Di lembah ini, semua terlihat sempurna. Bukit hijau tua menyambut langit yang biru muda dengan awan putih di bagian ujungnya. Di bawah, savana pasir hitam dan ilalang kekuningan, dihiasi dengan bunga ungu di beberapa malainya. Ini bulan Mei, katanya, waktu yang tepat untuk melihat Nusantara lebih dekat.
***
Bromo pagi ini masih berkabut. Pasir hitam itu hanya berteman dengan putih awan. Wewarnaan hanya pada kain-kain sanggah di sudut-sudut suci. Pak Sudar masih melajukan mobil dengan beringas. Tidak peduli dengan liukan serta jalan yang licin oleh sirat kabut yang jatuh pada aspal.
“Selanjutnya kita ke mana, Pak?” tanya Bulan. “Kita ke Bromo ya, Mbak.” jawab Pak Sudar sederhana.
Saya masih berharap bisa melihat Matahari. Bukit Kingkong tidak memberi kesempatan untuk menjadi saksi cahaya surya menyematkan kehidupan pada Bumi, karena pada akhirnya saya hanya bisa melihat kabut yang lalu lalang menutup seluruh pandangan.
“Arahnya ke sebelah sana ya, Mbak.” ucap Pak Sudar menunjukkan arah menuju Gunung Bromo dari kursi kemudi mobil. “Kamar kecil di sana ada.” sambungnya, memberi tahu kepada saya yang sedari tadi ribut di mobil karena kebelet buang air kecil.
Saya dan Bulan mulai berjalan di atas pasir hitam. Penduduk sekitar menawarkan jasa kuda untuk mengantar sampai di atas. “Tidak, Pak. Kami jalan kaki saja. Terima kasih.” tolak saya. Tapi mereka kuat dengan pendiriannya, terus mengikuti kami sampai pada jalan setapak yang mulai menanjak, jaga-jaga barangkali saya menyerah.
Saya berjalan meninggalkan Bulan di belakang, dengan sesekali melihat ke belakang, menjaga jarak supaya tetap terjangkau oleh pandangan mata. Melihat tahi-tahi kuda di sepanjang jalan, dengan semerbak baunya, saya bergeming dalam hati, “Kuda-kuda itu kok bisa ya berjalan di jalanan kecil pasir yang menukik?”
Pertanyaan yang sangat bodoh. Pikir saya kemudian.
Gunung, buat saya, adalah tempat ternyaman di alam terbuka. Tidak ada rasa takut ketika mendaki jalannya yang kecil, menukik dengan derajat yang, mungkin saja, curam. Seolah, di tempat ini, saya mendapat kekuatan dahsyat yang luar biasa. Kekuatan yang membuat saya berpikir, bukan menjadikan rasa angkuh itu muncul, melainkan bahwa setiap manusia bisa melakukan apa saja, asalkan mereka punya kemauan, walaupun itu berjalan sangat lambat. Kekuatan yang diberikan kepada saya dari Sang Empunya.
Dia memang Maha Besar.
Pada bukit pertama kami berhenti. Melihat ke bawah yang masih dihiasi pasir hitam berkilauan. Tidak banyak pelancong yang datang ke Bromo. Sebagian kecil dari mereka merupakan orang lokal Indonesia, selebihnya mancanegara. Ada untungnya juga melakukan perjalanan pada bulan puasa, pikir saya dalam hati. Kemudian saya melihat ke atas. Tangga menuju puncak tampak menukik dengan ujungnya yang berkabut. Bromo berstatus waspada. Kami memutuskan berhenti di bukit terakhir sebelum tangga, tidak melanjutkan sampai kawah, dikarenakan jarak aman yang dikeluarkan berhubungan dengan status tersebut adalah radius satu kilometer. Kami tidak melawan itu.
Lepas dari bukit tersebut, setelah puas dengan mengambil beberapa foto dengan gawai, kami melanjutkan berjalan menuruni punggung gunung dengan jalan yang berbeda dengan yang pertama tadi. Jalan yang berada di sisi kiri gunung, memutar, untuk menuju ke arah Pura Luhur Poten yang berada di tengah-tengah padang pasir. Lagi-lagi, saya meninggalkan Bulan yang berjalan di belakang. Membiarkan dia berjalan dengan pikirannya sendiri. Sampai pada akhirnya kami tiba di Pura Luhur Poten.
