Hamemayu Hayuning Bawono. Ia adalah sebuah nilai luhur yang dipegang oleh masyarakat Jawa untuk menjaga kelestarian dan keselarasan alamnya. Apa yang sudah dimuntahkan, semestinya dikembalikan. Bahkan ketika pohon dan ilalang terbakar oleh abu vulkanis, sang gunung akan menghijaukan kembali yang telah cokelat oleh unsur haranya. Maka, ambilah secukupnya agar alam yang hidup itu akan terus hidup.
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi ketika saya tiba di Dusun Kinahrejo setelah melakukan perjalanan kurang lebih setengah jam dari rumah teman, Diena, di Rejodani. Saya sengaja menginap di kediamannya karena rumahnya itu dekat dengan tempat Labuhan Merapi digelar. Kehadiran saya adalah untuk menggenapi rangkaian acara Tingalan Jumenengan Dalem, yang hari sebelumnya dilaksanakan di Pantai Parangkusumo.
Setidaknya ada empat tempat yang dipakai Keraton Yogyakarta untuk merayakan Tingalan Jumenengan Dalem; Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Labuhan Dlepih Khayangan yang diselenggarakan di Kecamatan Tirtamaya, Wonogiri, Jawa Tengah. Dua yang terakhir, acara labuhan itu berlangsung tertutup, hanya lingkup Keraton Yogyakarta saja. Sementara dua yang pertama terbuka untuk umum, masyarakat boleh ikut serta dalam prosesi labuhan.
Labuhan mengajak masyarakat Yogyakarta untuk menapaki kembali petilasan-petilasan yang pernah disinggahi raja-raja Mataram-sebagai cikal bakal Kesultanan Yogyakarta-dalam membangun kerajaan zaman dulu kala. Ini adalah sebuah tradisi masyarakat tradisional yang masih memegang teguh kultus nenek moyang, pun sebagai bentuk perilaku dari nilai luhur masyarakat Jawa tadi.
Keadaan Dusun Kinahrejo sangat ramai. Beberapa pekarangan warga dijadikan lahan parkir kendaraan untuk para pengunjung. Mobil-mobil berjajar di pinggir jalan desa yang hanya memiliki lebar tiga meter. Warung-warung yang semula hanya dikunjungi warga sekitar, kini penuh sesak. Selain warga setempat, dusun terakhir sebelum batas hutan Gunung Merapi itu, juga didatangi orang dari banyak wilayah yang ingin mengikuti Labuhan. Petugas kepolisian bersama keamanan setempat dikerahkan untuk menjaga keadaan, pun dengan relawan-relawan. Saya juga melihat banyak jurnalis dari berbagai media datang untuk meliput.
Di salah satu warung, saya memesan segelas kopi hitam. Di sisi barat warung, tampak sebuah bangunan yang sudah tidak terpakai. Tidak ada atapnya. Dindingnya berwarna hitam dengan lapisan plester yang mengelupas. Di ujung pandangan, tampak dengan sangat jelas Gunung Merapi berdiri gagah. Langit biru.
Dusun ini pernah luluh lantah karena dilalui awan panas Gunung Merapi yang meletus pada tahun 2010. Bangunan kelabu tadi, adalah salah satu saksi bisu peristiwa yang menjadi momen seorang juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan menyerahkan bakti kepada alam yang dijaganya.
Kopi masih setengah. Saya bertanya kepada seorang yang duduk di samping, “Arak-arakan uborambe sudah jalan, Mas?”
“Sudah, Mbak. Setengah jam yang lalu,” jawabnya.
Di Labuhan Merapi, uborambe dibawa oleh para abdi dalem, yang kali ini, dipimpin oleh Mas Asih, menggantikan ayahnya, Mbah Marijan. Masyarakat tidak diperkenankan mendahului, maka sesaji yang akan dipersembahkan kepada Empu Ramadi, harus berada di depan. Di Pos 1 Gunung Merapi, Srimanganti, uborambe akan dilabuhkan.
Paska gempa bumi 2006, saya pernah melakukan pendakian ringan di Gunung Merapi, bersama teman-teman unit kegiatan fotografi kampus. Saat itu, kami hanya ingin hunting foto Sungai Gendol, kali lahar Gunung Merapi.
Pendakian ringan itu menjadi kesempatan kali pertama saya memasuki hutan Gunung Merapi, pun bertemu dengan Mbah Marijan. Di rumahnya kami menitipkan motor dan meminta izin untuk memasuki meru yang dijaganya. Masih teringat wajahnya yang menyulam raut ramah di balik keriput.
