Dada ini berdegup kencang ketika membaca kata demi kata cerita tentang Namaku Pram. Kisahnya sebagai manusia bagai botol di tengah lautan, terombang-ambing tiada arti. Bagi banyak orang, ia hanyalah sampah yang mengotori lautan, tapi untuk yang menemukannya, yang lalu membuka tutup pada botol, mengambil kertas yang berada di dalamnya dan membacanya, ia adalah lentera.
***
Di suatu siang, saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke ‘Namaku Pram: Catatan dan Arsip’, sebuah pameran yang diselenggarakan di Dia.Lo.Gue Art Gallery, Kemang, beberapa waktu lalu. Bukan tanpa sengaja, perihal Namaku Pram ini memang sudah saya jadwalkan secara khusus. Pram, buat saya adalah sosok yang ingin saya jumpai di masa yang akan datang.
“Dilarang memotret semua arsip ya, Mbak. Hanya boleh memotret situasi ruangannya saja.” ucap penjaga pameran kepada saya.
Masuk ke ruang pertama, perjalanan hidup Pram, sejak lahir sampai dengan meninggalnya, dicatatkan pada dinding ivory. Hidup seorang maestro sastra yang mengapung, mengambang, dan tidak diakui. Ia dibuang oleh bangsanya sendiri. Kata-kata yang ia tulis di kertas adalah peluru. Suaranya bagai anak panah yang dihujam keras dari busurnya. Maka ia harus dibungkam.
Hidupnya hanyalah kumpulan penahanan demi penahanan. Lompat dari penjara satu ke lainnya. Tetapi ia tetap berani, ia terus menulis. Baginya, menulis adalah sebuah keberanian.
Saya membaca catatan di dinding ivory itu dengan teliti, mengeja kata per kata tanpa mau ada yang terlewat. Mencatat buku-buku yang pernah ia tulis dan menyadari bahwa banyak sekali yang tidak saya ketahui. Selama ini saya merasa cukup mengenal Pram dari koleksi buku yang saya miliki. Ternyata saya salah. Saya terlalu angkuh untuk merasa telah mengenal.
Masih di ruangan yang sama, saya terus mengeja kata-kata itu. Kaki diseret perlahan, tidak mau ada yang terlewat. Tidak peduli orang lain yang berdiri di samping saya yang mungkin menunggu, atau silakan berdiri di belakang saya, membaca tulisan yang sama, atau mendahului saya. Mengeja benda-benda peninggalan Pram, kertas semèn yang hampir rusak, tempat ia mencurahkan segala tulisannya ketika berada di pengasingan; tas kanvas dengan cap nomer tahanan; foto-foto ia dan keluarga dipajang di dalam etalase yang tertutup kaca. Tidak bisa disentuh, maupun dipotret dari dekat. Darah saya mendesir, alirannya terasa di urat nadi. Memompa keberanian untuk membaca sisa-sisa napas yang menempel pada kertas semèn, remah-remah kehidupan yang mengendap pada tas kanvas cokelat dengan cap nomer tahanan. Ia abadi.
Lalu ketika sampai pada surat-menyurat antara ia dan anaknya, Surat Panjang Astuti itu, tulang-tulang kaki ini seolah tidak tidak mampu menopang tubuh untuk berdiri. Kelu. Dada yang berdegup kencang, menahan tangis yang hendak keluar. Kerinduan untuk pulangnya seorang bapak dari anaknya, hanyalah sebatas dongeng putri tidur. Ditelan dingin hutan belantara dengan segala bintang buas dan kabut yang pekat. Yang terlontar hanyalah doa semoga sang Bapak selalu sehat.
Saya meninggalkan ruangan yang dipenuhi sisa reremahan sosok Pram dengan kegetiran, masuk ke ruangan lain yang mungkin, punya nyawa berbeda. Orang-orang duduk bercengekrama dengan sesamanya sambil menikmati penganan yang dijajakan oleh galeri seni sekaligus café ini. Di ruangan ini, berbeda dari yang pertama. Semua boleh dipotret. Ruangan dengan hiruk pikuk suara piring dan gelas dan cerita, dihiasi dengan goresan tangan orang lain yang ingin mengabadikan Pram dengan cara yang sederhana. Lukisan segala raut wajah sang Maestro, wajah Minke, Nyai Ontosoroh, Anellies, dan kumpulan buku-buku Pram yang dipajang di balik etalase kaca. Ada pula replika ruang kerja Pram, mejanya; kursinya; mesin tiknya, mengalun bersama lagu yang diputar. Bayangan ketika ia menulis, menumpahkan segala suara yang berubah menjadi kata, melintas di ruangan kecil ini. Semua tentang memori.
Di luar, kain-kain kanvas panjang dipasang berjajar. Kanvas tentang kutipan-kutipan hidup Pram. Saya membaca satu per satu ditemani semilir angin yang menggoyangkan segala yang terbang. Gemericik air kolam menambah syahdu rasa kala itu. Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanyalah tafsirannya. Atau Seganas-ganasnya laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi. Atau Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian. Mana yang paling menusuk sampai ke relung hati? Mana yang bisa mengubah cara pandang hidup?
Saya teringat ketika pertama kali membaca buku Pram. Ada dua kutipan yang paling menggetarkan jiwa saya kala itu. “Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Ucapan Nyai Ontosoroh kepada Minke itu membuat saya semakin menyukai menulis. Terus menulis sampai sekarang. Berbahagialah kalian yang juga menulis.
Lalu ada pula ucapan Juffrouw Magda Peters, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Kutipan yang membuat saya semakin gemar membaca. Membaca apa saja. Kadang kala, pelajaran berharga tidak didapatkan di sekolah. Saya belajar tentang sejarah dan menyukainya karena kerap membaca karya sastra. Buku adalah ilmu yang terhingga, yang bisa membuka cakrawala pikiran, tak terbatas. Saya teringat ucapan seorang sahabat ketika kami dulu, kerap menghabiskan waktu berbelanja buku, selalu kalap seperti seorang anak kecil yang ingin mencoba semua mainan yang ada di pasar malam. “Tidak akan pernah rugi untuk membeli buku.” ucapnya kepada saya seraya mengantre di depan kasir. “Baiklah. Bulan depan kita puasa makan.” jawab saya tanpa ekspresi yang disahut dengan tawa cekikikan sahabat saya itu.
Saya meninggalkan galeri dengan rasa damai. Damai karena mengenal Pram lebih dalam melalui pameran ini. Sosok seorang lentera sastra, sosok yang dibuang oleh bangsanya sendiri. Sosok yang telah melalui pengasingan demi pengasingan, penjara ke penjara.
Kita sekarang hidup di era yang serba bebas. Bebas menulis apa saja dan membaca apa saja, lalu apa yang ditunggu? Menulis lah, membaca lah.
***
Sementara Pram adalah anak dari ayah bernama Mastoer, seorang guru dari Blora. Ia lahir 6 Februari 1925 dari rahim seorang ibu penjual nasi. Tugasnya menulis untuk sebuah keabadian telah usai. Yang tersisa adalah namanya yang abadi sampai jauh di kemudian hari. Akan tiba saatnya, antara kamu dan aku, akan bertemu di masa yang akan datang.