BYURR! Air laut menyembur, membasahi tubuh kami—saya dan Bulan— yang duduk di haluan kapal. Segala gawai kami simpan di dalam tas, yang juga basah, secara bergegas. Air laut bisa merusak lebih ganas. “Duduk di belakang saja, Mbak,” ucap Mas Ian, kapten kapal kami. Ia melanjutkan “Ombaknya sudah mulai besar.” Bulan bergegas berjalan ke belakang kapal sedangkan saya hanya mampu mengesot mundur seraya menarik tas perlahan. Kapal mulai oleng.
***
Pagi ini, kami dalam penyeberangan menuju Gili Labak. Pulau yang dihuni oleh tigapuluh Kepala Keluarga itu berada di sebelah Timur Pulau Madura, masuk dalam Kabupaten Sumenep. Sudah sejak semalam kami tiba di Sumenep, setelah melalui perjalanan darat yang melelahkan. Ada beberapa pelabuhan di Sumenep yang melayani penyeberangan menuju Gili Labak, seperti Pelabuhan Kalianget, Desa Lobuk, Tanjung, dan Desa Kombang. Kami memilih Pelabuhan Kalianget.
Di Kalianget, terdapat banyak penginapan dan warung makan. Mini market dan mesin ATM juga ada. Jadi, tidak perlu khawatir. Harga penginapan pun tidak begitu mahal, berkisar Rp40.000 sampai Rp80.000 per malamnya. Kami menginap di Penginapan Bu Rachmad, tepat berada di depan Terminal Kalianget, tidak jauh dari pelabuhan. Ada dua pilihan kamar, yang pertama kamar dengan kasur kapuk seharga Rp50.000 per malam, sedangkan kamar dengan springbed seharga Rp75.000 per malam. Kami memilih yang kedua.
Perjalanan hari kemarin adalah perihal yang melelahkan bagi kami. Dua perempuan seharian berada di jalan menuju sisi lain Indonesia yang belum pernah disinggahi. Dari Bromo, kami melakukan perjalanan dengan menggunakan mobil Elf menuju Probolinggo yang memakan waktu kurang lebih dua jam. Dari Probolinggo, kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan menggunakan bus selama tigasetengah jam. Lalu, dari Surabaya, kami menggunakan bus lagi menuju Sumenep selama lima jam. Belum lagi, bus terakhir kami tersebut, sempat mogok di jalan. Sempat berhenti selama satu jam sebelum sampai di Sumenep dan berganti dengan bus lain di belakang kami. Setidaknya, dari perjalanan itu, saya sudah menelan obat anti mabuk perjalanan sebanyak dua butir.
Kondektur bus kami yang terakhir ini sangat baik, ia menawari kami untuk berhenti di garasi bus, bukan terminal, karena jarak antara garasi dan Kalianget lebih dekat ketimbang dari Terminal Sumenep. Ia juga menawarkan ojek untuk mengantar kami menuju Terminal Kalianget. Mungkin ia merasa kasihan, melihat kami, dua perempuan yang letih kebanyakan obat anti mabuk. “Nanti diantar teman saya, Mbak, pegawai garasi juga. Kasih saja Rp15.000 tiap motor.” katanya. “Wah, terima kasih banyak, Pak.” jawab kami serentak.
Tuhan memang baik. Ia selalu punya cara. Belum lagi keramahan Bu Rachmad, tuan rumah penginapan, menyambut kami, seolah menyembuhkan segala letih. “Mbak Widi yang dari Yogya ya?” sapanya ketika kami tiba di penginapan, malam itu. “Iya, Ibu.” jawab saya kemudian. “Selamat datang. Silakan kamarnya dipilih sendiri, mau di atas atau di bawah.” ia berujar lembut.
***
Pagi ini, sekitar jam tujuh, kami keluar penginapan berjalan kaki menuju pelabuhan. Matahari di Sumenep kali ini memancar tidak biasa. Cahayanya membuat butiran keringat menetes deras, membasahi wajah sampai ke baju. Kami berjalan santai.
Sesampainya di pintu masuk pelabuhan, kami bertanya kepada petugas penjaga, apakah ada kapal umum menuju Gili Labak? “Kalau hari biasa, harus sewa kapal, Mbak. Tidak ada kapal umum,” jawab Bapak Petugas. Si Bapak menambahkan, “Kapal umum adanya hanya Sabtu dan Minggu saja.”
“Bapak bisa bantu kami, apakah Bapak punya kenalan pemilik kapal?” tanya Bulan. “Ada, Mbak. Coba saya hubungi dia dulu ya.” jawab Bapak ramah. Tak lama Bapak tersebut menelepon teman yang dimaksud tersebut. Singkat cerita, kami sepakat menyewa kapal itu dengan harga Rp500.000 untuk perjalanan menuju Gili Labak dan kembali ke Sumenep. Jadi, untuk perorangan yang tertarik ke Gili Labak, sebaiknya pada Sabtu – Minggu. Kapal umum banyak tersedia dengan kisaran harga Rp80.000 per orang untuk perjalanan pulang pergi Sumenep menuju Gili Labak dan kembali ke Sumenep.
