Taman yang dikelilingi pondokan-pondakan sederhana FrogStay, taman dengan sinar Matahari pagi yang menyusup ke pori-pori kulit dengan sekuat tenaga, sinar yang memberi energi baik dalam setiap alunan lembut gerakan yoga.
Seusai yoga, saya berbincang dengan Yohana dan Mas Bagus, pemilik FrogHouse. Pagi itu, saya dipersilakan untuk melihat toko yang berada di sebelah FrogStay. Di dalam toko itu, dijual produk Batiktuk karya Mas Bagus dan beberapa barang titipan teman-teman FrogHouse.
“Warna batikmu bagus, Mas. Psychedelic Pantura,” ucap saya memberi istilah pribadi untuk batik karya laki-laki yang berasal dari Jepara itu. Spontan Mas Bagus dan Yohana tertawa mendengar istilah yang keluar dari mulut saya. “Apa itu psychedelic Pantura?” tanya Mas Bagus yang tampak bingung dengan istilah itu. “Iya, motifnya seperti batik-batik pesisir Utara Jawa dan warna-warna yang saling tabrak,” saya berusaha menjelaskan arti dari isitlah yang dibuat sendiri.
Saya merasa, Mas Bagus sebagai putra daerah Jepara berusaha mengenalkan tanah kelahirannya melalui batik-batik hasil karyanya. Ia mengeksplorasi motif-motif binatang dan tumbuhan yang menjadi ciri khas batik pesisir Utara Jawa yang dipadu dengan warna-warna pastel. Jadilah produk batiknya menjadi karya seni yang tak lekang di segala usia konsumen, tua dan muda.
FrogHouse sendiri berusaha menyediakan ruang bagi sosok-sosok kreatif yang ingin berkarya pada bidang seni dan budaya, atau apa saja. Ruang yang bisa menjadi medium bagi siapa saja yang ingin tampil berani,
“Bawa saja kayu-kayumu, Wid. Di sini ada grinder, jigsaw, kuas. Kami punya alat lengkap. Kamu bisa berkarya di sini.” ujar Mas Bagus ramah pagi itu yang sedang menjemur kain-kain batiknya di pelataran samping toko.
***
Ucapan sederhana itulah yang menggelayut dalam pikiran selama perjalanan pulang ke rumah seusai yoga, menyusuri jalan yang pertama tadi. Saya berpikir bahwa bahwa FrogHouse berhasil menjadi Jogjakarta-jogjakarta kecil. Tak hanya lingkungannya —bangunan-bangunan kayu dan taman asri—, tapi mereka adalah Jogjakarta yang ramah itu, keluar dari ucapan sosok-sosok yang hidup di atas tanahnya. Saya yakin, masih banyak Mas Bagus dan Yohana lain yang ada di kota ini. Kota yang selalu membukakan pintu bagi siapa siapa saja yang mau datang dan berbincang tentang apa saja secara sederhana.
Sementara, pasar kreatif itu harus diciptakan, baik secara individu atau kelompok. Tidak harus bergerak massal, karena seorang seniman belum tentu mampu membuat karya yang mirip satu sama lainnya. Pada dasarnya, setiap karya memiliki ciri khas masing-masing.
Selain itu, jiwa “sadar wirausaha” semakin banyak dimiliki anak-anak muda Indonesia. Menjadi wirausahawan adalah hal yang tidak mudah. Bagi saya, mereka-mereka itu adalah sosok-sosok pemberani menurut arti R.A Kartini. Sosok yang berani maju dan memulai, keluar dari zona nyaman. Sosok yang akan memenangkan tiga perempat Dunia. Festival demi festival berskala nasional bahkan internasional pun banyak digelar, guna menyediakan medium bagi karya anak bangsa, sehingga Indonesia bisa menjadi rumah yang baik untuk siapa saja yang tinggal di dalamnya.
Menjadi Jogja menjadi Indonesia adalah menjadi rumah yang ramah. Jogja dan Indonesia yang bukan saja tercatat secara letak geografi dan catatan sejarah, melainkan kumpulan sosok yang terus berkarya, berinovasi menciptakan produk karya seni yang mencermikan budaya dan memiliki nilai jual, serta ikut ambil bagian dalam pasar ekonomi kreatif sebagai media promosi negeri. Saya pun berharap, kelak suatu hari nanti, bisa menjadi “Jogjakarta kecil”, rumah bagi siapa saja yang ingin singgah.