Pura tidak dibuka. Kami hanya melongok dari balik pagar pembatas, melihat dari depan bangunan yang menjadi latar depan Gunung Batok di belakangnya. Indah sekaligus bermakna.
***
Jeep berhenti di suatu savana dengan hitam pasir dan rumput kekuningan. Dikelilingi bukit nan hijau kebiruan dengan kabut menutupi pucuk-pucuk tebing, savana itu menghadirkan fantasi tentang Tanah Utara yang belum pernah saya injak. Tanah Utara dengan kaum barbarian yang selalu saya saksikan di layar televisi. Tanah Utara yang selalu menghadirkan konflik perebutan tahta bagi para kesatrianya.
Saya berusaha mengambil beberapa foto pemandangan dengan gawai. Mengabadikan kesubliman alam yang berada di hadapan. Anehnya, ketika saya melihat hasilnya, tidak bisa merepresentasikan secara sempurna apa yang saya tangkap langsung dengan mata. Ya. Kadang kala, keindahan itu tidak bisa direkam kembali, hanya mampu disimpan secara baik di dalam memori kepala.
Tiba-tiba saja ada seekor naga tampak dari kejauhan, terbang mendekat. Diikuti dua naga lainnya di kanan dan kiri dari yang pertama. Sayapnya membentang dengan perkasa. Ekornya menari mengikuti liukan tubuhnya yang terbang itu. Tiga naga itu semakin mendekat, berputar-putar di atas savana tempat aku berdiri. Mereka berputar dan terus berputar. Timbul tenggelam pada bukit-bukit, sampai kemudian mereka bertengger di atas tebing yang diselimuti kabut tipis itu. Matanya merah membara, seperti nyala api abadi yang tidak akan pernah padam. Namun kelopaknya sayu, seperti seorang anak yang rindu sang ibu. Aku menatapnya dari tengah savana dengan perasaan takjub sekaligus mafhum.
Salah satu dari naga-naga itu, yang pertama, perlahan terbang rendah menuju savana. Mendekat, lalu berhenti berpuluh meter di hadapan. Kepakan terakhir sayapnya menimbulkan angin yang berhasil menyibakkan segala yang terbang. Naga itu kemudian ia diam. Seolah, menyaksikan aku dari jauh dengan mata api abadi di balik kelopak yang sayu.
Aku pun tidak berusaha mendekat. Kaki terasa kelu, hanya bisa berdiri mematung tak mampu berjalan. Berdiri gemetar tak karuan. Naga itu, sepertinya melihat ketakutanku. Ia diam saja. Pun tidak berjalan mendekat, hanya mengibaskan kepala dengan lehernya yang panjang namun kuat. Dua yang lainnya masih di posisi semula, bertengger di atas bukit dengan kabut di sudut atas. Satu di kanan, satu di kiri. Memekik beberapa kali, lalu kembali diam.
Kami mematung untuk beberapa saat. Membiarkan jarak yang terbentang di antara kami diisi oleh angin yang berhembus sederhana. Saling menatap.
Tak lama berselang, ketika dirasa tidak terjadi apa-apa, tiga naga itu pergi. Terbang memutari kembali ladang kuning savana lalu menjauh. Menjauh dan semakin menjauh hingga hilang dari pandangan.
Keadaan kembali seperti semula. Hanya aku dan savana kuning berserta bukit hijau nan kebiruan.
Saya berjalan ke rerumputan yang berada di tengah savana. Mengambil beberapa foto kembali untuk dikenang. Ilalang hijau kekuningan dengan malai bunga ungu itu mampu menyihir lansekap hijau dengan langit biru muda menjadi lebih sempurna. Kabut putih tipis setia hadir di sudut-sudut bukit. Menyelinap, bersenggama bersama daun-daun lumut-lumut tebing, menghasilkan butiran-butiran embun pada kulit daun dan lalu kemudian jatuh, meresap, kembali pada tanah.