***
Mas Ian sigap mempersiapkan kapalnya untuk mengantar kami menuju Gili Labak. Ia menceburkan diri ke laut untuk melepaskan jangkar dan menarik tali-temali, melepaskannya dari kaitan, dibantu oleh satu orang temannya. Sedangkan kami, duduk manis di dalam kapal.
Tak lama berselang, kapal mulai menyusuri sisi lain Laut Jawa. Laut yang semula tenang, tiba-tiba bergejolak hebat. Rasa takut yang sejak tadi dipendam, muncul satu per satu ke permukaan, mengombang-ambingkan perasaan.
Dari dalam kapal, saya melihat haluan kapal memecah ombak. PYARR! Bunyinya seperti sebuah tamparan tangan yang mendarat di pipi. Rasanya pasti sakit. Bunyi tamparan yang kemudian disusul dengan gemeretak kayu linggi kapal. Hantaman ombak itu, kemudian pecah menjadi dua lalu luluh lantak seperti butiran garam yang ditabur kasar pada cacing cacing tanah. Buihnya menyembul ke atas, ada pula yang masuk ke dalam kapal. Itu terjadi setiap saat. Saya menegok ke arah belakang, sang Kapten sibuk memompa bagian bawah kapal, mengeluarkan air yang masuk, alih-alih mengemudikan kendaraannya. Di samping kiri saya, Bulan merekam ombak besar itu dengan gawainya sembari tertawa terbahak. Seolah ia sedang menonton hiburan sirkus, sedangkan saya hanya terus berdoa agar semuanya cepat berlalu.
Setelah dua jam di laut dengan satusetengah jam-nya adalah ketakutan, kami hampir sampai di Gili Labak. Pasir putihnya sudah tampak dari kejauhan. Pasir putih bak gundukan garam di tengah laut hijau toska memesona.
Matahari di sini bersorak gembira, membuat kilau-kilau pada pasir, pada laut, dan pada tubuh. Membuat kulit cepat menghitam. Membuat air laut yang menempel menjadi butiran putih seketika, memberi remah-remah pada kulit. Jika ada yang menyebutkan bahwa Madura adalah daerah penghasil garam, ungkapan itu benar adanya. Saya berjalan jinjit dengan langkah pendek nan cepat menuju tempat yang lebih teduh.
Pulau ini hanya memiliki luas sekitar lima hektar. Katanya, cukup satu jam saja untuk berjalan mengelilingi pulau. Selain rumah-rumah penduduk yang di bagian depannya dipergunakan sebagai warung, ada bale-bale kayu yang bisa dipakai untuk bersitirahat. Ada pula dipan-dipan kayu beserta payungnya berjajar di muka pantai. Di sisi kanan kedatangan kami, terdapat area kemah dengan beberapa arena bermain.
Karena pulau yang tidak besar dan tidak ada sarana penginapan, orang-orang biasanya datang pada pagi hari dan kembali ke Sumenep pada sore hari sekitar pukul tiga-empat. Tetapi, jika kebetulan datang beramai bersama teman-teman, bisa juga mencoba untuk berkemah di Gili Labak. Katanya, senja di Gili Labak adalah salah satu yang terbaik. Jangan lupa membawa persediaan air mineral yang banyak, karena di Gili Labak airnya payau. Walaupun banyak dijual air minum kemasan, tapi alangkah baiknya jika membawa sediri, hitung-hitung untuk lebih hemat.
Kami berjalan menyusuri pantai. Pantai yang putih bersebelahan dengan rimbun pohon di sisi kiri dan hijau toska lautan di sisi lainnya. Buih putih air laut itu bergantian membasahi pasir secara bergantian. Gejolak laut di tengah sana tampak tenang dari sini. Aneh rasanya ketika membayangkan pengalaman diluluhlantakkan ombak di atas kapal tadi dan bisa berada di pulau ini dengan damai. Rasa takut akan laut yang selalu datang dan selalu saya lawan. Senang akhirnya bisa menang sekali lagi.
Berjalan, membuat jejak-jejak kaki pada pantai. Pantai di sini lebih lebar dari yang pertama kami datang. Ia menjorok ke lautan lebih perkasa. Bermain air di pinggiran dan mengambil beberapa foto keindahan pulau ini dengan gawai. Berjalan dengan panas yang tidak biasa. Panas yang menusuk kulit seperti ribuan jarum tato yang merasuki tubuh.
Pada waktu kami datang, hanya ada satu kelompok besar pengunjung yang juga berada di Gili Labak. Mungkin sekitar duapuluh-an orang, sedang asyik ber-snorkeling. Dan satu kelompok kecil baru saja berlabuh di samping kapal kami. Mereka enam orang. Tidak begitu banyak orang yang datang kala itu. Mungkin karena Ramadhan. Asyik juga, gumam saya dalam hati. Salah satu keuntungan melakukan traveling pada bulan puasa.
Tak puas dengan satu lokasi, kami berjalan menuju dermaga di sisi lain pulau. Memotret keindahan pulau ini dari sisi yang berbeda. Lagi-lagi saya membayangkan, asyik juga berkemah di Gili Labak dengan teman-teman lain waktu. Tapi dengan catatan, naik pesawat dari Surabaya. Lima jam naik bus dari Surabaya cukup sekali saja.
Saya merebahkan tubuh di atas ambin kayu yang berpayung itu ketika Bulan ber-snorkeling bersama kelompok kecil yang ternyata berasal dari Surabaya. Ya. Santai di pinggir pantai, melihat segala yang menakutkan di depan sana secara diam. Membiarkan Bulan asyik melihat keindahan bawah laut yang belum pernah saya lihat secara langsung. Rasa penasaran yang selalu saya rasakan, seperti apa di bawah laut sana. Saya seolah tidak punya kekuatan untuk melawan rasa takut lebih untuk menyelami laut. Nyali saya hanya sebatas berada di dalam kapal yang terombang-ambing oleh ombak. Keberanian ketika berada di atas gunung tidak saya miliki terhadap laut. Rasa sembuh yang saya rasakan setiap mendaki gunung tidak diberikan oleh laut. Tapi saya cukup bahagia bilamana hanya bisa merebahkan tubuh di ambin kayu berpayung warna-warni itu dengan satu bongkah buah kelapa muda.
“Bagus tidak?” saya bertanya kepada Bulan ketika selesai ber-snorkeling. “Biasa saja. Karangnya ada yang putih, ada juga yang berwarna. Tapi lebih banyak putih. Oiya, sempat lihat ikan nimo juga.” jawab Bulan. “Bagus mana sama Moyo?” saya kembali bertanya. “Oh ya jelas bagus Moyo.” jawab Bulan dengan yakin.
Kami juga sempat berbincang dengan teman-teman dari Surabaya tadi. Kami saling bercerita berseling canda gurau. Mereka merekomendasikan beberapa tempat yang, menurut mereka, lebih bagus dari Gili Labak, seperti Gili Ketapang di Utara Probolinggo dan Pulau Menjangan di Bali Barat. “Kalau mau ke Menjangan, menyeberang dari Banyuwangi saja, lebih dekat.” ujar salah satu dari mereka. Senang rasanya, bisa bertemu orang-orang baru dan bertukar pengalaman.
***
Di atas haluan, Bulan tiba-tiba tertawa, melihat kapal yang didorong lembut oleh ombak ketika kami berlayar kembali menuju Sumenep, menengok ke arah saya, “Lucu deh. Kayak main ayunan.” ucapnya sambil memperagakan ayunan kapal dengan tangannya. Lagi-lagi, ini hanyalah tontonan sirkus baginya. Tapi bagi saya, untuk menang sekali lagi akan rasa takut adalah dengan melangkah. Menjawab rasa penasaran oleh ucapannya, saya memberanikan diri untuk beranjak dari dalam menuju ke haluan, duduk di samping kanan Bulan, di ujung kapal.
Benar adanya. Ombak kali ini lebih mau diajak berdamai. Di atas sana awan bergerombol kelabu menutupi Matahari senja. Keindahan Matahari tenggelam pun tidak bisa dinikmati seperti impian kami sebelumnya, sama seperti ketidakberuntungan kami mengejar mentari pagi di Bromo. Kami hanya duduk di haluan kapal. Merasakan sepoi angin. Di buritan, sang Kapten duduk santai mengendarai armadanya tanpa beban. “Kapten kapal kita jago memecah ombak lho. Dia tidak langsung pecah ombak dari depan, karena itu bisa bikin kapal karam. Tapi dia sedikit miringkan kemudi lalu mengikuti ombak baru kemudian dipecah.” Bulan menjelaskan kepada saya ketika kami masih berada di Gili Labak tadi. Ucapannya itu pula yang membuat saya berani duduk di luar kapal sore ini.
Saya mengamati bagaimana ombak mendorong badan kapal itu dengan lembut. Mengeja satu per satu tiap gulungan, mengalun seperti nina bobok seorang ibu untuk bayinya. Kapten Ian, berhasil membawa kami sampai di Sumenep dengan selamat.
***
Sementara, racikan kopi dan kapulaga Ibu Rachmad menutup cerita hari ini. Racikan manis yang menemani obrolan saya dengan putra Ibu Rachmad di kedai makan yang berada di depan penginapan. Menyimpan satu pengalaman baru, di tempat yang, juga baru, sebagai bekal untuk memulai hari baru dan pengalaman baru lainnya.