Memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman bekerja kantoran di Jakarta untuk berdiri sendiri sebagai freelancer di Yogyakarta adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidup saya. Terjadi pada tahun 2014. Memang, periode sebelum tahun itu, saya sudah beberapa kali mengerjakan proyek kecil bersama seorang rekan, tapi pada tahun 2014 itulah saya total mandiri di Yogyakarta.
Saya ingat perkataan Pak Yanto, rekan kontraktor kantor saya dahulu, “Satu tahun lagi deh, Mbak Widi. Biar pengalamannya semakin matang,” di suatu makan siang habis rapat. Saya berusaha paham maksud Pak Yanto, mungkin saya terlalu nekat. Periode itu pula, hubungan kerja antara saya yang mewakili konsultan desain dengan Pak Yanto sebagai kontraktor sedang rutin-rutinnya. Sangat baik. Mungkin beliau pikir, keputusan saya terlalu berani dan beliau belum ikhlas melepas seorang rekan project manager yang sangat punk ini.
Sedaaaappp.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur ayam di Jl. Masalembo adalah bubur ayam terenak se-kelurahan Cijantung menurut saya. Dalam hidup, sekali berarti sudah itu mati.¹
#Tapipak
Ngga langsung mati juga, Pak.
***
Puri Gardenia memang bukan proyek pertama saya sebagai freelancer, sebelumnya sudah beberapa kali mengerjakan proyek interior. Tetapi, Puri Gardenia adalah proyek interior lengkap—rancang dan bangun. Terlebih, ada cerita menarik, yang menjadi pelajaran berharga saya sebagai seorang perancang.
Klien saya kali ini adalah seorang teman dekat, Edwin dan Abim. Seperti judulnya, proyek ini berlokasi di Perumahan Puri Gardenia yang berada di daerah Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan tipe rumah 48/33 m².
Pada proyek ini, saya mengerjakan pekerjaan desain interior secara keseluruhan rumah dan pekerjaan pengadaan kitchen set. Konsep desain rumah ini adalah natural minimalist, sesuai dengan luasan rumah yang hanya lima langkah berjalan dari pintu depan sudah sampai ke pintu belakang, “Rumahnya cuma lima langkah gitu. Jadi ngga bikin capek.” ucap Abim kala itu ketika saya sedang bertandang ke Puri Gardenia.
Proses komunikasi kami lakukan secara daring, karena memang saya tinggal di Yogya sedangkan klien di Bali. Saya hanya melakukan pengiriman berkas secara daring sebanyak tiga kali termasuk denah. Tidak banyak revisi. Senang luar biasa rasanya.
Proses desain selesai, lalu dilanjutkan dengan pengadaan kitchen set sesuai dengan permintaan. Saya ingat, siang itu setelah Edwin dan Abim menyetujui anggaran yang diajukan, dengan antusias saya bergegas menuju Klaten, bengkel milik pekerja saya. Naik motor! Panas dan sempat nyasar juga. Rasanya ajaib. Bangga pada diri sendiri, ternyata saya tangguh juga.
Loh, kok sombong?
Singkat cerita, akhirnya pekerja saya mengirimkan foto via What’sApp kalau kitchen set sudah selesai dan siap dipasang. Saya pun melakukan koreksi akhir melalui foto-foto yang dikirimkan tadi. Bentuk, oke. Warna, oke. Semua sudah oke pokoknya.
Tiba akhirnya hari pemasangan. Ketika mobil bak terbuka pekerja datang, loh kok loh kok, warnanya berubah jadi hitam. Saya kalang kabut. Plastik es teh yang saya pegang langsung mak byuk saya taruh di lantai dan tumpah.