Tiba-tiba terdengar gemuruh seperti gempa bumi. Gemuruh itu semakin kencang tanda mendekat. Aku mencari sumber suara itu. Di belakang sana, tampak ratusan bahkan ribuan kuda berlari, berlomba siapa yang paling kencang larinya. Putih, hitam, cokelat, abu-abu. Tapalnya yang keras menghantam Bumi secara beramai menimbulkan debu pasir yang berontak, berterbangan tebal ke atas, menolak segala gravitasi.
Kuda-kuda tanpa tuan itu berlari semakin mendekat. Rambut poninya berkibar naik turun mengikuti derap tubuh si kuda. Tanpa dikomando, ketika semakin dekat menuju rerumputan di tengah savana, mereka berlari berpencar menjadi dua kubu besar, di kanan dan kiri rerumputan hijau kekuningan dengan malai ungu di tengah itu. Membiarkanku meringkuk menutup kepala dan wajah agar jangan sampai debu masuk ke mata, berlindung di balik para ilalang. Dalam ringkuk ketakutan, kurasakan Bumi yang bergetar karena hantaman tapal kuda yang keras itu. Sangking kerasnya, aku merasa kuda-kuda itu berada lima sentimeter di samping. Ekor-ekor indahnya menyentuh kulit dan mengibaskannya secara seksama.
Aku takut luar biasa. Takut kalau saja salah satu atau dua atau beberapa kuda menghantamku dengan moncongnya dengan keras. Tapi itu tidak terjadi. Dan kejadian bak gempa bumi yang diciptakan kuda-kuda itu tidak berlangsung lama. Mereka terus berlari. Tidak peduli atas kehadiranku di tengah savana hijau kekuningan dengan malai bunga ungu di ujungnya. Dalam sekejab, mereka hilang seperti hantu, masuk ke dalam celah di antara dua tebing, jauh di sana.
Yang tersisa adalah suara jantungku yang longsor.
Saya tetap di sini, di savana hijau kekuningan dengan bunga ungu. Savana yang juga memiliki pasir hitam memesona. Savana dengan tebing bukit hijau kebiruan dengan kabut tipis di sudut atas dengan biru langit yang sangat muda.
Kemudian saya melangkah meninggalkan rerumputan di tengah itu, berjalan menuju sisi kanan savana. Perbukitan rendah yang saling silang. Bunga-bunga ungu masih setia menemani ilalang hijau yang, pada area ini, semakin liar dan tua.
Matahari kali ini berbeda dari sebelumnya. Ia mulai menceramahi dengan bijaksana. Ia berhasil membuat warna-warni pelangi melalui bias cahaya. Sinarnya menembus awan putih, membuat bayang-bayang gelap pada dinding bukit yang membelakanginya. Bukit yang sedari tadi kabut. Angin berhembus kencang menyibak segala yang terbang. Saya terus berjalan menuju atas bukit yang paling rendah. Menyusuri jalan setapak dengan ilalang hijau dan bunga ungu liar di kanan dan kiri. Bau tahi lepa kuda tercium di sela-sela udara sejuk pegunungan.
Ketika tiba di atas bukit, saya melihat hamparan savana di bawah sana dengan lebih jelas. Kemilau pasir hitam, rerumputan kekuningan dengan malai bunga ungu, tebing hijau tua, langit biru muda, dengan awan tipis di sudut atas tebing. Sempurna.
Saya bergumam dalam hati, ini pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya di Indonesia. Pemandangan yang membuat fantasi tentang Tanah Utara hadir di kepala. Fantasi tentang naga dan kuda di tanah kaum barbarian yang sering disaksikan di layar kaca. Alangkah sederhananya mencintai Indonesia, hanya memandang segalanya dari dekat.
***
Sementara, Gunung Brahma adalah Nusantara, legenda Roro Anteng dan Joko Seger, leluhur suku Tengger bermukim.
Suka banget dengan fotonnya
Terima kasih.
Yesss akhirnya sudah bisa…. gak, ngerti deh nih kok jadi bisa