“Saben 17 Agustus, kulo lan warga rutin ngenekake upacara pengibaran bendera ing mriku,” ucapnya seraya menunjuk tiang bendera di halaman depan rumahnya. (“Setiap 17 Agustus, saya dan warga rutin mengadakan upacara pengibaran bendera di situ,”)
“Saget nembang Indonesia Raya, Mbah?” tanya seorang teman yang lalu disambut alunan merdu lagu Kebangsaan dengan Bahasa Jawa, keluar dari mulutnya. Kami hening mendengarkan.
Maka, pada Labuhan ini, adalah kali kedua saya mendaki Gunung Merapi. Anehnya, saya tetap tidak sampai puncak. Barangkali, saya tidak akan pernah mencapai lereng berpasir.
Saya berjalan menapaki tanah setapak Gunung Merapi bersama lelaki di warung tadi. Dalam hati saya merapal doa, semoga gunung yang sedang berstatus waspada itu, kali ini menjadi tenang. Mengizinkan kami melakukan puji sampai semuanya usai.
“Berarti, jalur Cangkringan ini hanya untuk acara Labuhan, Mas?” tanya saya.
“Iya, Mbak. Tidak dibuka untuk pendakian umum,” jawab lelaki yang ternyata seorang relawan Gunung Merapi yang menjaga di Pos Kemalang, Klaten.
“Tapi kalau warga masih boleh tho?”
“Boleh. Biasanya mereka ambil rumput untuk pakan ternak.”
Barangkali uborambe sudah jauh di depan, atau hanya terpaut satu kelokan, atau bisa saja sudah sampai Srimanganti. Saya tidak berusaha mengejar dan tidak pula meminta atau mengambil uborambe yang akan dibagi-bagi kepada masyarakat yang mengikuti prosesi.
Setapak jalur Cangkringan ini juga tidak mudah dilalui dengan langkah cepat. Jalan tanah selebar satu meter yang cukup menukik 45º dan berkelok meski tanahnya lembut dipijak. Belum lagi, pohon-pohon tidak begitu rapat. Ilalang masih mendominasi, sehingga matahari tanpa sungkan mampu mengucurkan keringat di tubuh, meski udara cukup sejuk. Maka saya melangkahkan kaki dengan pelan. Satu potong bekal gula jawa, saya lumat ke dalam mulut.
Di sini, saya hanya ingin melihat, ingin mengetahui jalannya ritual napak tilas ini. Ingin meminta izin yang sama, yang telah saya lantunkan kepada Ratu Selatan, pun untuk membayar rasa rindu saya kepada hutan dan gunung, juga ingin memandang Merapi secara dekat, dari kakinya. Bagaimana mulutnya yang menganga itu mengeluarkan awan tipis dan bagaimana matanya yang menyala mengawasi manusia-manusia yang bermukim di tanahnya, menjaga mereka dari segala ancaman.
Ah, sekalinya kau berhasil bersenggama dengan gunung dan hutan, akan tiba pada waktu-waktu merindukan dan membutuhkan belaiannya.
Ketika saya menulis ini, saya kembali teringat akan beberapa kejadian yang saya alami ketika hendak melihat Gunung Merapi dari dekat. Empat kali saya menyambangi Kopi Merapi di Kaliadem, empat kali itu pula saya hanya melihat kabut. Juga ketika saya bersama teman-teman Relawan Lindungi Hutan Yogyakarta melakukan pengecekkan pohon-pohon adopsi di Kaliadem, puncak juga berkabut.
Beberapa waktu lalu, ketika melakukan riset untuk bahan naskah, saya mengunjungi Plawangan. Lagi-lagi, saya tidak mendapatkan wajah puncak itu.
Oiya, pernah juga saya hendak mendaki Bukit Turgo. Namun, di tikungan terakhir sebelum Gua Jepang, saya harus balik kanan karena tiba-tiba hujan turun dengen deras.
Tidak berhenti di situ. Ketika saya melakukan perjalanan hari ulang tahun, lagi-lagi, puncak Gunung Merapi yang kali itu sedang bersanding dengan Merabu, terhalang kabut. Saya terkekeh di salah satu warung makan di Ketep Pass, lokasi pilihan saya untuk perjalanan kala lalu, berpikir, mengapa saya selalu tidak diperkenankan melihat Gunung Merapi secara mudah? Hanya dengan mengendarai motor, lalu parkir, dan duduk. Tidak begitu. Saya seolah harus berpakaian safety dengan sepatu trekking, membawa bekal pada ransel. Harus lelah dulu, haus dulu, baru bisa melihat cantiknya puncak Gunung Merapi.