“Loh, Mas, kok warnanya jadi hitam?” tanya saya kepada kepala pekerja dengan rasa amburadul. “Habisnya Mbak Widi ndak ngasih jawaban waktu saya tanya warna finishing?” jawabnya polos, sepolos mie ayam Pakde langganan saya. “Kan saya kasih gambar jempol waktu itu,” jawab saya berusaha ikutan polos walaupun tidak bisa. “Maksudnya jempol itu tandanya sudah oke, Mas.” saya melanjutkan seraya merasakan badan yang sudah gembrobyos karena Yogya itu panas, Bray. “Oh, gambar jempol itu tandanya oke. Saya ndak tahu, Mbak. Saya pikir, ya sudah, Mbak Widi ndak kasih jawaban, saya kasih warna hitam di finishing terakhir.” jawaban atas sebuah aksi improvisasi paling santai yang pernah saya dengar, Lurd.
BHHUUKK! Rasanya seperti kena gébok bola tenis ketika bermain kasti. Tenis apa kasti nih? Saat itu saya langsung tidak bisa mikir. Diam saja sambil mengais es teh yang tersisa di plastik, seraya melihat para pekerja memasang kitchen set.
Iya, mereka tetap melanjutkan pekerjaan tanpa peduli saya yang tidak tahu harus berbuat apa. Bodohnya lagi, saya tetap membiarkan kitchen set itu terpasang sampai selesai. Iya, saya bodoh.
Akhirnya saya menghubungi Abim. Saya menceritakan semua kisah sengsara yang saya alami. “Duh, ngga bisa gitu dong, Wid. Harus dikembalikan ke warna yang sudah disetujui. Edwin bisa marah besar sih ini,” dan bla bla bla ucapan Abim lainnya yang membuat saya merasa bersalah. Sumpah!
* Kalau tidak pakai sumpah berapa?
* Mangewumangatus
Benar, Pemirsah. Edwin marah besar dan tidak tahu pokoknya (hati-hati sama orang yang selalu bilang “pokoknya” deh, soalnya seng ada lawan!) dia mau diganti warnanya sesuai dengan gambar.
JENG JENG JENG!
Alhasil, setelah saya bersusah payah mengajukan keberatan ke pekerja saya, mereka mau memperbaikinya.
Ya iyalah, menurut ngana?
Siang itu, seperti siang-siang lainnya di Yogya yang gerah, para pekerja membongkar semua kabinet kitchen set menjadi panel-panel, menyerut lapisan hitam sampai pada lapisan asli, lalu melapisi lapisan akhir sesuai dengan kesepakatan bersama. Hari itu saya dan Abim bolak-balik saling telepon. Yogya jadi semakin gerah.
Untung saja, Edwin dan Abim berbaik hati untuk menerima kompromi dari saya kalau yang diubah ke warna semula hanya bagian luar, bagian dalam tidak usah karena memang susah. “Jadi, tampilannya sesuai gambar, Bim.”
Terima kasih, Edwin. Terima kasih, Abim. Kalian baik sekali. Sa …
STOP!
Setelah seharian, akhirnya kitchen set berubah warna dan terpasang kembali. Seperti bermain sulap pokoknya. Hari yang berat, seperti trek Semeru yang katanya lebih berat daripada Rinjani. Saya bilang ke pekerja saya, “Mas, saya minta maaf soal salah komunikasi, tapi lain kali kalau mau improv, hambok bilang-bilang dulu.”
“Tapi sebenarnya, kualitas finishing yang hitam itu lebih bagus dibanding yang natural, Mbak.” kata Mas Anton, kepala pekerja, melakukan pembelaan.
“Percuma bagus, Mas, kalau klien ngga suka. ‘Kan ini rumah mereka dan yang punya uang mereka.” jawab saya kemudian.
***
Kejadian ini menjadi pelajaran penting yang saya garis tebal. Komunikasi itu hakiki. Saya pun mengakui bahwa pengawasan sampai batas titik nadir itu juga penting dalam sebuah proyek. Pokoknya harus sampai Mahameru!
Itu kekurangan saya. Saya menerima sebagai kesalahan saya dan bertanggung jawab. Saya juga meminta maaf sekali lagi kepada Edwin dan Abim dan berterima kasih karena sudah mau berkompromi. Semoga tidak kapok.
Salam dua periode.
***
¹. Sajak Diponegoro oleh Chairil Anwar