Gadis Pantai di Pantai Amnesia

“Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangannya oleh perahu-perahu yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berlabuh di muara, menurunkan ikan tangkapan dan menunggu besok sampai kantor lelang buka.” (Pramoedya, 2013;11)

Matahari mulai condong ke sisi Timur Laut langit, ketika kami—saya dan seorang kenalan—sedikit menepi meninggalkan pusat kota. Sebelas kilometer timur Rembang, menyusuri jalan Pantura, saya menembus sebuah dimensi waktu, masuk ke sebuah masa ketika Gubernur Guntur memimpin dengan keji. Genosida yang terjadi dalam sebuah proyek pelebaran jalan Anyer – Panarukan. Jalan terbaik dan terpanjang di masanya, kuburan terluas di Pulau Jawa. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

Memasuki Desa Banggi, kami disambut kotak-kotak perhiasan milik warga, menuju bibir pantai. Kotak-kotak berisi air laut yang sedang dikeringkan, akan menjadi garam. Sepeda motor milik si Kenalan, perlahan namun pasti, menggerus jalan setapak di antara kotak-kotak itu.

Deretan rumah warga tampak di ujung Timur; beberapa kapal nelayan bersandar di ujung Barat; burung pelikan asyik bermain di kotak perhiasan air laut yang belum mengering itu. Dalam alunan pelan kendaraan roda dua, saya bergumam dalam hati, di mana rumah Gadis Pantai?

Sudah sejak semalam saya tiba di Rembang, selepas bertandang ke Perpustakaan Pataba milik Keluarga Toer di Blora. Kemarin sore adalah pengalaman yang, mungkin, tidak akan terlupakan,  bisa berbincang dengan adik mendiang Pramodeya Ananta Toer, Soesilo Toer. Dua jam perbincangan yang paling berharga.

Saat ini, saya berada di Lasem, salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang, kota paling ujung Timur Jawa Tengah bagian Utara, yang berbatasan langsung dengan Tuban. Tentang Lasem, Pram menulis, “Sekarang ia sudah beberapa kilometer dari Laut Jawa, sedang pantainya masih tersisa galangan kapal kayu.” (Pramodeya, 2003;13)

Ketika menulis ini, saya teringat ucapan si Kenalan tentang sebuah kampung nelayan yang berada di atas tanah gundukan, lebih tinggi satu meter dari garis pantai. Gundukan dengan deretan pohon cemara. Gundukan sebagai batas kampung dengan laut. Kampung yang agak menjorok ke daratan, di antara pantai dan jalan raya.

Sungai bermetamorfosa yang berubah menjadi muara. Lalu ia bertemu laut. Laut yang kadang bersahabat kadang tidak. Laut yang memberikan beliung memaksa nelayan tidak melaut, sekaligus tangkapan yang melimpah. Kapal-kapal nelayan berjajar beristirahat, atau memang sedang tidak bertugas, atau sudah pensiun. Lalu, di mana kapal milik bapak Gadis Pantai?

Medan kami semakin berat, pasir pantai yang tidak akan pernah saling mengikat, memaksa roda bekerja lebih keras. Pantai ini memang bukan yang terindah, sampah berserakan, kapal nelayan memberi bercak minyak pada air laut, bukan tujuan utama wisata negeri. Ketika berada di atas pasirnya, saya kembali menyusuri ruang tanpa batas masuk ke awal abad duapuluhan, masa di mana seorang Gadis Pantai tinggal bersama emak dan bapaknya yang nelayan. Ia bermata kecil nan jeli akibat belaian cemara yang tersapu angin. Ia, Gadis Pantai kampung nelayan yang naik kelas menjadi Mas Nganten.

Tiba-tiba kendaraan si Kenalan berhenti pada sebuah keranjang plastik yang berada di bibir pantai. Ikan-ikan kecil, ada pula beberapa udang mengisi setengah keranjang berwana hijau. “Wah, punya siapa ini?” tanyanya entah pada siapa. Mungkin kepunyaan bapak Gadis Pantai, saut dalam hati.

***

Sudah lepas dari keranjang hijau ketika kami bercengekarama di depan gundukan tanah tinggi. “Aku menyebutnya pantai amnesia. Soalnya aku bisa lupa daratan kalau berada di pantai ini. Lihat pantai ini. Sepi, damai, laut tenang. Di sini tuh hidden place-ku,” dia bercerita membara, saya melihat sekeliling.

Semburat matahari pagi memberikan nuansa kelam di sisi kapal yang bertolak belakang dari arah sinar. Kapal-kapal nelayan berjajar berisitirahat, atau memang sedang tidak bertugas, atau sudah pensiun. Bayangannya bergerak mengikuti arah riak air laut.