Atau, barangkali saya telah kena teluh menjadi orang Yogya tulen, yang menganggap Gunung Merapi adalah tuhan, yang tak akan saya injak kepalanya. Hanya diperkenankan memasuki hutan di kaki Merapi secara khusus.
Seperti pada Labuhan ini, saya melihat puncak itu dari celah-celah pohon di kakinya. Gunung Merapi tampak bersih di antara lazuardi langit. Siul angin. Kicau burung.
“Mbak mau sampai Srimanganti?” tanya lelaki yang sama.
“Enggak tahu, Mas. Saya enggak ngejar apa-apa. Misalnya saja di tengah jalan saya enggak kuat, ya tinggal turun,” jawab saya.
“Masnya rencana mau sampai Srimanganti?” tanya saya kemudian.
“Endak, Mbak. Saya dapat jatah jaga di petilasan Pos 3 Labuhan,” jawabnya, lalu melanjutkan, “mboten nopo-nopo tho, Mbak, nek jalan sendiri ke Srimanganti?”
“Mboten nopo-nopo, Mas. Wong rame kok,” jawab saya.
“Iya, Mbak, ramai. Ada tim di tiap tikungan,” tutupnya.
Antusias warga yang datang bukan hanya dari Yogyakarta, begitu besar. Tua-muda. Beberapa kali saya melihat orang-orang tua, dengan bantuan batang pohon sebagai tongkat, bertelanjang kaki seperti para abdi dalem, menapaki tanah berkontur tinggi nan sempit menuju Srimanganti. Satu-dua dari mereka sedang didampingi relawan, ada yang dipapah, ada yang diberi minum, duduk di satu tepi, yang tampak sangat lelah, tapi mungkin tekadnya bulat, ingin ikut mengais berkah. Barangkali ada satu keinginan, agar jiwanya bisa menjadi bagian dari Keraton Merapi, kelak, ketika ia berpulang.
Tiga jam berselang dari pintu rimba, akhirnya saya sampai di Srimanganti. Pos penuh sekali. Para abdi dalem yang duduk di depan petilasan Srimanganti tertutup oleh kerumunan orang. Saya cukup kesulitan untuk melihat prosesi. Dari sisi timur petilasan, saya berjalan menuju barat, baru kemudian saya sedikit bisa melihat prosesi.
Aroma dupa menyerbu udara. Para abdi dalem membagi-bagi sesaji untuk masyarakat yang meminta. Tampak Mas Asih duduk di barisan terdepan. Mulutnya komat-kamit marapal mantra. Saya berdiri tenang menyaksikan.
Tak lama saya berada di Srimanganti. Barangkali tidak lebih dari satu jam. Ketika dirasa cukup, saya kembali berjalan untuk turun sembari melumat sisa gula jawa yang dibawa. Di suatu tikungan, saya sedikit menepi untuk memberikan jalan kepada seorang nenek tua yang dipapah oleh satu relawan.
“Prosesinya sudah selesai, Mbak?” tanya ramah lelaki berpakaian oranye.
“Belum, Pak. Masih bagi-bagi uborambe,” jawab saya tak kalah ramah. Berusaha memberi harapan kepada sang nenek, yang barangkali, berharap ngalap berkah.
Di warung yang pertama, seraya menikmati satu mangkuk mie instan dan segelas es teh, saya bergumam dalam hati, lagi-lagi merasa beruntung bisa menjadi bagian dari prosesi Labuhan. Melihat secara langsung, apa yang pernah saya baca pada buku-buku tentang sebuah ritual untuk menjaga alam agar tetap lestari. Menyakasikan dongeng-dongeng yang pernah saya dengar tentang sebuah kultus nenek moyang yang berdiam pada pohon-pohon, batu-batu, sungai-sungai, dan gunung-gunung, yang akan senantiasa menjaga manusia dari segala bala. Memandang Merapi yang kali ini sungguh tenang seperti seorang eyang yang menjaga cucunya. Barangkali ia ikut tertidur, seperti cucunya yang lelap di pangkuan, sejenak.
Waktu berselang. Saya kembali menyusuri jalan raya yang pertama dilewati. Senyum kembali mengulum hening di hati sembari bergumam, Merapi memang selalu menepati janjinya.