Namanya Jaladri. Aku mengenalnya sudah lama. Mas Ladri, begitu ia biasa kusapa, adalah anak buah bapak di kantor koran harian dulu. Ia memang kerap sekali datang ke rumah. Selain di kantor, Mas Ladri juga sangat dekat secara personal dengan bapak. Ia pernah mengaku kepadaku dulu, bahwa bapak mengingatkan pada ayahnya yang dibuang ke Pulau Nusakambangan karena dituduh PKI.
Lucunya, ketika bapak memutuskan untuk pensiun dini, Mas Ladri ikut-ikut mengundurkan diri dari kantor. Alasannnya, ia merasa takkan punya guru jika bapak tidak lagi bekerja. Jadi, untuk apa ia berada di kantor?
“Kasihan Ladri, segala proposal beasiswa yang diajukan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tak pernah berhasil, dan kali ini dia menyerah. Ingin bertani klembak saja di desa,” cerita bapak suatu kala kemudian di meja lepas kami makan malam bersama.
Hubungan antara Mas Ladri dengan keluarga kami pun dekat. Terlebih ibu. Ia selalu bertanya kepada bapak jika Mas Ladri belum juga datang. Hampir tiap bulan Mas Ladri menginap semalam-dua malam di rumah. Barangkali, kesamaan nasib sebagai anak seorang yang dituduh PKI antara ibu dan Mas Ladri, saling menguatkan keduanya. Mas Ladri juga kerap membawakan oleh-oleh kesukaan bapak jika desanya sedang panen klembak, rempah tembakau yang hanya tumbuh di lereng Sumbing.
Di sambungan telepon, Mas Ladri berkata kepadaku lepas ibu menyerahkan sepucuk surat yang ia tulis untuk Mbah Uti, “Dolan nang Sumbing, Ra. Ajar dadi petani. Prana dijak.”
Maka di sinilah kami sekarang. Di sebuah lereng gunung yang hanya di tanahnya, tanaman klembak bisa tumbuh.
Matahari mengangkasa. Caping-caping menenggelamkan wajah-wajah petani. Hanya tampak tubuh-tubuh setengah telanjang yang legam mengilat keringat karena matahari yang menyengat di lereng gunung.
“Kalian lihat petani-petani itu,” ucap Mas Ladri ketika kami berisitirahat di sudut ladang, “wajahnya tenggelam di balik caping-caping. Semakin tenggelam semakin giat mereka bekerja, tanpa banyak tengok dan bicara.”
Aku tahu alasan Mas Ladri mengundang kami untuk menguatkan hati Mas Prana yang baru saja gagal mendapatkan beasiswa ke Prancis untuk melanjutkan studinya. Persis seperti yang dialami Mas Ladri dulu.
“Prana,” ucap Mas Ladri, “siapa yang bisa memastikan apakah orangtua kita benar-benar seorang penjahat yang harus dibuang dan dibunuh?”
“Apakah sejarah yang selama ini dituliskan benar-benar membuktikan bahwa orangtua kita penjahat?”
“Di suatu malam aku pernah kesurupan. Malam itu hari Jumat. Seperti biasa di tiap Jumat malam aku selalu pulang ke rumah karena kantor libur di akhir pekan. Sebelum mudik, aku ikut bapak kalian ke Turgo, alhasil sampai rumah hampir tengah malam. Sesampainya aku langsung mandi, dan kemudian simbok mendengar aku bernyanyi di kamar mandi. Simbok heran, tak biasanya aku menyanyi. Simbok makin heran, suara yang keluar dari mulutku mirip sekali dengan suara suaminya. Ia menengok ke sumur, ternyata aku kesurupan. Simbok kemudian bergegas memanggil kiai yang juga orang pintar. Lepas aku tersadar, kiai itu berkata kepadaku, bahwa aku kerasukkan arwah bapakku yang menginginkanku untuk membawanya pulang. ‘Panggone bapakmu kuwi ning pinggir pantai, Le. Goleki yo, takon karo penduduk. Jupuk lemahe sakgenggaman wae, njuk digawa mulih. Bapakmu njaluk dipangku simbahmu,’ ucap kiai itu kepadaku.”
Aku dan Mas Prana diam. Mata kami tertuju pada wajah lelaki yang sudah dianggap adik oleh bapak dan ibu bercerita tentang ayahnya.
Ia melanjutkan cerita, “Singkat cerita aku pergi ke Nusakambangan. Menjalankan titah bapak. Kalau saja bapak kalian tidak membantu untuk membuatkan surat sakti, mungkin aku takkan bisa menjemput bapak pulang. Tidak semua tempat bisa didatangi dengan bebas di Nusakambangan. Di sana, oleh seorang yang mengaku mengenal bapak dan tahu di mana bapak dimakamkan, aku dituntun ke sebuah pinggir pantai yang sepi. Kuambil segenggam, kumasukkan ke dalam tabung kaca, dan kubawa pulang keesokan harinya. Di rumah lelaki tua itu pulalah aku ditampung. Ia bercerita, pada Pemerintahan Gusdur, beberapa tapol dibebaskan, beberapa lainnya menetap di pulau kerena menikahi gadis kampung setempat, termasuk dirinya. Saat kupulang, ia membawakanku oleh-oleh, katanya untuk simbok. Tampak air mengambang di bola matanya, hampir jatuh, dan tak lama jatuh.”
“Abot ra, Mas?” tanyaku.
Mas Ladri tertawa, menoleh, “buanget. Padahal nek dipikir mung segenggam, ya? Tapi rasane kaya nggawa mayit tenan.”
“Berarti lemah sing mbok njupuk, tenan seka makame bapakmu, Mas,” Mas Prana menyahut.
Mas Ladri mengangguk.
“Dan Mas Ladri berhasil membawa pulang bapak,” aku menimpali.
Mas Ladri mengangguk lagi. Matanya tajam memandang kami, hening sejenak lalu berujar, “Kita dipilih alam untuk lahir dari orangtua yang dianggap penjahat oleh negara, karena alam tahu, napas kita lebih kuat dari lainnya, hati kita lebih luas dari lainnya. Maka, tenggelamlah kalian di ketinggian alam Mahaguru.”
Sagara Nandita.