Pohon cemara di sini lebih besar dari yang pertama. Berbaris memanjang menjadi pemisah antara pantai dan ladang garam. Di ujung selatan, setelah ladang garam, ada sebuah kampung nelayan.

Di Timur kota, ada Gunung Lasem yang tingginya sepertiga lebih Gunung Semeru, dengan Argopura sebagai puncaknya.

Saya tersenyum mendengar kisahnya, sekaligus mengiyakan. Bagaimana tidak, bayangan kisah Gadis Pantai selalu mengganggu pikiran. Di mana ia tinggal? Di mana ia selalu menunggu ayahnya pulang melaut, lalu membantu menurunkan ikan tangkapan? Di mana ia memperbaiki jala pada akhir pekan? Sebelum ia menikah dengan Bendoro.

Atau, di mana tubuh kecil rampingnya berjalan menyusuri jalan setapak kampungnya. Membeli barang rongsokan rumah priyayi lalu menjualnya kembali di pasar. Setelah ia diusir dari rumah Bendoro.

Sungguh, saya benar-benar ingin tahu.

Berselang dari Gadis Pantai, dari kejauhan tampak adanya keramaian. Berjajar warung-warung semi permanen menjajakan makanan sampai sovenir. Orang-orang asyik berenang di pantai yang ombaknya sangat ramah, pun ada yang hanya bermain di bibir pantai, membuat kerajaan-kerajaan palsu dengan pasirnya yang semua putih. Berjajar pohon cemara laut yang masih mungil nan berotot.

***

Bertemu dengan muara Pelabuhan Kaeringan, menyusuri pecahan porselein dan tulang belulang manusia yang sudah menyatu dengan tanah, atau masih pasir, meneruskan pencarian Gadis Pantai. Deru kendaraan ala jalur pantai utara Jawa terdengar dari sela-sela ranting cemara, dan atau ilalang yang tumbuh tinggi menjulang. Tak mau kalah dengan ganasnya cambukan Daendels pada budak pekerja yang kena Malaria.

Meninggalkan Karangjahe menuju Punjulharjo. Rumah-rumah yang terbuat dari campuran mortar berderet dengan pagar rendah bahkan ada yang tanpa pagar. Seorang nenek tua menyapu halaman depan rumahnya. Tersenyum kepada kami. Anak-anak bermain kelereng di tengah jalanan kampung, memaksa kami berjalan sedikit menepi. Ibu-ibu bergerombol membicarakan hal penting dan “hal penting”, tanpa dan dengan tanda kutip.

Deru kendaraan ala Pantura masih terdengar. TTOONNN!! TTTOOONNNN!! Bunyi klakson bus atau truk yang saling tidak mau mengalah. Tak mau kalah dengan ganasnya tiang gantungan Daendels yang disediakan untuk para budak yang lapar dan haus.

Berjalan di belakang si Kenalan yang menuntun motornya yang kehabisan bahan bakar, saya masuk kembali ke awal tahun 1900-an, ditemani suara Bjork melantunkan lagu Hidden Place terngiang seperti burung-burung terbang membentuk lingkaran di atas kepala seekor binatang yang terbentur sesuatu. Menuntun langkah memasuki kampung nelayan seorang Gadis Pantai. Kampung dengan bau amis abadi.

Rumah-rumah batu itu menjelma menjadi rumah bambu dengan lepa tahi sapi sebagai alas. Di dalam rumah, ada ambin yang, juga berupa bambu, dengan barang rongsokan di bawahnya. Emak sedang memasak di dapur. Bapak berjalan menuju dapur belakang untuk menggantungkan layar tua lalu duduk di ambin memperbaiki jala. Di sela pekerjaannya, si Bapak teringat perkataan anaknya itu, “Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini. Seganas-ganasnya laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi.” Tak sadar, bapak itu manangis.

Kampung yang juga mengingatkan Pram tentang neneknya yang dicintai. Nenek yang selalu menghadiahkan dirinya dan sang adik, barang rongsokan yang dinilai cantik. Nenek yang tak pernah ia ketahui namanya. Nenek, kepadanya cerita Gadis Pantai ditulis sebagai sebuah tebusan janji.

***

Si Kenalan mendapatkan bahan bakar untuk motornya. Kami melepaskan kampung nelayan dari kisah-kisah kelam Gadis Pantai, melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya. Menyusuri Jalan Raya Pos, kami bernyanyi bersama;

In the hidden place. In a hidden place. In a hidden place. We’ll stay in a hidden place. ooo in a hidden place. We’ll live in a hidden place. We’ll be in a hidden place. In a hidden place.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *