Mengentas Jarak dengan Buddha di Sendangcoyo

“Aku adalah
anak-Buddha,”
(Pramoedya Ananta Toer, 2003:246)

Itulah
kalimat pertama yang ditulis Kartini di dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon,
tarikh 27 Oktober 1902. Suratnya kali itu menceritakan tentang masa kecilnya
yang seorang Pribumi, akhirnya bisa disembuhkan dari penyakit oleh orang kudus
Tionghoa, setelah beberapa kali mendatangkan tabib.

***

Dengan
ragu saya membuka gerbang besi. Merogoh grendel pintu sambil berusaha mencari
adakah seseorang yang bisa dijumpai. Sepi. Beberapa ekor anjing tenang berjalan
menghampiri tanpa gonggongan. Hanya ekor mereka mengibas menyambut tamu dengan
semangat. Sunyi.

Memasuki
area Vihara Ratanavana Arama, saya melihat jalanan yang menukik tajam. Dalam
hati bergeming, ragu, apakah motor si
Kenalan kuat menanjak?
Setelah motor si Kenalan masuk ke dalam area vihara,
dia menunggu saya menutup kembali pintu gerbang lalu berujar, “Yuk naik.” Ditengah keraguan, saya
mengikuti ucapannya untuk duduk di jok belakang motornya, membonceng.

Anjing-anjing
mengikuti kami dari belakang. Ada yang kemudian berlari mendahului, seolah
ingin memberi tahu kawanan lain. Di tempat ini terasa jauh lebih hening
dibandingkan sebelumnya. Tidak ada deru kendaraan Pantura dengan klakson yang
menyalak keras, seperti suara serigala yang saling saut di dalam hutan. Senyap.
Di tempat ini pun lebih rimbun dari yang lainnya. Pohon-pohon besar tumbuh
terpelihara, memberi lebih banyak oksigen. Terik matahari pesisir dan lengket
laut hanyalah sebuah wacana. Sejuk.

Saya
bukan penganut ajaran Buddha. Pun tak banyak literatur yang saya baca. Mengenal
Buddha hanya dengan sepintas lalu. Saya yang, mungkin, seperti Kartini, hanya
seorang pemuja. Entah mengapa saya begitu memujaNya? Tidak punya alasan kuat. Hanya
memuja. Sosok Siddharta tidak seperti Yesus. Yesus yang saya kenal sejak masih
kecil. Di otak saya dipenuhi dengan ajaran cinta kasih Yesus, yang lebih
spesifik kepada sesama. Kian kemari, seturut dengan pengenalan kepada alam
semesta, saya bertemu dengan Siddharta. Membaca cinta kasih ke hal yang lebih luas.
Tidak hanya kepada sesama. Yang dirasakan hanyalah perasaan nol ketika hanya
sekedar melihat patung Buddha. Perasaan yang sama ketika dulu, kerap kali
berkunjung ke Goa Maria Gereja Katedral Jakarta sepulangnya dari kantor.

Saat
menulis ini, saya mengingat-ingat kembali kenangan jaman kuliah. Ketika perayaan
Waisak tiba, acap kali mengunjungi Candi Mendut dan Borobudur. Saya bersama
tema-teman kuliah melakukan perjalanan dengan sepeda motor dari Yogyakarta
menuju Magelang untuk menyaksikan serta mengabadikan dengan kamera momen
perarakan hari Tri Suci Waisak. Lalu saat ini saya berpikir, begitu
mengganggunya aktivitas kami saat itu, berbondong-bondong memotret orang
beribadah, bukan untuk sebuah pekerjaan. Hanya kesenangan belaka. Karena pada
dasarnya, agama bukan arena pertunjukan.

Kami
rehat sejenak di salah satu sisi vihara dengan patung Siddharta yang sedang
bermeditasi. Kali ini sudah menjadi Buddha dengan lingkaran cahaya di atas
kepala. Patung itu menghadap ke barat daya. Menghadap Pegunungan Kendeng.

Hamparan
hijau pusaka alam Lasem membentang bugil di hadapan mata. Bukit-bukit kecil
dengan tegalan, sawah, dan hutan jati saling saut. Lalu di ujung, Laut Jawa
samar-samar terlihat. Laut yang tampak lebih tenang dari kejauhan. Tidak terasa
perih getirnya siksaan Daendels.

“Kamu ke sini deh.”
ujar si Kenalan tiba-tiba. Merujuk ke suatu sudut di sisi belakang patung. Saya
melangkah menuju tempat yang dimaksud. “Lihat
sesuatu ndak?”
dia melanjutkan. Saya berusaha mencari. Dan ternyata ada
empat ekor anak anjing, mengais dan menangis mencari semangnya. Tiga
diantaranya berwarna hitam, dan satunya putih. Saya mengambil yang terakhir dan
menggendongnya. Si Kenalan mengambil si hitam dengan warna putih di empat
kakinya. Seperti pakai kaus kaki.

“Aduuhh.. induknya kemana ini?
Boleh dibawa pulang ndak ya?”
si Kenalan terus
bertanya tanpa mengharapkan jawaban. “Banyak
kutunya. Kasihan.”
ujar saya kemudian. “Duh,
kalian pasti lapar ya? Indukmu kemana?”
lagi-lagi si Kenalan berkelana
dengan monolognya. Setelah puas, saya letakkan si putih lalu mengambil hitam
lainnya. Si hitam yang sedari tadi cemburu karena tidak kebagian gendongan. Dia
menangis lebih keras. Si hitam yang melunjak-lunjak dengan girangnya. “Ah, nakal sekali kamu.” ucap saya
kepada si hitam. Lalu meletakkannya kembali setelah cukup mengelus-elus.

Kami
meninggalkan empat ekor anak anjing dengan perut yang masih lapar. Dengan mulut
yang meraung mencari puting susu induknya. Kami pergi tanpa memberi makan,
hanya menyisakan belai lembut pemuas dahaga imajiner. Kami berjalan menuju
tempat paling ujung. Meninggalkan area patung-patung Siddharta, menuju sebuah
tempat lain, masih di dalam kawasan vihara.

Melewati
jalan setapak dengan lorong pohon-pohon, saya bergeming dalam hati, sudah berbeda lagi suasananya. “Seperti di dunia lain ya? Ada pintu ajaib.”
kata si Kenalan. Ia seolah bisa membaca pikiran saya. Saya tersenyum tanda
mengiyakan.

Kami
meyusuri hutan kecil itu. Memasuki pintu ajaib tadi, menuju sebuah tempat
dimana ada makam Bikkhu pendiri vihara ini, Sudhammo Mahathera. Beliau juga
mendirikan candi dengan nama yang sama. Di situlah beliau dimakamkan.

***

Angin
berhembus kencang seketika kami sampai di tempat yang dimaksud. Sebuah tempat
paling tinggi di dalam area vihara. “Anginnya.”
ucap si Kenalan sambil lalu. Saya melihat ke atas, ke arah dahan pohon yang
melambai hebat karena hempasan angin. Merasakan bulu-bulu tipis di tangan yang
menari dengan lembut. Merasakan setiap inci sentuhannya. Ini bukan angin
pesisir. Bukan angin dengan lengket konstan. Ini adalah angin dengan energi
yang lebih mendamaikan.

Melewati
pendopo yang sepi di sisi kanan, tibalah kami di depan candi. Berkeliling di area
luar candi, karena candi dalam keadaan tertutup. Candi Sudhammo Mahathera memiliki
empat pintu sesuai dengan arah mata angin. Saya berjalan menuju sisi selatan sambil
membaca pahatan-pahatan batu candi yang bertuliskan ajaran Buddha. Seperti
kisah jalan salib, membaca satu demi satu dharma Siddharta.

“Hallooo..sedang apa kalian?”
sapa lantang si Kenalan yang tiba-tiba merusak konsentrasi saya membaca pahatan
candi tadi. Saya menoleh menuju arah suara. Ternyata kami berjumpa dengan
sekelompok anak kecil yang sedang berkumpul di salah satu sisi paling rimbun. Sekolah Minggu, balas mereka beramai.
Aahh, Sekolah Minggu. Aktivitas minggu pagi yang selalu saya dan teman-teman lakukan
ketika kecil dulu. Bermain, bernyanyi, berdoa bersama memuja-muji Yesus.

Perlahan
saya meninggalkan pahatan candi dan menghampiri pusat keramaian, seraya
memperhatikan bangunan lain yang berdiri sejajar dengan candi. Ada replika
kapal laut yang menghadap utara. Memandang Laut Jawa. Laut yang tampak lebih
tenang dari biasanya. Kapal laut itu dikelilingi kolam ikan, agar benar-benar
seperti di atas laut. Dari luar, tampak patung seorang Bikkhu bermeditasi
menghadap arah depan, tepat di depan kemudi.

Di
hadapan kapal, saya dan si Kenalan bercakap sambil menyaksikan anak-anak
menikmati bekal makan siang. Melahap isi kotak makanan, yang, mungkin disiapkan
oleh orang tua masing-masing.

“Aku masih bingung kenapa Bikkhu
mendirikan vihara di sini ya?”
tanya si Kenalan.

“Mungkin apakah karena ada
catatan sejarah soal Kerajaan Majapahit yang pernah jaya di Lasem?”

sahutku berusaha menjawab, kemudian melanjutkan, “Mungkin lagi ada hubungannya juga dengan temuan tulang belulang yang
dipercaya sebagai peninggalan dari armada perang Tiongkok yang pernah mendarat
di Dasun. Atau Kapal Kuna?”

“Itu masuk akal. Nyatanya, patung
orang Buddha yang sedang meditasi itu melihat ke arah depan.”

jawab si Kenalan sambil menunjuk ke patung yang berada di dalam kapal. Kemudian
melanjutkan, “Seperti lagunya The
Doors, break on through to the other
side.” Kami tertawa. “Lihat deh pemandangan di bawah.” si
Kenalan masih bercerita, “Lasem itu kaya
banget. Satu kata yang bisa menyimpulkan Lasem; pusaka. Ada pusaka alam, pusaka
budaya, dan pusaka saujana.”
Saya memandang hamparan hijau perbukitan Lasem
yang bugil di hadapan mata. Laut Jawa tampak sangat tenang dari kejauhan. Tidak
terasa perih getirnya siksaan Jendral Guntur. Merasakan setiap inci gerakan
angin. Bukan angin dengan lengket laut yang konstan. Merasakan setiap energi
yang berbeda dari tempat di bawah sana.

***

“Kamu lihat pohon bodhi tidak?”
si Kenalan bertanya ketika kami sudah meninggalkan anak-anak dan mengakhiri cerita
si Kenalan tentang pusaka tanah kelahirannya. “Ngga. Oiya, dimana ya? Kok bisa ga sadar gini sih?” jawab saya
yang dilanjutkan dengan rentetan pertanyaan lain. “Ada di depan.” jawab si Kenalan seraya menggiring saya menuju
pohon yang dimaksud.

Di
bawah pohon bodhi, saya menarik napas panjang. Merasakan hembusan angin yang
kembali bertiup kencang. Menghirup limpahan oksigen yang lebih banyak dibanding
di sisi Lasem yang lain. Berusaha ikut merasakan apa yang dialami Siddharta
ketika ber-moksa sehingga menjadi Buddha.

***

Berjalan
menyusuri kembali hutan, saya berpikir, menyadari, ada benarnya ucapan si
Kenalan di depan kapal tadi. Di atas bukit ini, seperti bukan Lasem yang saya
tahu sebelumnya. Bukan Lasem dengan pantai dengan bau amis abadi. Dengan
lengket keringat yang selalu datang konstan. Bukan Lasem dengan debu dan deru
pesisir khas utara Pulau Jawa. Lasem di sini begitu sunyi. Begitu nol. Laut
Jawa tampak sangat tenang dari kejauhan. Dihidangkan bersama tegalan dan sawah
serta hutan jati. Tidak terasa perih getirnya siksaan Daendels di Jalan Raya
Pos. Lasem dengan angin yang buaiannya mendamaikan setiap inci permukaan kulit.

Mengentas
jarak lebih dekat dengan Buddha, saya menyudahi menyusuri hutan dengan lantunan
suara Jim Morrison mengiang di kepala,

We chased our pleasures here. Dug
our treasures there. But can you still recal. The time we cried. Break on
through to the other side. Break on through to the other side..

image
image
image
image
image
image
image
image

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *